Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.
Seorang pria mengenakan seragam lari merah kumal dan topi baseball dipakai terbalik menyadari saya mondar-mandir di pusat perbelanjaan Ibu Kota Beijing, Cina. Sambil mengangguk, lelaki itu berbisik, “Mau teh?”
Ya sudah, saya iyakan saja. Teh, bagi saya, identik sebagai minuman hangat. Hari itu cukup bikin tubuh menggigil. Tanpa banyak pikir, saya ngeloyor mengikuti lelaki itu, menjauhi kerumuman pengunjung, menuju salah satu pojok bangunan.
Videos by VICE
Segera saya sadar, kenalan baru ini dandanannya janggal banget, kelihatan enggak nyambung sama penampilan para pengunjung pusat perbelanjaan Taiko Li, Beijing. Si bapak ini segera menunjukkan sebuah kertas daftar menu yang sudah kelihatan lusuh ke hadapan saya. Green tea atau black cheese tea? Atau kamu pengin minuman dari anggur atau malah makanan pencuci mulut dari mangga? Si bapak bertanya ke saya tanpa henti.
Jika kau mau menambah 30 yuan untuk setiap item yang kita pilih, satu anak buah pria itu akan mengantre di cabang kios Hey Tea, perusahaan penjaja minuman segar yang telah bikin netizen Cina tergila-gila. Di mal yang sedang saya datangi, ada satu kiosnya.
Karena saya balas banyak nanya, ditemani seorang penerjemah bahasa Cina, plus lelaki berkumis asal Slovenia yang bertugas sebagai seorang juru kamera, pria itu segara bisa menebak pekerjaan saya sebagai seorang jurnalis. Si bapak batal menawari saya jasa mengantre. Dia sadar sedang diwawancarai.
“Ini kan tidak melanggar hukum, saya cuma menawarkan jasa ngantre saja,” ujar pria itu sambil perlahan beringsut menjauh.
Tahun ini, Hey Tea berkat produk minuman andalannya—teh dingin dengan lapisan tebal keju cari yang agak membeku di atasnya—menjelma sebagai fenomena. Didirikan pada 2012 di provinsi Guangdong, perusahaan ini awalnya diberi nama Royal Tea, menawarkan produk teh asin. Empat tahun kemudian, Royal Tea memutuskan melakukan rebranding habis-habisan. Nama perusahaan diganti menjadi Hey Tea dan produk andalan mereka kini adalah teh berwarna keemasan dengan kombinasi teh dan keju yang agak tak umum.
Nama brand Hey Tea melambung lantaran produknya yang khas dan antrian yang kerap mengular di cabang-cabangnya. Saat dua cabangnya di Beijing buka, pengunjung rela antre hingga tiga jam lamanya. Xiao Shuqin, publicist Hey Tea, mengatakan bahwa pelanggan saat ini sampai rela mengantri selama enam jam di enam cabang Hey Tea di Shanghai. Perusahaan penjaja teh unik ini sampai menyewa satpam demi menjaga antrean tetap tertib dan menghalangi para calo menyalip antrean.
Saya ikut mengantre di depan cabang Hey Tea di Taiko Li, yang menurut keterangan Xiao, menjajakan 3.000 gelas minuman saban hari. Saya pribadi penasaran apa sih yang bikin teh yang paling banter habis dalam enam tegukan begitu digilai netizen Cina. Hasil percakapan dengan beberapa pengantre, saya mendapat kesan kalau tak ada inovasi kuliner yang mencengangkan dalam Hey Tea.
“Ini sebenarnya teh biasa…tapi ada keju di atasnya,” kata Liu Jie, seorang staf personalia yang sebelumnya pernah mencicipi Hey Tea. Saya desak Lie untuk menjelaskan kemaknyusan teh ini lebih jauh. Sayang, Lie cuma menjawan. “Kejunya enak. Tehnya juga enak.”
Tehnya memang enak, tapi burger dan es krim juga enak loh. Bedanya saya tak mungkin sudi ngantre berjam-jam cuma buat keduanya. “Teh susu bukan ide baru. Yang baru itu ide kami untuk menambahkan keju,” kata Xiao, membenarkan prasangka saya. “Kami melakukan penelitian lewat media sosial dan kami menemukan makanan dan minuman apapun yang mengandung keju biasanya cepat populer. Kami pernah menaruh mangga di atas teh tapi hasilnya mengecewakan. Lalu, kami menemukan bahwa keju dan teh ternyata saling melengkapi. Keju menjadi penawar pahitnya teh dengan rasanya yang manis dan ringan. Begitu meminumnya, kami merasakan kembali rasa manis teh yang nikmat.”
