Laporan ini pertama kali tayang di VICE magazine Edisi Dystopia dan Utopia. Klik DI SINI jika ingin berlangganan.
VICE Indonesia juga akan merilis rangkaian cerita mengenai lokasi-lokasi yang menggambarkan gagasan distopia maupun utopia yang ada di negara ini. Simak liputannya di sini.
Videos by VICE
E.J Graff Membahas Masa Depan Gerakan #MeToo
Topi-topi kucing sepatutnya menjadi peringatan bahwa #MeToo segera muncul. Kita semua melihat perempuan-perempuan jengkel penuh amarah, mengenakan topi-topi merah jambu, dan mengangkat poster dengan tulisan “pussy grabs back,” “can’t touch this,” “nasty women,” “grab ‘em by the midterms,” dan “fight like a girl.” Amarah ini tak ditujukan pada seorang Republican tak jelas. Mereka jengkel karena Amerika Serikat telah memilih seorang presiden yang gemar menggerayangi perempuan (dan pamer soal itu), predator seksual yang tidak memiliki kompetensi, ketimbang seorang perempuan yang sangat berkualitas dan mampu kerja. Perempuan kelas pekerja telah menyaksikan film itu berulang kali: laki-laki bodoh yang tak tahu malu mendapatkan promosi sedangkan perempuan pekerja keras tidak. Tapi tidak kali ini, teriak para perempuan itu, pada demonstrasi satu hari yang menjadi sejarah AS.
Apakah kau benar-benar berpikir perempuan-perempuan ini akan pulang ke rumah dan berdiam diri? Setelah mereka melihat ribuan perempuan marah di jalanan, kau pikir mereka akan mengabaikan topi-topi mungil bertulisan, “hands off, asshole?”
Lagi pula, kita sudah melihat banyak predator seksual diminta pertanggungjawaban dan akuntabilitasnya dalam beberapa tahun terakhir (hai, Bill O’Reilly!) Tapi topi-topi kucing ini adalah alasan mengapa kisah Weinstein layaknya korek api yang jatuh di ladang yang kering, menyebabkan viralnya tagar #MeToo.
Untuk memahami bagaimana kita bisa sampai ke titik ini, kita sebaiknya berterima kasih pada perempuan-perempuan marah dan gila di akhir 1960an dan 1970an, yang mengubah dunia dengan menciptakan dan memperjuangkan konsep-konsep seperti kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan dalam pernikahan, kesetaraan upah, dan lain-lain. Dan kita semua berhutang pada Eleanor Holmes Norton dan Catharine MacKinnon yang mencapai terobosan-terobosan radikal dengan kerja keras mereka melembagakan wawasan-wawasan tersebut—dalam hukum maupun hidup—selama bertahun-tahun selanjutnya.
Maju ke 1991, saat perempuan Amerika menyaksikan dengan penuh rasa takut senator-senator laki-laki kulit putih meremehkan kesaksian Anita Hill soal pelecehan seksual yang dilakukan mantan bosnya Clarence Thomas. Istilah pelecehan seksual belum dikenal secara luas pada saat itu. Tontonan yang dirilis di stasiun nasional membangun kesadaran publik—terutama perempuan pekerja dan majikan mereka—bahwa perilaku seksual “privat”, kini, berdasarkan putusan Mahkamah Agung AS pada 1986, tindakan macam itu melawan hukum.
Pelecehan seksual merupakan perbuatan melawan hukum bukan karena itu perbuatan yang menjijikan, dan bukan karena itu seksual. Hal itu melawan hukum karena mempersulit perempuan mencari nafkah. Siapapun tidak bisa bekerja sebaik mungkin ketika kamu menghabiskan sebagian besar waktu di kantor membela integritas tubuh. Kamu gak bisa berkesempatan untuk mendapatkan upah adil jika asisten manajer yang mengatur jadwal kerjamu di Burger King berbisik di headset soal apa yang ingin dia lakukan padamu di ruang belakang dan dia akan memberikanmu jadwal kerja lebi banyak kalau saja kamu mau pergi berkencan dengannya. Kekerasan seksual adalah pelanggaran hukum pidana. Dan pelecehan seksual merupakan pelanggaran yang dilakukan majikan kepada pekerja, yang melebarkan jurang kesetaraan upah kerja.
Setelah kesaksian Anita Hill, klaim-klaim pelecehan seksual dengan Equal Employment Opportunity Commission meningkat. Dan perempuan-perempuan Amerika sangat marah sampai-sampai lebih banyak perempuan menyalonkan diri dibandingkan sebelumnya—familiar kan?—dan menjadikan 1992 “Tahun untuk Perempuan” dan meningkatkan jumlah perempuan di Kongres dari 32 menjadi 54.
Namun ada satu hal yang perlu diingat. Kebakaran itu tidak menghentikan pelecehan seksual; tapi, kini perbuatan itu sudah masuk radar dan memiliki nama. Tidak ada momen sejarah apapun yang bisa mencapai segalanya; perubahan sosial membutuhkan waktu untuk bermetabolasi. Dua generasi perempuan kemudian belajar bahwa pelecehan seksual adalah perbuatan melawan hukum—namun mereka tidak bisa menghentikannya atau memperlambatnya, sehingga masalah ini terus menghambat upah mereka, dan mempermalukan mereka. Mereka trauma dan benci pada orang-orang berkuasa yang menghambat karir dan hidup mereka.
