Surga Para Rastafari

Cafe Lucifer kawasan Malioboro lebih sumpek dari malam-malam biasanya. Puluhan orang beratribut rastafari – rambut gimbal diwarnai kuning, merah, hijau – menyesaki cafe tersebut. Usut punya usut sosok musisi reggae lokal yang sedang populer—Black Finit—bersiap tampil.

Lebih dari delapan puluh tahun sejak berkembang pertama kali di Jamaika, musik kaum Rastafari—reggae—rupanya tumbuh dan hidup di Yogyakarta. Kota yang selalu diwarnai aktivitas para pegiat seni, komunitas kreatif, serta biaya hidup terjangkau ini belakangan menarik banyak para pemuja Bob Marley dari seluruh wilayah nusantara. Acara-acara besar macam Jogja Reggae Land adalah bukti reggae punya tempat tersendiri di Kota Gudeg itu.

Videos by VICE

Mengapa di negeri ini resah datang terus mengusik / Selinting ganja habis terbakar

Begitu nyanyian Black Finit di lagu Bang Pello.

Empat belas tahun lalu Black Finit —yang tidak mau menyebut nama aslinya—merantau dari kampung halamannya di Flores. Misinya cuma satu: bermusik. Dia tidak tahu tujuan, membiarkan kakinya terus melangkah, hingga terdampar di Yogyakarta.

“Di Flores memang waktu 2002 gitu prasarana untuk studio band saja susah. Jadi saya pikir harus ke Jawa.Ternyata saya sampai di Yogya, wah kok enak juga,” kata Black Finit.

Butuh beberapa tahun sampai Black Finit dapat menginjak lantai cafe dan panggung-panggung festival. Sebelumnya dia cuma mangkal di pinggiran sungai Code, mengamen, dan pelan-pelan dikenal banyak orang. “Saya engga menduga. Beli gitar, main di pinggir-pinggir kali Code karena itu kan tempat nongkrong anak muda. Kalau kita nyanyi, bawa kaleng, satu putaran itu udah Rp75 ribu, tahun 2002 itu Rp75 ribu udah banyak,” kenang Black Finit.

Kiri-Kanan


Bagi Black Finit, kota Yogyakarta menjadi lokasi paling pas buat berkarya. Dia mengibaratkan kota Yogyakarta sebagai rumah. “Semakin banyak kita di rumah kan semakin banyak kita punya planning. Jadi untuk sekarang mungkin bukan hanya untuk makan, untuk minum. Kita pikir untuk berkarya juga.”

Dia tak ingat kapan kancah reggae mulai tumbuh dan berkembang di Yogyakarta. “Kalau komunitas reggae emang dari dulu ada,” kata Black Finit. “Cuma sayang perkembangannya lebih ke arah turisme, bukan ke arah musikalitasnya.”

Reggae besar, namun belum sepopuler rock di negara ini. Musik ini tetap saja tergolong segmented meski beberapa nama besar seperti Ras Muhamad dan Tony Q Rastafara berhasil mencuri perhatian media arus utama.

Bicara soal reggae, harus melihat aspek sosiopolitis dalam penulisan lagunya. Sudah menjadi tradisi lirik reggae buat menyisipkan komentar-komentar yang menyitir soal politik, ekonomi, dan sosial. Kondisi Indonesia yang dalam berbagai bidang tidak karuan memicu Black Finit merespon situasi. Black Finit menilai musiknya adalah renungan. Sebuah upaya untuk mengajak para pendengar terus mencari situasi hidup paling ideal.

“Kita seakan dikotak-kotakkan. Diseragamkan,” kata Black Finit. “Indonesia sudah gila. Kita rindu tokoh-tokoh besar. Kita butuh cetak kembali tokoh-tokoh besar di negara ini. Dulu kita punya Koes Plus di musik, kita punya Soekarno di politik, kita punya Jenderal Sudirman di militer, kita punya semua orang yang hebat di bidangnya. Tapi sekarang?”

Untuk seseorang yang sudah menambatkan hatinya pada Yogya, Black Finit mengaku jalannya berkarya masih panjang. Ada banyak siasat yang perlu dilakoni agar kesenian dan urusan perut berdamai. Klise memang. Black Finit mengaku di Yogya, dua perkara itu jarang bersitegang.

“Space panggung masih susah di Yogya. Kami bisa survive dengan manggung di kafe-kafe. Cukup buat produksi dan makan,” ujarnya sambil mengulum senyum. “Kebetulan di Jogja masih murah.”