Debat Capres putaran pertama berlangsung Kamis (17/1) malam. Kedua pasangan calon, baik itu Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno, bakal tatap muka dalam satu panggung, beradu argumen, dan membeberkan visi-misi serta memaparkan pandangan-pandangan personal mereka tentang berbagai masalah negeri. Adapun topik bahasannya adalah persoalan Hukum, Hak Asasi Manusia, Korupsi, dan Terorisme. Dapat dipastikan debat berlangsung panas (atau malah amat antiklimaks akibat adanya kisi-kisi) mengingat kedua kubu sama-sama punya cela terkait materi yang dibahas.
Namun Calon wakil presiden dari nomor urut 2, Sandiaga Salahuddin Uno, menyentil petahan terlebih dulu sebelum debat dimulai. Dia memakai amunisi seputar kebebasan berpendapat. Pengusaha yang menguasai grup Saratoga ini mengaku bakal bersikap legowo, jika ada rakyat yang nantinya akan melakukan kritik di masa pemerintahanya, andai ia terpilih. Kata-kata itu, tentu saja, menyerang catatan buruk petahana seputar kebebasan berpendapat.
Videos by VICE
“Jadi yang kami pastikan adalah tak ada kriminalisasi terhadap pengkritik kami. Kami akan buka forum seluas-luasnya untuk membangun bangsa dengan merangkul semua,” kata Sandiaga Uno, dilansir dari Tribunnews.com. “Karena kami ingin menjadi pemimpin bagi pengkritik kami juga, bukan hanya pemimpin bagi pendukung pemerintah.”
Tak bisa dipungkiri, salah satu isu penting bidang hukum dan HAM lima tahun belakangan adalah persoalan kebebasan berekspresi. Salah satu biang keroknya adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Era kekuasaan Jokowi tercatat sebagai masa suram bagi kebebasan berpendapat warga. Berulang kali terjadi pemberangusan pengkritik pemerintah memanfaatkan pasal karet dalam UU ITE. Yang memakainya macam-macam, mulai dari politisi, pejabat, pimpinan daerah, dan juga sesama sipil.
Undang-undang bermasalah ini lahir 2008, dan sempat direvisi pada 2016. Proses pembahasan revisi pun tak transparan karena sering dilakukan secara tertutup. Banyak yang menyayangkan revisi tiga tahun silam berlangsung antiklimaks karena pasal-pasal bermasalah tetap dipertahankan, menandakan penguasa baik legislatif maupun eksekutif berkepentingan mempertahankan pasal-pasal karet tersebut.
Sandiaga menyentil perkara kritik tersebut, karena faktanya pemakaian UU ITE memang meningkat lima tahun terakhir menyasar kelompok oposisi ataupun yang berkomentar di medsos seputar politik. Tercatat sejak dicetuskannya undang-undang ini, sebanyak 249 kasus yang dilaporkan memakai UU ITE hingga Januari 2019. Ada 61 kasus terjadi sepanjang 2008–2014, pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dan meningkat lebih dari 300 persen sepanjang masa pemerintahan Jokowi, yakni menjadi 189 kasus.
“Karena semakin ke sini orang semakin sadar bahwa undang-undang ini sangat mudah digunakan untuk menjerat pihak yang berbeda pendapat. Potensi terdakwa untuk lolos sangat kecil. Saya melihat adanya pembiaran dari pemerintah terkait penjeratan kasus lewat undang-undang ini,” kata Anton Muhajir selaku Sekretaris Jenderal SAFEnet, organisasi swadaya berfokus pada advokasi dan perlindungan hak digital warga.
Berdasarkan data yang diolah dari temuan SAFEnet, 35,92 persen yang mengadukan pencemaran nama baik adalah pejabat negara. Sementara yang paling dilaporkan adalah masyarakat awam, sebesar 29,4 persen. Tak heran bila yang paling banyak memakan korban adalah pasal 27 ayat 3, seputar persoalan penghinaan dan pencemaran nama baik.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Arsul Sani menolak menjawab pertanyaan VICE seputar data meningkatnya kasus UU ITE di era Jokowi, dengan dalih sibuk mempersiapkan debat.