Kini, topi-topi kucing adalah momen melela bagi pelecehan seksual. Setiap perempuan di Amerika bisa melihat bahwa pelecehan seksual luar biasa mengakar dan parah. Dan, bahwa hanya merekalah yang bisa menghentikannya.
Seperti yang dikatakan Kyle Stephens pada pelaku kekerasan seksual Larry Nassar di pengadilan, “Little girls don’t stay little forever.” Karena feminisme gelombang kedua, pekerja magang yang dirogoh kemudian menjadi editor. Juru tulis kemudian menjadi hakim (dan adakah yang bisa membayangkan seorang hakim laki-laki meminta 156 perempuan untuk bersaksi atas pelecehan yang dialaminya?) Bintang yang pernah diserang kemudian menjadi Angelina Jolie dan Salma Hayek. Buruh pabrik dan petugas kebersihan dan petani berkumpul dan berorganisasi lalu memenangkan tuntutan hukum, dan menjangkau orang-orang yang lebih berkuasa yang bisa membantu mereka. Dan reporter yang bersikukuh kemudian mengisahkan cerita-cerita mereka.
Karena media sosial, semua kemarahan menjadi kebakaran yang lebih luas daripada yang terbayangkan siapapun. Predator-predator tersebut, sebagaimana dikisahkan seorang pesenam pada Nassar, telah menciptakan pasukan untuk memperjuangkan keadilan.
Dan inilah yang paling memberikan harapan dari momen #MeToo ini: kita melihat koalisi lintas kelas—masyarakat kaya dan miskin untuk sementara bersatu. Pada November, orang-orang mewakili 700,000 petani perempuan menulis surat terbuka menunjukan solidaritas untuk para perempuan di Hollywood yang menceritakan soal pelecehan dan serangan seksual yang mereka alami, berkata mereka paham rasanya “menjadi sasaran individu yang memiliki kuasa untuk mempekerjakan, memecat, blacklist, dan mengancam keamanan ekonomi, fisik, dan emosional kita.” Sebagian perempuan di Hollywood mengekspresikan solidaritas mereka dengan meluncurkan Time’s Up Legal Defense Fund, dengan sebuah struktur untuk membantu perempuan-perempuan yang kurang mampu untuk memerangi pelecehan seksual.
“Inilah mimpi utopia saya. Seorang perempuan sebaiknya menggantikan pekerjaan atau jabatan semua laki-laki yang terbukti predator seksual.”
Solidaritas kelas seperti itulah yang kita perlukan. Setelah tuduhan Clarence Thomas, banyak tempat kerja kerah putih yang memberlakukan prosedur-prosedur untuk melindungi mereka dari tuduhan-tuduhan pelecehan seksual; dalam beberapa kasus, hal ini mencakup bekerja untuk menghindari pelecehan seksual dan untuk merespon ketika perempuan melaporkannya. Namun sebagian besar mayoritas perempuan pekerja di AS—di restoran, pabrik, hotel—tidak memiliki bantuan. Perempuan di tempat kerja yang didominasi laki-laki, perempuan yang lebih muda, perempuan yang memiliki pekerjaan yang upahnya rendah, yang upahnya bergantung pada siapa yang membuat jadwal—perempuan-perempuan ini lebih sering mengalami pelecehan seksual.
Jadi di samping Time’s Up, apa yang seharusnya kita lihat? Inilah mimpi utopia saya. Pertama, saya percaya bahwa seorang perempuan sebaiknya mengisi posisi laki-laki yang merupakan predator seksual. Itulah yang dilakukan NBC di Today Show, menggantikan Matt Lauer dengan Hoda Kotb. Saat laki-laki melecehkan perempuan, mereka tak hanya menginvasi integritas tubuh perempuan, namun juga menghambat karir mereka, menghambat kemajuan mereka—dan memberikan laki-laki keuntungan yang tak adil.
Untuk setiap pelaku pelecehan seksual yang dikeluarkan dari sebuah organisasi, saya akan memberikan kenaikan upah dan promosi untuk satu sampai 10 perempuan setiap untuk setiap tahun dia bekerja di sana—angka yang tepat akan disesuaikan dengan ukuran organisasi tersebut. Mengapa? Karena jika dia menyentuh satu perempuan, dia pastinya menahan setidaknya satu karir perempuan. (Dan kalau namanya adalah Matt Lauer, Charlie Rose, atau media yang meremehkan Hillary, saya akan mengulang hasil pemilu 2016 dan mengangkatnya sebagai presiden. Boleh dong, kan ini utopia versi gue.)
Setelah itu, saya akan memastikan bahwa setiap perempuan yang dia rogoh—termasuk yang keluar dari pekerjaannya atas alasan keamanan—mendapatkan kesetaraan ekonomi dengan laki-laki di kalangannya. Setiap perempuan berusia di atas 35 tahun mengenal perempuan menjanjikan yang ambisius yang dibalap oleh sejawatnya yang laki-laki. Pelecehan seksual dan semua rundungan seksis, adalah salah satu alasannya.
Terus gimana dengan orang-orang aneh? Kita gak akan menghilangkan mereka; predator seksual, sosiopat, pembunuh berantai, rasis, dan banyak hal buruk lainnya yang endemik pada spesies kita. Jadi, saya ingin ngomongin soal bagaimana kita semua sebaiknya merespon.
