Berkunjung ke Firdaus Mini Pecinta Syariat yang Merebak di Berbagai Kota Indonesia

Berkunjung ke Komplek Perumahan Islami Mirip Kekhalifahan Mini yang Merebak di Berbagai Kota Indonesia

Selepas salat zuhur Herman Jaelani tergopoh menuju empang yang letaknya cuma sepelemparan batu dari masjid. Dia masih mengenakan baju koko coklat muda dan kopiah putih kusam favoritnya. Teriakan warga mengganggu kekhusyukan doanya sedari duduk tasyahud awal. Sebagai ketua RT di tempat tersebut, dia wajib mencari tahu muasal ingar-bingar itu. Keributan adalah hal yang nyaris absen dari kehidupan penghuni perumahan Kampung Islami Thoyibah, Kecamatan Kertamukti, Cibitung, Jawa Barat.

Musim kemarau panjang membuat tinggi air di kolam cuma sebatas lutut orang dewasa. Empang itu cukup luas, separuh lapangan sepabola. Terletak di bagian depan perumahan yang gersang dan berdebu, membuatnya tampak seperti oase di tengah gurun. Agaknya tak berlebihan, sebab tak ada sebatang pohon pun yang tumbuh menaungi perumahan seluas empat hektare tersebut. Di tengah empang, Jaelani melihat beberapa orang tak dikenal yang tengah mengambil ikan tanpa seizin warga.

Videos by VICE

“Itu [kelakuan] orang kampung sebelah,” kata Jaelani. “Di kompleks ini enggak ada pagar tembok pembatas. Jadi orang asing bisa bebas keluar masuk.”

Setelah berdiplomasi sebentar, Jaelani tak punya pilihan selain membiarkan warga kampung sebelah menggasak ikan-ikan di empang. Dia tak menyukai konflik. Meski begitu, gurat kekesalan tak bisa disembunyikan dari raut wajahnya.

Orang-orang dari kampung sebelah itu, kata Jaelani, merasa diri merekalah yang memasukkan ikan-ikan itu di empang, seraya merasa berhak memanen apa yang telah disemai. Sementara warga Thoyibah cuma jadi penonton di rumahnya sendiri. Menyaksikan ikan-ikan sebesar dua telapak tangan berpindah dari empang ke keranjang.

Warga Thoyibah belakangan sedikit paranoid. Sebab itu tak cuma perkara ikan yang dijarah. Ini juga terkait keamanan. Sudah dua kali perumahan mereka disatroni maling dalam rentang 30 hari. Dua sepeda motor lenyap tak berbekas. Padahal warga sudah menggiatkan keamanan keliling. Jika ikan saja bisa dijarah tepat di bawah hidung saat siang bolong, bagaimana dengan nasib harta benda di malam hari?

“Kami di sini hidup damai dan terbuka terhadap warga sekitar,” kata Jaelani sambil berjalan menjauh dari empang. “Tapi kadang mereka tak punya tata krama dan asal menerobos masuk.”

1574755874433-DSC07635
Gerbang memasuki Kampung Islami Thoyibah. Foto oleh Muhammad Ishomuddin/VICE

Perumahan Thoyibah terletak cukup jauh dari keramaian, di seberang kali Cikarang-Bekasi-Laut (CBL), yang lebih kerap mengalirkan limbah berbau anyir dari pabrik daripada air bersih. Sekelilingnya cuma sawah dan pergudangan. Tak ada kendaraan umum yang melintas. Satu-satunya akses jalan menuju kampung itu cuma jalan beton berdebu yang sempit dan rusak akibat keseringan dilindas kendaraan berat.

Ada 400 rumah di kompleks itu yang baru dihuni 120 kepala keluarga. Di dalamnya ada sebuah pesantren, taman pendidikan Al Quran buat anak-anak, aula tempat pengajian, dan masjid yang belum selesai dibangun. Sebuah plakat bertuliskan “Wajib Berbusana Muslim dan Muslimah” tergantung di sebuah palang yang menyambut siapapun berniat masuk ke lingkungan perumahan.

Kehidupan di Kampung Thoyibah terasa asketik. Jauh dari hiruk pikuk khas kota besar. Kebanyakan warganya tak punya TV. Setiap hari selalu diisi dengan mendaras Al Quran, salat lima waktu berjamaah, atau beragam pengajian. Bertolak belakang dari ramainya media sosial pada 2017 ketika foto sebuah spanduk “Tata Tertib Perumahan Kampung Islami Thoyibah” viral di Facebook. Daftar tata tertib tersebut memicu pro-kontra netizen.