Anton Muhajir merasa undang-undang ini—jika tak kembali direvisi—akan menebar ketakutan kepada rakyat, untuk bersikap serta berpikir kritis. Mayoritas pelaporan adalah mereka yang memiliki kuasa, baik secara politis maupun ekonomi. Terjeratnya aktivis, oposisi, maupun warga biasa akibat UU ITE adalah wajah bopeng dari demokrasi kita hari ini. Padahal, UUD 1945 menjamin setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat.
Tonton dokumenter VICE seputar akar sektarianisme dan merebaknya isu SARA di Jakarta dua tahun belakangan:
Contohnya seperti yang dialami Anindya Joediono. Operasi aparat negara gabungan membubarkan paksa pemutaran film Biak Berdarah, di Asrama Mahasiswa Papua di sekitaran jalan Kalasan, Surabaya. Di tengah kekacauan, ia mengalami pelecehan seksual yang dilakukan salah seorang aparat pada 6 Juli 2018.
Tiga hari kemudian ia melaporkan pelecehan yang dialami ke polisi. Bukan perlindungan yang ia peroleh, justru Anindya dipanggil ke kantor kepolisian atas dugaan pencemaran nama baik. Ajaibnya, nama pelapor Anindya memakai UU ITE itu tidak dicantumkan.
Pengalaman serupa juga dialami oleh Muhammad Arsyad asal Makassar. Ia mengalami pengeroyokan pasca siaran di salah satu program televisi lokal. Penyerangan tersebut didasari karena sikap politisnya yang tidak mendukung Kadir Halid, adik dari Nurdin Halid mantan ketua Perserikatan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), yang saat itu tengah mencalonkan diri sebagai calon walikota Makassar untuk periode 2013 – 2018. Arsyad jadi kambing hitam kekalahan Kadir kala itu.
“Mulanya saya melaporkan pengeroyokan. Namun justru saya ditangkap dan di tahan selama 100 hari tanpa persidangan. Hanya dengan indikasi dugaan bahwa saya menulis status BBM yang dianggap mencemarkan nama baik Kaadir Halid,” kata Arsyad kepada VICE. “Baru dugaan saja saya sudah dipenjara di kejaksaan. Saya merasa negara kurang sigap terhadap kasus UU ITE.”
Kasus serupa tidak hanya mendera Anindya atau Arsyad saja. Bahkan mungkin masih segar di ingatan kasus pelecehan seksual yang dialami Baiq Nuril yang malah balik dipenjarakan oleh pelaku karena dinyatakan melanggar UU ITE karena mencemarkan nama Haji Muslim, si pelaku pelecehan.
Terlepas dari itu semua, dalam debat nanti malam bukan berarti paslon nomor urut dua bisa melenggang. Prabowo sendiri punya cela jauh lebih banyak dibanding Jokowi-Ma’ruf untuk urusan Hukum dan HAM. Prabowo belum pernah secara tuntas ‘membersihkan diri’ dari catatan hitam pelanggaran hak azasi manusia era 1998 lalu. Namanya sering dikait-kaitkan dengan aksi penculikan mahasiswa dan aktivis yang terjadi sepanjang kurun 1997-1998.
Kendati begitu, rezim Jokowi juga gagal memenuhi janjinya soal urusan penegakan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kasus Munir? Tak ada kemajuan. Kasus penembakan mahasiswa, penculikan dan penghilangan paksa aktivis selama masa kekacauan reformasi? Setali tiga uang. Pembunuhan dan impunitas di Papua? Kurang lebih sama. Penyelidikan kasus penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan pun jalan di tempat. Karenanya, hampir pasti tak akan ada pemenang sungguhan dalam debat paslon pertama menjelang pilpres 2019, seputar Hukum dan HAM.