Estetika Hey Tea sama pentingnya bagi kesuksesan perusahaan dan selera para pelanggannya. Desain dan branding Hey Tea memang keren—staf yang memakai baju biru khas barista yang menuang sendok demi sendok keju di depan logo Hey Tea, siluet bocah yang sedang menenggak teh. Gelas plastik teh Hey Tea tembus pandang, didesain seminimalis dan sekeren mungkin. Bahkan, saya optimis buih-buih yang terperangkap didalamnya membuat gelas-gelas ini terancam jadi ikon tersendiri nantinya.
Hampir semua pengunjung yang akhirnya sukses membeli Hey Tea segera mengunggah foto hasil buruannya ke media sosial. Karena setiap pengantre hanya boleh membeli tiga gelas teh, kebanyakan pengantre membawa pulang dua gelas. “Media sosial membuat tempat ini menjadi sebuah fesyen, tren dan simbol,” ujar Karen Wang, mahasiswa berusia 21 tahun, sambi mengetuk-ngetuk bagian belakang gelas green tea kejunya. “Mirip seperti waktu Starbucks pertama kali buka cabang di Beijing.”
Dari para pengantre pula, saya mendapatkan penjelasan mengapa Hey Tea jadi fenomena internet dan foto produknya membanjiri jagat maya Tiongkok. “Kami awalnya lihat foto kawan ngantre di salah satu cabang di Beijing. Jadi, kami ikutan datang ke sini,” kata Zhang Wanqing, pelajar 16 tahun yang memotret tea pesanannya di sebelah kelinci peliharaannya yang mungil. Saya lantas bertanya dia memutuskan beli Hey Tea cuma gara-gara lihat foto antrean. “Ada semacan pencapaian dan kepuasaan tersendiri begitu kami mencicipi tehnya setelah lama mengantre.”
Lalu, bagaimana dengan rasanya? Zhang cuma mengangkat bahu. “Biasa saja. Tapi fotoku sudah di-like sembilan orang.”
Cerita hampir mirip datang dari meja sebelah. Wang Xuan, guru SD berusia 23 tahun, melihat antrean panjang Hey Tea di Weibo, aplikasi mirip Twitter di Cina. Sontak, dirinya langsung penasaran. Wang dan kawannya segera beranjak ke cabang Hey Tea terdekat. Tujuannya: bisa memotret teh keju yang mereka beli dan menambahkan lautan foto serupa. Ribet amat sih cuma buat eksis di medsos? “Kami mau membuktikan kalau kamu juga pernah minum teh ini. Agak pamer sih. Tapi, semua teman saya melakukannya—ini dia intinya: membagi foto tehnya di internet.”
Faktanya, bagi para pelanggan Hey Tea, antrean panjang berjam-jam bukanlah kendala. Malah, bagi mereka, berjuang mengantre macam itu tak jauh beda dari pencapaian sebuah game yang harus di-unlock.
Setelah mengantre satu jam 45 menit, saya akhirnya bisa mengecap teh keju yang harganya antara 25 sampai 30 yuan. Ada tiga pilihan varian: green, black, dan oolong. Tehnya maknyus—takaran kejunya pas banget dan tehnya lembut dan tak terlalu keras. Lapisan putih dalam teh itu tak terlalu keras di lidah seperti yang saya duga. Intinya, rasa tehnya subtil. Saya jadi ingat Xiao yang bilang kalau Hey Tea adalah paduan dari keju Anchor Selandia Baru, susu, krim, dan garam.
Setimpal dengan lamanya mengantre? Enggak tahu deh. Yang jelas tehnya fantastis. Saya termasuk netizen yang memasang foto-foto kucing atau anjing pakai sepatu, bukan foto teh atau antrean panjang. Jadi, mungkin saya tetap kurang paham bagaimana teh ini di dunia maya bisa kerasa keren banget.
Paula Jin ikut membantu dalam liputan ini. Follow Jamie di Twitter: @jamiefullerton1