Pastikan orangtua dan sekolah menengah mengajarkan soal predator seksual di pekerjaan, melatih remaja untuk bilang tidak secara tegas dan untuk segera melaporkan pelanggaran, menjanjikan bahwa laporannya akan didengar. Dan mumpung saya lagi diizinkan menjadi utopis, saya ingin memutuskan bahwa orang-orang pernah dilecehkan tidak akan merasa malu. Sama sekali. #MeToo menyadarkan kita bahwa pelecehan seksual tidak ada hubungannya dengan mereka: Jika mereka melakukannya padamu, dia melakukannya juga pada belasan orang lain, siapapun yang bisa dia temukan. Sehingga, yang seharusnya malu adalah si predator. Setiap pelaku—dari mandor yang menyerang petugas kebersihan di lemari persediaan, atau CEO yang mengundang pegawai perempuan ke kamar hotelnya, atau aktor yang menunjukkan penisnya—mereka semua telah menciptakan pasukan penyintas yang marah dan memperjuangkan keadilan.
Kau tahu apa lagi yang akan diajarkan orangtua dan sekolah? Menjadikan saksi pasif menjadi saksi aktif, melatih anak-anak cara mengintervensi untuk membantu seseorang yang sedang dalam bahaya tanpa membahayakan diri mereka. Mendapatkan keadilan akan jauh lebih mudah jika, setelah #MeToo, saksi segera angkat bicara ketika mereka menyadari ada yang sedang melakukan pelecehan, bahkan ketika itu bosnya sendiri. Banyak orang kini merasa muak bungkam atau pura-pura tak tahu saat mereka tahu ada yang salah. Sejak sekarang, mereka akan mengetahui bagaimana bekerja sama untuk mendapatkan keadilan—dan mengajari yang lain untuk melakukan yang sama.
Akhirnya—dan ini adalah bagian yang saya percaya sudah terjadi saat ini—di belakang layar, organisasi-organisasi dari berbagai ukuran dan jenis akan mengubah cara mereka menanggapi tuduhan pelecehan seksual. Selama berdekade-dekade, majikan telah membayar atau membungkam perempuan dan laki-laki yang tak berdaya, menganggapnya sebagai risiko bisnis, untuk menggunakan kuasa mereka. Namun kini semua orang di AS tahu bahwa tuduhan pelecehan seksual mirip kecoak: Kalau kamu bisa melihat satu, tandanya ada 100 yang tersembunyi, siap meracuni dan menjatuhkan Weinstein Company dan USA Gymnastics dan sejenisnya. Kalau kamu tidak bertindak sekarang juga (secara figuratif maupun harafiah), hakim perempuan yang berempati, reporter perempuan marah, dan senator perempuan yang ambisius, serta COO perempuan yang muak, akan merenggut kuasa itu tanpa kau sadari. Bakal berantakan semuanya. Mulai sekarang, majikan akan menyelidiki tuduhan pertama dan mengambil tindakan yang paling tepat—dan tentunya akan memecat pelaku pelecehan saat hal itu terjadi lagi.
Bagaimana cara kita mengetahui bahwa kita sudah menang? Saat lebih dari setengah Kongres dan Supreme Court dan pejabat tinggi setiap perusahaan dan LSM adalah perempuan. Saat kita sudah punya presiden perempuan yang kedua. Saat itulah kita mengetahui bahwa pelecehan seksual dan perundungan berbasis gender dan berbagai bentuk diskriminasi tak lagi menghalangi setengah populasi bumi.
Gerakan #MeToo adalah momen munculnya kebakaran hebat. Sebuah momen revolusioner. Kemarahan macam ini pasti berlalu; manusia tidak bisa mempertahankan perasaan seperti itu untuk waktu yang terlalu lama. Tapi, jika orang dengan jumlah cukup benar-benar meresapinya dan memulai kerja keras untuk melembagakan perlindungan dari pelecehan seksual—saat itulah kita menciptakan sebuah budaya di mana semua orang tahu bahwa pussy grabs back. Dan kalau tidak, saya berjanji akan ada gelombang-gelombang kebakaran selanjutnya.
E.J. Graff adalah kolomnis sekaligus editor the Washington Post sekaligus dosen pengajar mata kuliah jurnalisme investigasi di Brandeis University.
Reynaldo Anderson Membahas Masa Depan Kesetaraan Rasial Setelah Suksesnya Film Black Panther
Kini, tidak aneh rasanya melihat “Afrofuturisme” menghiasi tajuk New York Times atau bibir pembicara TV negara Barat. Bagian besar dari pengakuan akan gerakan kultural dan filosofis ini adalah kesuksesan besar film Black Panther. Film blockbuster Marvel tersebut menceritakan seorang raja dan petarung bernama T’Challa yang mengatur sebuah negara Afrika bernama Wakanda. Plot film membahas idealisme politik T’Challa dan radikalisme politik sepupunya Erik “Killmonger” Stevens. Negeri fiksi film ini adalah sebuah utopia kulit hitam, menampilkan teknologi canggih, ekualitas gender, dan masyarakat cerdas yang berhasil menolak kolonialisme dan imperialisme Eropa.
