Beberapa adaptasi harus dilakukan masyarakat di hampir semua lini kehidupan selama pandemi virus corona. Selain karyawan yang diminta bekerja dari rumah, mahasiswa dan siswa juga terpaksa belajar di tempat tinggalnya masing-masing.
Ibu saya, seorang guru SMA, misalnya. Beliau memutuskan memberi tugas via grup WhatsApp kepada muridnya yang akan dikumpulkan setelah masuk. Mohon maaf ya para murid, emang masih banyak yang menganggap kelas online sebagai masa-masa pemberian tugas.
Videos by VICE
Selain kendala metode pengajaran, beberapa aktivitas pendidikan yang harus tatap muka juga terpaksa jarak jauh. Misalnya, seminggu ini berseliweran video dan foto mahasiswa yang sidang skripsi atau proposal lewat video call.
Bimbingan skripsi yang biasanya tatap muka dilakukan dosen dengan mahasiswa juga terganggu. Karena dosennya enggak biasa ngebimbing lewat ponsel/ email, nasib mahasiswanya lantas memprihatinkan.
VICE bertanya pada Diah Kusumaningrum, dosen Jurusan Hubungan Internasional UGM, bagaimana caranya menghadapi transisi belajar mengajar jarak jauh akibat pandemi. Karena ini situasi luar biasa, Diah berlaku bijak: Ia meniadakan kelas-kelasnya seminggu penuh demi mendapatkan cukup waktu merumuskan silabus baru dalam kelasnya.
“Aku merasa butuh waktu buat mengubah kelas. Menurutku, at-distance learning itu bukan semata-mata mendaringkan kuliah. Kalau metode perkuliahannya mostly ceramah, ya gampang aja mendaringkan,” kata Diah kepada VICE. “Buat kuliah-kuliah yang banyak brainstorming, kerja kelompok, drama, pairing reflection, apalagi games, butuh waktu menyesuaikannya ke format kuliah jarak jauh. Fokus kelasnya kan bukan kognisi, tapi afeksi, jadi ya enggak semudah itu. Makanya, aku libur dulu seminggu.”
Diah selanjutnya menambahkan, yang terpenting dari transisi ini adalah perhatian terhadap durasi. Contoh sederhananya begini. Kuliah normal itu kan durasinya dua jam, jadi ya apa pun gantinya (penugasan atau pun ceramah online) harus tetap dua jam. Enggak boleh membebani mahasiswa lebih dari itu, “Kalau mahasiswa malah sakit atau mati karena kebanyakan tugas tambahan yang diberikan mendadak, sama aja bohong,” ujarnya.
Empat hari setelah imbauan belajar dari rumah dilakukan pada 16 Maret 2020, Pusat Inovasi dan Kajian Akademik UGM melakukan survei kepada 3.353 mahasiswanya tentang kegiatan pembelajaran daring. Mereka diminta merespons pengalamannya mengikuti berbagai pembelajaran daring selama empat hari terakhir untuk mengkaji sistem belajar jarak jauh yang sedang terjadi. Ternyata, hasilnya enggak jelek-jelek banget kok.
Hasilnya, perkuliahan daring dirasa 52,2 persen mahasiswa mirip dengan kuliah dalam kelas. Sisanya merasa kelas berbeda karena lebih enak kelas tatap muka. Lalu, 66,9 persen mahasiswa merasa memahami materi perkuliahan dengan baik. Sedangkan 30 persen sisanya mengaku kurang atau sangat kurang memahami. Berita baiknya, 85 persen mahasiswa merasa kemampuan dosen untuk menyampaikan materi kuliah sudah cukup baik, juga 83 persen mahasiswa merasa kualitas penyajian materi cukup baik.
Kesiapan fasilitas di institusi setingkat kampus mungkin emang baik. Namun, jenjang di bawahnya biasanya banyak kendala, khususnya persoalan teknis. Rhea Yustitie, guru Bahasa Jerman di salah satu SMA unggulan Jawa Tengah, mengatakan ada guru yang ponselnya sampai rusak karena enggak kuat menahan file dan jawaban para siswanya gara-gara komunikasinya via WhatsApp.
Selain itu, ada juga guru yang kelimpungan menerima 360 surel yang harus dicek satu-satu dari muridnya yang berjumlah sama. “Paling masalah meniadakan tatap muka karena kan emang belum biasa. Matematika agak sulit tanpa tatap muka, pelajaran karawitan tanpa praktik juga mustahil karena kebanyakan anak enggak punya alat,” tutur Rhea kepada VICE.
Dari situ, VICE inisiatif mengumpulkan cerita lucu pengajar yang terjadi selama kerja dari rumah. Biar enggak para siswa dan mahasiswa doang yang bisa komplain di media sosial.
Berikut nukilannya:
“Kadang kalau mengecek daftar hadir anak-anak, masuk semua 32 siswa. Tapi, ketika proses belajar hanya 5 anak yang aktif. Pas ditanya ke mana, [jawabannya] pada mabar alias nge- game, terus ada yang tidur lagi. Yah, namanya anak-anak….” – Effendi, guru Pendidikan Kewarganegaraan di SMP Jawa Tengah yang sedang bingung apakah muridnya paham bahwa nyuekin guru termasuk perbuatan tercela.
“Ada mahasiswa tua telat ngumpulin ujian sampai seminggu karena enggak tahu kalau ujiannya pakai Google Form. Tadinya enggak kubolehin, tapi dia mohon-mohon karena enggak mau ngulang lagi. Akhirnya aku potong nilanya dua poin per hari dia telat. Karena seminggu, jadinya nilainya dah dikurangin 14 poin sendiri sebelum kunilai.” – Ario Bimo, dosen UPN Surabaya yang antara kasihan dan kesel menyikapi mahasiswa angkatan lama.
“Masih banyak anak yang minggat dari rumah saat malam. Alasannya, cari sinyal atau wi-fi untuk mengerjakan tugas.” – Rhea, pengajar Bahasa Jerman di SMA Kabupaten di Jawa Tengah yang merasa kebijakan WFH sia-sia di tempat kerjanya.
“Pas aku kalau lagi bosen. Aku liatin muka mahasiswa satu-satu yang ikutan kelas online. Terus, aku notice gitu, beberapa muka kosong pandangannya. Ada juga muka-muka baru bangun tidur. Tapi, yang menarik adalah partisipasi mahasiswa jadi meningkat pas daring gini daripada pas tatap muka, lebih ceriwis gitu chatbox-nya.” – Trevi, dosen UGM yang kini mungkin tersadar mengapa banyak sekali anak muda yang menyatakan cinta lewat WA.
Ikhwan Hastanto adalah musisi yang band-nya, Tashoora, belum lama ini merilis single anyar. Follow dia via Instagram