Tiga ibu bernama Dwi, Santi, dan Novia—didampingi lembaga advokasi Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Masyarakat, Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), dan East Java Action (EJA)—menggugat UU 35/2009 tentang Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiga perempuan tersebut mengaku membutuhkan akses ke narkotika golongan I itu demi mengobati penyakit anak mereka.
Dwi ingin menggunakan ekstrak ganja agar anaknya yang sakit bisa menjalani terapi minyak cannabidiol (CBD), senyawa kimia pada tanaman ganja. Menurut BPOM-nya Amerika, US Food and Drug Administration, CBD emang udah dipelajari sebagai alternatif pengobatan baru sebab komponen satu ini tidak menyebabkan pemakainya halusinasi atau ketergantungan.
Videos by VICE
Dwi mengaku kesehatan anaknya sempat membaik setelah menjalani terapi tersebut di Australia pada 2016 sehingga ia ingin melakukannya lagi di Indonesia. Alasan sama dimiliki Santi gara-gara anaknya sakit-sakitan. Santi ingin mencoba terapi minyak CBD setelah disarankan temannya yang tinggal di luar negeri. Namun niatan itu terbentur larangan penggunaan ganja untuk apa pun yang tertera di UU 35/2009. Sedangkan Novia mengaku memiliki anak yang menderita epilepsi yang juga ingin mencoba terapi minyak CBD.
“Kami sudah mengajukan dan mendaftarkan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” kata kuasa hukum pemohon Ma’ruf Bajammal kepada Kompas, Kamis (19/11) kemarin.
Ma’ruf menjelaskan, gugatan dilakukan dilandasi tiga hal. Pertama, pelarangan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan tidak sejalan dengan hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak sehat. Kedua, pelaksanaan UU Narkotika bertentangan dengan semangat pembentukan UU yang melegitimasi narkotika untuk berkontribusi pada pelayanan kesehatan. Ketiga, sudah ada contoh ganja medis di 40 negara lain yang menggunakan minyak CBD, seperti Denmark, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, dan Thailand.
Gugatan dari trio emak progresif ini adalah gugatan kedua terhadap UU Narkotika sepanjang bulan ini. Awal November lalu, Ardian Aldiano baru saja mengajukan uji materi atas Pasal 111 dan 144 UU Narkotika ke MK. Ardian adalah terdakwa narkoba yang diputus Pengadilan Negeri Surabaya sebab ketahuan menanam 27 tanaman ganja hidroponik untuk konsumsi sendiri. Pada tuntutannya, doi meminta penjelasan atas definisi “pohon” pada kedua pasal UU Narkotika tersebut yang ia rasa tidak jelas.
Kuasa hukum pemohon Singgih Tomi Gumilang menjelaskan penanaman dan konsumsi ganja tersebut dilakukan Ardian untuk mengobati sakit kejang. Dari situ, Ardian kecanduan ganja dan bergabung di Yayasan Garuda Gandrung Satria untuk melakukan rehabilitasi. Singgih juga menyebut hak kliennya dilanggar sebab Pasal 128 UU Narkotika menjamin WNI yang sedang direhabilitasi untuk tidak dituntut pidana.
Pertarungan definisi pohon terjadi sebab penegak hukum mengategorikan ganja setinggi 0,5 sentimeter sampai 5 meter sebagai “pohon”, definisi yang permasalahkan Ardian. Hal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebab pasal multitafsir membuat kliennya tidak mendapatkan jaminan dan kepastian hukum yang adil, sebagaimana diatur konstitusi.
“Pemohon mengalami kerugian konstitusional yaitu hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, akibat tidak adanya definisi yang jelas mengenai kata pohon pada Penjelasan Pasal 111 dan Pasal 114,” kata Singgih dilansir Sindonews.
Gugatan bertubi-tubi soal UU Narkotika di bulan ini jadi lanjutan rencana gugatan serupa pada Juni lalu. Saat itu, ICJR sempat mengabarkan rencana mengajukan uji materi UU Narkotika ke MK terhalang pandemi corona. “Karena kondisi masih pandemi jadi ada kendala teknis untuk mengajukan permohonannya. Saat ini masih dalam tahap persiapan untuk mengajukan permohonannya. Sementara masih kami diskusikan juga dengan rekan-rekan jaringan masyarakat sipil untuk mematangkan rencana ini,” kata peneliti ICJR Iftitahsari kepada Tagar. Melihat ICJR ikut mendukung ketiga emak yang menggugat, mari berharap gabungan kekuatan ini membawa kabar baik.
Advokat Lingkar Ganja Nusantara Tomi Gumilang mengaku UU Narkotika udah enggak relevan digunakan sebab ganja udah terbukti bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan riset, medis, dan farmasi. Februari lalu, sebenarnya Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sempat ngasih harapan dengan mengumumkan ganja sebagai tanaman obat binaan Kementan. Sayang, setelah surat keputusan tersebut viral pada Agustus, Syahrul langsung mencabutnya gara-gara diancam Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri pakai UU Narkotika.
BNN-Polri juga jadi pihak yang menolak rekomendasi WHO untuk melegalkan ganja medis dan mengaku sudah melakukan penelitian terhadapnya. Namun, saat diminta membuka hasil penelitian ke publik oleh koalisi masyarakat sipil, BNN-Polri tak kunjung bersedia membagi data tersebut.