Di tengah kesengsaraan yang dialami kaum kulit hitam di benua Afrika dan diaspora Afrika, mulai dari isu perubahan iklim, krisis pengungsi hingga kekerasan yang dilakukan polisi dan kesenjangan pendapatan, Wakanda menampilkan kedambaan kita semua akan sesuatu yang menembus isu-isu penindasan dan pengabaian rasial. Namun biarpun Wakanda dan figur pahlawannya kini menjadi subyek utama yang orang kaitkan dengan Afrofuturisme, gerakan ini tidak lantas berhenti di sini. Sesungguhnya, Afrofuturisme lebih dari sekedar estetika dan hiburan—namun sebuah proyek berjalan tentang kegigihan teman-teman berkulit hitam. Filosofi sosial pan-Afrikanisme yang terus berkembang telah membantu membesarkan revolusi dan perubahan sosial di masa lalu dan sudah pasti akan berperan dalam perlawanan di masa mendatang.
Revolusi Haiti bisa dibilang adalah asal muasal spiritual Afrofuturisme sebagai bentuk pemberontakan dunia nyata. Pemberontakan budak Afrika dimulai pada 1791, di wilayah kolonial Perancis, Saint-Domingue, lewat sebuah upacara voodoo di bawah sinar bulan. Pada 1804, para kaum revolusioner berhasil melawan kekuatan kolonial. Lebih dari 50 tahun sebelum Amerika Serikat mengakhiri Perang Saudara, Haiti menjadi negara pertama dalam sejarah dunia yang terbentuk sebagai hasil pemberontakan warganya yang diperbudak.
Revolusi ini menjadi sumber imaginasi spekulatif warga kulit hitam mengidolakan kebebasan dan otonomi yang menginspirasi figur seperti Denmark Vesey, yang memulai pemberontakan budak di Charleston, South Carolina pada 1822; Marcus Garvey, seorang peyakin pan-Afrikanisme yang mencoba mendirikan kekuatan bagi orang-orang diaspora Afrika di awal abad 20; Kwake Nkrumah, perdana menteri pertama Ghana setelah negara tersebut meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1957; dan pemimpin hak asasi Amerika 1960an seperti Malcolm X dan Huey P. Newton, yang menyerukan pembelaan diri melawan kekerasan rasisme. Berkat kemenangan awal Haiti, para pemimpin tersebut bisa memimpikan apa yang disebut visioner awal Afrofuturis, W.E.B Du Bois sebagai “garis warna,” yang membuat kita merasa terasing bahkan di negara tempat kita lahir dan besar.
Saya mulai mengenal Afrofuturisme di akhir 90an, ketika sedang mengerjakan disertasi tentang Pembelaan Diri Black Panther Party. Salah satu pendiri partai tersebut, Huey P. Newton pernah mengatakan, “Black Power memberikan kekuatan bagi orang yang tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan takdirnya sendiri.” Bagi saya, Afrofuturisme menerapkan etos tersebut dalam perbuatan, lewat pemberontakan seni spekulatif dan dunia nyata.
Lima puluh dua tahun setelah penciptaan karakter buku komik Black Panther dan pembentukan Black Panther Party, para peyakin Afrofuturisme terus mencari kekuatan diri. Inilah yang mendorong jutaan orang kulit hitam ke bioskop untuk mengalami mitos Wakanda, tempat yang belum tersentuh oleh perdagangan budak transatlantik atau kolonialisme—sebuah tempat yang tidak mungkin dieksploitasi, ditaklukan, atau digentrifikasi. Tapi lebih dari sekedar alat penjual tiket bioskop, Afrofuturisme masih merupakan sebuah gerakan nyata yang menginspirasi. Penduduk kulit hitam dari seluruh dunia berusaha mewujudkan janji Afrofuturisme di dunia nyata hingga kini, dan mereka melakukannya dengan sensibilitas pan-Afrika.
Misalnya, pengusaha Isaac Muthui kini tengah mengembangkan Nurucoin, sebuah mata uang sintetik menggunakan teknologi blockchain yang nantinya bisa digunakan warga Afrika di seluruh benua untuk memisahkan diri mereka dari ketidakstabilan sistem finansial internasional Barat. Sama seperti Revolusi Haiti, inti dari ide ini adalah untuk menciptakan masa depan bagi bangsa kulit hitam yang terlindung dari tirani mereka-mereka yang berusaha menindas.
Dan biarpun teknologi canggih yang ditemukan karakter Afrika di film Black Panther terlihat terlalu mengada-ngada bagi beberapa orang, faktanya banyak negara Afrika saat ini berinvestasi besar di penemuan teknologi dan ilmiah. Nigeria, Ghana, dan Afrika Selatan semuanya memiliki agensi luar angkasa dan meluncurkan satelit mereka sendiri. Beberapa orang mungkin akan mencemooh upaya-upaya ini, tapi upaya-upaya ini praktis memberikan negara-negara ini otonomi nyata perihal isu-isu yang menjadi kekhawatiran mereka. Misalnya, banjir telah merusak Nigeria dalam beberapa tahun terakhir, membunuh ribuan orang dan menghempaskan jutaan orang. Cuaca ekstrem ini berhubungan dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh pembuangan gas emisi berlebihan dari negara seperti AS dan Cina. Tapi lewat program luar angkasanya, Nigeria memiliki alat untuk melawan itu semua. Satelit negara tersebut memberikan mereka akses untuk dokumentasi dan memonitor pola iklim, memperbarui peta, dan melacak populasi.
