Presiden Joko Widodo akhir pekan lalu menyiratkan sikap berani tak memperpanjang izin organisasi Front Pembela Islam (FPI), jika organisasi tersebut dirasa membahayakan negara. Dalam wawancaranya dengan Associated Press, Jumat 26 Juli lalu, dia menyinggung mengenai peninjauan surat keterangan terdaftar (SKT) ormas Islam yang lahir selepas kejatuhan Orde Baru itu.
“Ya, tentu saja [ada kemungkinan tak memperpanjang], sangat mungkin jika pemerintah meninjau dari sudut pandang keamanan dan ideologis menunjukkan bahwa mereka tidak sejalan dengan kepentingan bangsa,” kata Jokowi.
Videos by VICE
Izin Organisasi Front Pembela Islam (FPI) kedaluwarsa pada 20 Juni 2019 lalu. FPI sudah mengajukan perpanjangan izin ke Kementerian Dalam Negeri, tapi dokumen mereka dianggap belum lengkap. Ketua Bantuan Hukum FPI, Sugito Atmo Prawiro mengatakaninggal satu lagi syarat formal yang mesti dipenuhi FPI, yakni rekomendasi tertulis dari Kementerian Agama.
Sebelumnya, muncul seruan dalam bentuk petisi online, agar organisasi Islam yang lekat dengan aktivitas intoleran itu dibubarkan pemerintah. Petisi pembubaran ini kemudian dibalas dengan petisi online sejenis, agar Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) memperpanjang izin FPI.
Juru bicara FPI, Slamet Maarif, mengaku tidak akan diam saja jika pemerintah serius menolak perpanjangan SKT organisasi mereka. “Kalau masih ada yang menggaungkan izin ormas, maka kategori keterbelakangan intelektual dan kuasa gelap yang zalim itu. Baca putusan Mahkamah Konstitusi [MK],” ujarnya saat dikonfirmasi CNN Indonesia. FPI berkukuh kebebasan berserikat dan berkumpul dijamin oleh UUD 1945.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu balik menuntut FPI agar tak banyak berulah. “Jadi apa yang disampaikan presiden [Jokowi] sudah jelas. Kalau siapapun yang tidak sejalan dengan ideologi Pancasila, saya sudah sering sampaikan, tidak usah di sini [Indonesia],” ujarnya dalam jumpa pers.
Pemerintahan Jokowi membuktikan diri tak ragu membekukan ormas muslim yang dianggap membahayakan keamanan maupun politik dalam negeri. Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jemaah Ansharut Daulah (JAD) sudah mengalaminya.
VICE sebelumnya sempat menulis kemungkinan pembubaran FPI. Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitulu menyatakan di negara demokrasi, semua pihak harus diberi hak kebebasan berserikat dan berkumpul. Pemerintah, katanya, punya payung hukum soal apa yang boleh dilakukan ormas serta mana yang tidak. Artinya, semangat petisi pembubaran FPI justru berbahaya, karena memberi lampu hijau bagi pemerintah melakukan hal yang sama untuk ormas lain—termasuk yang agendanya progresif seperti kelompok HAM atau serikat buruh.
Sementara itu, ahli hukum tata negara Universitas Khairun Ternate, Margarito Kamis, mengatakan eksistensi FPI tak bisa serta merta dihilangkan. Bahkan sekalipun SKT-nya tidak diperpanjang oleh pemerintah. Menurutnya, lebih baik FPI terdaftar sebagai ormas di pemerintahan, sebab dengan begitu pemerintah dapat terus memantau pergerakannya.
Lagipula, seandainya FPI dibubarkan, masih saja ada kemungkinan bahwa elemen organisasi tersebut tetap hidup kuat di masyarakat. Tidak ada yang bisa menjamin FPI benar-benar hilang. “Secara formal mungkin dia tidak ada, tetapi secara sosiologis hidup di tengah masyarakat. Bagaimana cara membubarkannya?” papar Margarito kepada VICE.
Manuver Jokowi ini juga bisa dibaca sebagai upayanya membuktikan diri sebagai pemimpin yang mendukung kegiatan keagamaan moderat. Sebelum pilpres, kontroversi sempat mencuat saat Jokowi memilih Mantan Ketua MUI, Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden. Sebagian pendukung Jokowi yang mendukung keberagaman kecewa, karena rekam jejak Ma’ruf di masa lalu pernah mendukung beragam kebijakan intoleran terhadap umat agama minoritas.
Berulang kali Jokowi menyatakan keinginannya terus menggaungkan Islam moderat di Indonesia. Ia membantah bahwa dirinya merangkul kelompok garis keras untuk memenangkan Pemilihan Presiden. Komentar soal SKT ini juga muncul seiring dengan wawancara khususnya bersama CNN Indonesia membahas keberagaman di Tanah Air.
“Saya percaya Islam di Indonesia toleran. Islam di Indonesia modern dan berpikiran panjang,” kata Jokowi kepada CNN Indonesia. “Kami ingin bekerja bersama seluruh lapisan masyarakat. Kami ingin bersama semua orang membesarkan negara ini, bukan dengan mereka yang ingin menghancurkan ideologi negara ini. Tidak ada kompromi.”
Perdebatan soal dikotomi Islam moderat dan konservatif atau malah radikal ini menjadi rumit, terutama saat dikaitkan pada kondisi perpolitikan Indonesia jelang pemilu tempo hari.
Kandidat Doktor Teologi di Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, Laily Fitri menuliskan opininya di Indoprogress, bahwa momen pilpres 2019 yang cukup sektarian berperan memperkuat diskursus biner antara Islam ‘konservatif’ dan Islam ‘moderat’—atau dalam bahasa Presiden Jokowi “berpikiran panjang.” Laily mengkaji terminologi “Islam moderat” di media massa. Menurutnya, diskursus “Islam moderat” yang selama ini dibahas lebih menyerupai sikap keagamaan untuk menjustifikasi langkah yang diambil oleh pemerintahan terpilih.
“Menjadi bagian dari ‘Islam progresif’ macam ini bermakna sama dengan memberikan totalitas dukungan bagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, dan untuk membedakan ‘Islam moderat’ pendukung pemerintahan dengan gerakan Islam progresif lainnya, saya menggunakan istilah ‘Islam pemerintahan’ untuk menyebutnya,” demikian kutipan opini Laily di Indoprogress.
Pertanyaannya apakah memberangus kebebasan berorganisasi, termasuk FPI, merupakan bentuk progresivitas dan modernitas yang hendak diusung periode kedua Jokowi? Langkah riil pemerintahan Jokowi di masa mendatang yang bisa menjawabnya.