Tapi yang paling menarik dari Afrofuturisme di dunia nyata adalah bagaimana etosnya menginspirasi warga berkulit hitam untuk bersatu dan memperkuat ketergantungan. Di Haiti, pada akhir abad 18, seruan kebebasanlah yang menyatukan warga kulit hitam untuk memberontak dan menginspirasi pemimpin masa depan. Kini, di desa Awra Amba di utara Etiopia, keinginan untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan mendorong orang untuk membentuk komunitas progresif baru demi mencapai utopia Afro-sentrik abad 21 versi mereka sendiri.
Dipimpin oleh pemimpin egalitarian, penduduk desa Awra Amba menolak konsep peran tradisional gender. Mendorong perempuan untuk sama aktifnya bekerja dengan laki-laki telah membantu desa mereka menjadi lebih produktif dibanding komunitas-komunitas tetangga. Rata-rata pendapatan mereka dua kali lipat lebih besar dibanding pendapatan rata-rata di wilayah tersebut. Dan mereka menggunakan keuntungan tersebut untuk berinvestasi di pelayanan kesehatan umum, sekolah, dan perawatan kaum manula, memastikan generasi berikutnya akan lebih sejahtera dari generasi pendahulunya.
Komunitas dan inisiatif inovatif dan progresif macam ini bisa ditemukan di banyak diaspora dan benua Afrika. Eksistensi mereka menjadi pengingat bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan tidak berhenti di Haiti pada 1804, atau Amerika pada 1865, atau di revolusi sosial Afrika Selatan yang tidak tuntas pada 1994. Ketertarikan besar terhadap isu ini yang dihasilkan Black Panther telah menyalakan api Afrofuturisme dan menjadi sinyal bahwa akan semakin banyak upaya-upaya untuk menentukan nasib sendiri.
Dr. Reynaldo Anderson adalah penulis buku sekaligus pengamat isu afrofuturisme. Dia guru besar ilmu komunikasi di Harris-Stowe State University, St. Louis.
Ngozi Erondu Membahas Masa Depan Kesehatan Global Lebih Berkeadilan
Seandainya kita membuat pilihan yang benar, masa depan pelayanan kesehatan global bakal terang benderang. Berikut ramalan saya bagaimana hal tersebut bisa terjadi:
Hari ini, tahun 2068, dunia kita jauh lebih terhubung dari sebelumnya. Teorinya satu saja orang bersin, bisa menyebabkan penyebaran virus dan memicu wabah penyakit di tingkat global dalam hitungan menit. Namun, seperti yang dikisah oleh nenek saya, Ada, dunia jauh lebih sehat saat dia masih muda. Kini tiap kali dia mendongengkan pengalamannya keliling dunia sebagai seorang pakar epidemiologi penyakit menular muda pada 2018, saya kerap terperangah membayangkan sejuah apa umat manusia berubah dalam lima dekade saja. Saat ini, sistem pelayanan kesehatan global yang kami miiliki adalah buah dari upaya internasional bersama untuk mendayagunakan komunitas lokal guna melindungi kesehatan mereka sendiri dan komitmen yang kuat terhadap demokratisasi inovasi kesehatan.
Di masa mudanya, Nenek Ada berjuang tanpa kenal lelah memerangi Usulan Untuk Memotong Dana Penyelenggaran Kesehatan Global, yang diprakarsai oleh negara-negara makmur, dan mengadvokasi pembukaan keran dana serta peningkatan fasilitas riset dan medis di negara dengan pendapatan per kapita rendah. Apa yang dilakukan nenek dan kawan seperjuangnnya berhasil. Plus, perjuangan mereka mampu mengakhiri siklus aliran bantuan dari negara-negara belahan bumi utara yang kadang bengis namun kadang juga sangat baik ke negara-negara di belahan bumi selatan yang kadang malas-malasan menerima bantuan namun juga kadang tak pernah puas menyerap paket bantuan.
Saat itu, diskusi tentang aliran bantuan berkutat pada masalah “kelalahan donor” dan “institusi yang bermasalah,” dan lupa menanyakan pada penerima bantuan apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Alasannya adalah karena bertanya pada penerima bantuan sebenarnya perbuatan yang sia-sia. Pasalnya, mereka biasa hidup di bawah kendali pejabat pemerintah korup yang bernafsu ingin memperkaya diri alih-alih meningkatkan kondisi kesehatan rakyatnya. Alhasil, menurut pendapat yang banyak diyakini saat itu, alangkah lebih baik bila para penerima bantuan tinggal terima beres saja sementara keputusan pemberian bantuan diambil dengan memperhatikan temuan percobaan pemberian bantuan oleh negara makmur.
Namun, seiring makin banyak riset yang menunjukan efektivitas solusi yang memperhatikan kebutuhan suatu komunitas dalam upaya mengatasi wabah penyakit dan mengerem kebiasan-kebiasan yang membahayakan kesehatan, diskusi yang terjadi makin berwarna serta lebih bermakna. Orang-orang kala itu mulai berani menanyakan apakah dunia di mana sebagian besar dana bantuan, keahlian, sumber daya, teknologi dan inovasi didominasi oleh negara-negara kaya adalah dunia yang akan berhasil mengatasi masalah-masalah kesehatan di negara miskin.
Lalu sebuah terobisan terjadi dalam World Health Assemby 2025, ketika beberapa organisasi akar rumput dari negara Asia dan Afrika mendesak pelaksanaan dengar pendapat tentang inisiatif lokal untuk menurunkan angka kematian ibu melahirkan. Mereka menjelaskan bahwa mereka sudah terlanjur bosan mendengar orang berkata bahwa angka ibu yang meninggal dalam proses melahirkan jauh lebih tinggi di negara mereka daripada di negara-negara makmur. Mereka lantas menggelontorkan cerita demi cerita tentang keberhasilan mereka menjungkirbalikan kenyataan tersebut. Organisasi-organisasi akar rumput ini berhasil menciptakan sistem untuk memonitor perempuan-perempuan hamil di desa mereka dan mereka juga sudah berhasil merayu pelaku bisnis setempat untuk ikut membantu pembangunan jalan raya menuju rumah sakit terdekat.
Lebih dari itu, mereka berhasil melengkapi fasilitas kesehtan di tiap desa yang mereka ampu dengan obat-obatan untuk kondisi-kondisi yang membahayakan nyawa pasien. Mereka menginisiasi kunjungan ke rumah pengantin baru dan mengedukasi keluarga tentang fasilitas bersalin, obat-obatan dan suplemen yang penting dan perencanaan proses kelahiran anak. Bahkan, organisasi-organisasi ini sudah mengintegrasikan praktek-praktek tradisional yang menunjang gaya hidup sehat.
Saat ini, tiap orang ingin tahu apa yang terjadi di komunitasnya dan kawasan di sekitarnya. Jadi, data mengenai kesehatan harus bersifat open source, selalu diupdate dan tersedia dalam berbagai macam platform.
Kendati mereka merasakan tantangan tersendiri saat mendidik anggota komunitas mereka guna menjadi bidan, dokter dan tenaga farmasi terlatih, mereka tak merta meminta bantuan untuk mendatangkan tenaga asing. Yang mereka minta adalah akses terhadap teknologi. Mereka meminta agar dunia tak lagi bergantung pada institusi tertentu untuk menyelamatkan mereka karena sejatinya mereka siap untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.
Setelah momen penting yang menunjukkan efektivitas inisiatif lokal, datanglah Era Reformasi Bantuan, Pemerintah negara-negara tertentu dan beberapa organisasi donor membuat semacam strategi bantaun jangka panjang untuk meningkatkan segala aspek sistem kesehatan dengan memberikan subsidi serta meningkatkan jumlah pelatihan dan kuliah pelayanan kesehatan di seluruh penjuru dunia. Institusi non-kesehatan dan pengusaha swasta diberikan dorongan lebih untuk bekerja bersama pemerintah guna menciptakan lingkungan yang mempromosikan gaya hidup sehat. Misalnya, di Nigeria, bekas salah satu kota yang paling parah terpapar polusi di dunia, dewan kota setempat membuat kebijakan menyangkut pembuangan limbah industri. Lantas, ada juga aturan yang menyebutkan bahwa tiap perusahaan yang mendanai sistem pengolah limbah akan menerima subsidi pajak. Di masa ini, negara-negara di dunia melipatkan gandakan (bahkan sampai tiga kali lipat) belanja kesahatan mereka—terutama untuk mewujudkan universal health coverage. Seiring dengan makin sehatnya populasi Bumi dan makin sedikit orang jatuh miskin karena mahalnya biaya kesehatan, ekonomi dunia menunjukkan perkembangan berarti dan kesenjangan antara, atau dalam, negara di dunia makin berkurang.
Dengan medan yang lebih setara ini, pemusatan perhatian pada teknologi, sains dan inovasi tak hanya terwujud, tapi juga mengalami demokratisasi. Imbasnya, jumlah solusi teknologi yang datang dari laboratorium Global South yang dulu dipandang sebalah mata mengalami peningkatan. Saat ini, Afrika Barat, kawasan yang dulu pernah diporakporandakan oleh wabah Ebola paling mematikan dalam sejarah manusia, menjadi rumah bagi pusat penelitian teknologi medis global. Baru-baru ini, saya berkunjung ke Guinea. Di sana, para ilmuwan dari University of Conakry tengah memelopori teknologi dengkul bionik bagi penduduk yang berusia di atas 80 tahun. Hari ini, kita susah membayangkan bahwa penyakit yang sebenarnya bisa dengan mudah dicegah dengan vaksin meminta banyak nyawa di Yaman dan Bangladesh. Penyakit-penyakit ini tentunya sudah digayang habis saat tingkat imunisasi global mencapai angka 90 persen, pengakuan kesehatan sebagai salah satu hak asasi manusia dan bagian yang penting bagi kemajuan hidup manusia telah banyak mengubah wajah dunia. Berkurangnya ketergantungan terhadap institusi sentral dan pergeseran ke arah pertanggunganjawaban sipil kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah komunitas. Organisasi-organisasi besar belum sepenuhnya punah, tapi setidaknya tak sekolot dulu dan cenderung lebih terlokalisasi.
Andai saja kegigihan masyarakat dan komunitas lokal tak sekuat ini, lantas bagaimana mana caranya manusia bisa menggunakan teknologi macam penerbangan supersonik dengan aman dan nyawan? Di zaman Nenek Ada, ada banyak hal yang tak diketahui. Saat ini, tiap orang ingin tahu apa yang terjadi di komunitasnya dan kawasan di sekitarnya. Jadi, data mengenai kesehatan harus bersifat open source, selalu diupdate dan tersedia dalam berbagai macam platform. Setelah abad lalu, bepergian dari negara Eropa yang sedang dilanda wabah campak ke negara Amerika Utara yang dirundung wabah influenza tak hanya mengancam kesehatanmu, tapi juga membuat seisi pesawat kuman atau virus yang kamu bawa. Perkembangan pelayanan kesehatan global sudah mengubah semuanya.
Saya kini dalam perjalanan menuju Santiago, Chili dan saya baru saja mengecek sebuah aplikasi yang memberikan berbagai informasi tentang cuaca, tingkat imunisasi, tren resep yang sedang diberikan penyedia layanan kesehatan secara real time di Chili. Menurut aplikasi yang sama, saat ini, sepertinya ada kenaikan kasus infeksi saluran kencing di sana. Jadi, saya harus agak hati-hati.
Salah satu hal yang paling sering disalahpahami genearasi nenek saya adalah tentang resistensi antibiotik. Namun, saya sepenuhnya percaya bahwa dalam beberapa tahun ke depan ini tak akan jadi masalah begitu antibiotik diproduksi secara masal. Kini, baik pasien atau dokter tahu bahwa segala tindakannya memiliki dampak di dunia yang mereka tinggali.
Ngozi Erondu, PhD, adalah guru besar kesehatan masyarakat dari the London School of Hygiene and Tropical Medicine. Dia bertahun-tahun meneliti banyak virus mematikan.
George Turner Membahas Masa Depan Perpanjakan yang Lebih Adil
Dalam skala global, jumlah pajak yang dikemplang oleh perusahaan-perusahaan multinasional sangat besar, sekitar US$500 miliar setiap tahunnya menurut Alex Cobham dari Tax Justice Network. Selain itu, perkiraan kekayaan pribadi yang disimpan dalam rekening luar negeri adalah US$21 sampai US$32 triliun.
Hal ini berdampak pada hidup kita semua. Pengemplangan dan pengelakkan pajak adalah faktor utama disparitas ekonomi global. Biaya perumahan yang tinggi dan kemanan pekerjaan yang buruk, yang diderita oleh kaum muda di banyak negara bagian AS dan Inggris, berakar pada kegagalan masyarakat untuk mendapatkan kekayaan pajak dengan benar.
Pemerintah-pemerintah telah kekurangan pendapatan yang seharusnya bisa mereka gunakan untuk menyediakan layanan kesehatan dan kesejahteraan bagi warga negara mereka, yang mengakibatkan kurangnya penyediaan kesehatan publik yang berkualitas di banyak bagian dunia, dan penurunan standar peraturan dan pemotongan anggaran kesejahteraan yang menyebabkan orang-orang rentan hidup dalam kemiskinan.
Saat saya pertama kali menilik masalah-masalah ini, meluasnya penggunaan tax havens dipandang hanya sebagai praktik standar dalam komunitas bisnis.
Namun pekerjaan wartawan investigasi dan whistle-blower di seluruh dunia, dari David Cay Johnston di New York Times, sampai Nick Shaxson (penulis Treasure Isands), sampai Richard Brooks di Private Eye, dan seluruh tim di International Consortium of Investigative Journalists dan rekan-rekan mereka, serta banyak lainnya, telah mengubah cara pandang publik di dunia offshore. Pada 2013, kontribusi saya sendiri mengungkap bagaimana, melalui pengaturan pinjaman yang rumit, perusahaan-perusahaan air di Inggris Raya menggeser miliaran ke dalam offshore tax havens. Kini, di bawah ancaman nasionalisasi, sebagian dari mereka mengabaikan struktur-struktur ini.
Namun terlepas dari penerimaan yang meluas bahwa kita memiliki masalah, tampaknya kita masih jauh dari menemukan solusi. Setiap skandal telah menyebabkan hari-hari penuh tajuk berita, amarah politisi, dan seruan untuk bertindak, dan seruan untuk bertindak, dan tidak ada yang benar-benar terjadi sampai skandal berikutnya terjadi.
Jadi, bagaimana kita bisa memutuskan siklus tanpa akhir ini? Jawabannya bukan untuk memperbaiki celah dalam sistem pajak, tetapi untuk memikirkannya kembali.
Pertama-tama, coba pikirkan soal pajak korporasi, pengemplangan pajak perusahaan, bekerja.
Perpajakan korporasi adalah pajak dari keuntungan perusahaan. Perusahaan menghabiskan uang untuk membuat produk mereka dan menghasilkan uang dengan menjual produk mereka. Sisanya, kena pajak. Setelah itu, perusahaan dapat melakukan apapun yang disukainya dengan uang tunai. Bos dapat mentransfer semuanya ke rekening banknya di Siprus, dan tidak ada pajak perusahaan yang akan dikemplang.
Penghindaran pajak adalah seni memindahkan laba dari negara-negara dengan pajak yang lebih tinggi ke negara-negara dengan pajak yang lebih rendah sebelum pajak dibayarkan. Jika sebuah perusahaan sepenuhnya berbasis di satu negara, itu sulit dilakukan.
Tetapi kebangkitan perusahaan multinasional dengan operasi di seluruh dunia telah membawa peluang baru untuk menggeser laba dan menghindari pajak, karena perusahaan multinasional dapat memilih untuk mencari keuntungan dengan cara apapun.
Perusahaan teknologi, misalnya, berpendapat bahwa sebagian besar nilai yang mereka hasilkan adalah dalam algoritma dan teknologi yang mereka buat. Teknologi itu dapat dimasukkan ke dalam instrumen hukum seperti paten atau hak kekayaan intelektual dan kemudian dijual ke perusahaan lepas pantai yang dibuat semata-mata untuk memegang selembar kertas itu. Bagian lain dari perusahaan teknologi kemudian hanya bertindak sebagai reseller teknologi, membayar “pemilik” dari teknologi biaya besar dan kuat setiap tahun untuk hak untuk menggunakannya dan membuat sedikit keuntungan sendiri. Dengan begitu, uang mengalir dari pasar nyata ke tax havens.
Di luar dunia teknologi, perusahaan lain dapat menggunakan teknik yang sama, terutama jika mereka memiliki brand yang kuat. Dalam The Paradise Papers, terungkap bahwa perusahaan Nike di Eropa telah membayar miliaran ke perusahaan lain milik Nike di Bermuda untuk hak menggunakan logo “swoosh” mereka.
Pemalsuan pajak ini adalah fiksi yang jelas. Mereka mengajukan gagasan bahwa nilai teknologi dan brand tidak diciptakan oleh orang-orang, insinyur perangkat lunak, desainer, dan spesialis pemasaran yang menciptakannya, tetapi dengan potongan-potongan kertas yang ada di meja-meja penyedia layanan luar negeri.
Apabila kita memerhatikan skema pengemplangan pajak, bagaimana sebaiknya perusahaan multinasional dikenai pajak? Jawabannya masih belum jelas di bawah standar saat ini.
Standar internasional saat ini yaitu mencari cara bagi otoritas pajak untuk mengetahui seberapa banyak laba yang dihasilkan perusahaan multinasional di negaranya; ini disebut sebagai arm’s length principle. Sayangnya, sulit melakukan perhitungan ini bagi pemerintah.
Contohnya saja Apple. Mereka memperoleh keuntungan dari penjualan komputer, tablet dan ponsel dengan harga mahal. Untuk menciptakan produk tersebut agar bisa dijual ke pasaran, mereka membutuhkan desainer di kantor pusatnya di California, lalu diproduksi di Cina, dan dipasarkan oleh orang sales dan marketing di seluruh dunia. Merekalah yang mendukung kesuksesan Apple, perusahaan yang dibangun dari ide brilian, inovatif, dan pemasaran yang sukses sehingga orang rela membayar belasan juta untuk sebuah ponsel.
Jika Apple harus dikenai pajak dengan benar, otoritas pajak akan membagi sebagian laba perusahaan ke setiap bagian rantai pasok perusahaan yang membuat produk Apple, tapi bagaimana caranya menghitung seberapa besar laba dari iPhone seharga $1.000 (Rp13 juta) yang harus dibagikan ke setiap rantai pasok?
Untuk mencari tahu, pemerintah perlu memperhitungkan nilai setiap bagian rantai pasok yang turut memproduksi dan menjual produk. Tidak ada jawaban yang tepat untuk itu. Sama seperti nilai moral, nilai ekonomi sangatlah subjektif dan tergantung pada siapa yang menilainya. Bagaimana kamu menilai kinerja buruh Cina dengan tim marketing profesional di London? Saya yakin penilaianmu bisa berbeda dari pejabat serikat buruh Cina. Ketika penilaian tersebut menciptakan kekayaan yang berbeda di setiap negara, maka bisa menjadi sangat dipolitisasi.
Sisi politik masalah ini terungkap ketika Komisi Eropa memerintahkan Irlandia untuk mengumpulkan sekitar $16 miliar (Rp220 triliun) dalam pajak yang belum terbayar dari Apple untuk menjelaskan skema pengemplangan pajak di mana Apple telah meraup uang dari operasi-operasinya di Eropa ke Irlandia, di mana mereka bisa bebas pajak. Lalu terjadi aksi protes di seluruh sektor politik: Uni Eropa tidak berhak ikut campur; ini merupakan laba perusahaan Amerika, dan pajak yang dikemplang adalah pajak mereka. Apple telah mengajukan banding atas keputusan Uni Eropa melalui pengadilan, mereka menyebut ini sangat dipolitisasi.
Jadi apa jawabannya? Pertama, kita sebaiknya berhenti menganggap bahwa otoritas pajak harus membuat keputusan soal nilai individu setiap perusahaan. Sejujurnya, para CEO perusahaan saja tidak begitu paham dengan kontribusi nyata setiap bagian perusahaan yang mendukung kesuksesannya. Jika memungkinkan, kamu tidak perlu mengalami keputusan buruk yang dibuat oleh petinggi perusahaan.
Cara alternatifnya yaitu dengan membagi laba perusahaan ke setiap rantai pasok perusahaan di berbagai belahan dunia berdasarkan jumlah penjualan dan karyawan di sana. Setiap negara dapat menerapkan tarif pajaknya ke laba tersebut. Pendekatan semacam itu akan memotong tax haven, yang dihasilkan di atas perjanjian. Cara ini sudah dilakukan di AS untuk membagi laba perusahaan ke negara lain.
Lagi pula, laba tersebut bisa ada karena rakyat—baik karyawan maupun konsumen—bukan karena perjanjian.
George Turner adalah jurnalis investigasi berbasis di London. Dia Mendirikan Yayasan Finance Uncovered, jaringan liputan fokus pada dugaan pengemplangan pajak skala internasional.