Isinya antara lain: mewajibkan perempuan berhijab, larangan merokok dan menyetel musik, serta mewajibkan salat berjamaah di masjid bagi warganya. Belakangan foto itu sudah dihapus dari Facebook. Tapi media lokal dan barat kadung berbondong-bondong datang meliput. Sementara para pengamat sosial dan orang muslim moderat mewanti-wanti bahaya laten intoleransi dari model permukiman tertutup dan ‘eksklusif’ macam ini.

Jaelani kemudian berjalan menuju rumahnya yang terletak di bagian belakang kompleks. Rumah itu cukup sederhana bercat hijau. Di pintu rumahnya tertempel sebuah plat bertuliskan “beri kami waktu sebentar untuk mengenakan hijab.”

Jaelani ternyata masih muda, sesuatu yang nyaris tersembunyi dengan baik di balik baju koko dan celana cingkrang. Usianya baru 34 tahun dan memiliki dua orang anak. Perawakannya kurus, dengan jenggot tipis tumbuh tak beraturan di dagunya. Dia salah satu penghuni pertama sejak kompleks itu siap dihuni pada 2017. Otomatis Jaelani dituakan warga lain. Sehari-hari dia bekerja sebagai tenaga marketing perusahaan di Kota Bekasi.

1574756161087-DSC09493
Warga bergegas menunakan salat berjamaah di masjid yang belum selesai dibangun, di tengah kampung Islami Cibitung. Foto oleh Glory Victory/VICE

Rumahnya adalah tipe 60, seperti kebanyakan rumah di Thoyibah, yang sejatinya merupakan perumahan subsidi. Harganya Rp148 juta, yang dicicil selama 15 tahun. Flat tanpa riba dan tanpa denda keterlambatan, seperti ajaran tentang jual-beli rumah syariah yang marak lima tahun belakangan. Tapi bukan cuma perkara absennya riba yang menarik hati Jaelani dan 119 kepala keluarga lainnya. Sebab hanya sedikit pengembang yang benar-benar menerapkan akad jual-beli tanpa embel-embel denda dan lingkungan Islami yang sesuai sunah Rasulullah.

“Kredit rumah syariah gampang banget dicari,” tutur Jaelani. “Tapi yang benar-benar menerapkan konsep kehidupan syariah, saya rasa baru Kampung Thoyibah ini yang menawarkan. Itulah kenapa saya tertarik tinggal di sini. Kalau Anda telat membayar angsuran, tidak ada pihak lain yang akan menyita rumah Anda.”

Sebelum memutuskan tinggal di Kampung Thoyibah, Jaelani mengontrak di kompleks perumahan yang heterogen di kawasan Cikarang selama tiga tahun. Kehidupan yang majemuk bersama warga dari beragam latar belakang justru membuat Jaelani cemas dengan masa depan keluarganya. Dia—seperti kebanyakan warga lain di Thoyibah—menganggap kehidupan yang heterogen bisa membawa dampak buruk buat keluarganya.

1574755931242-DSC09435
Salah satu penghuni melongok keluar ketika VICE berkunjung ke Kampung Thoyibah. Foto oleh Glory Victory/VICE

Kemajemukan tanpa hukum syariah adalah perusak akhlak, bagi mereka. Dia memimpikan sebuah lingkungan yang teratur dan homogen, dengan bersandar pada ajaran Islam yang kafah. Tanpa kerumunan ibu-ibu yang bergosip di sore hari. Tanpa anak-anak yang keluyuran nongkrong atau bapak-bapak yang meronda sambil mabuk dan main kartu hingga ayam berkokok.

Gayung bersambut. Setelah dua tahun mencari hunian idamannya, dia menemukan iklan perumahan Thoyibah dan tak butuh waktu lama buat memutuskan minggat dari kompleks lamanya.

“Waktu masih tinggal di perumahan biasa, anak perempuan pertama saya lebih suka menyanyikan lagu anak muda,” kata Jaelani. “Kini setiap hari dia cuma mendaras Al Quran.”

Harga yang harus ditebus untuk tinggal di situ ternyata lumayan mahal. Kampung itu sempat dicurigai sebagai kampung teroris, di samping tudingan sebagai persemaian benih intoleransi. Intel polisi dan Babinsa kerap mendatangi perumahan itu menyusul viralnya foto spanduk, semata buat berpatroli sembari memeriksa keadaan.

Sadar menjadi sorotan, para warga tak ingin membuat blunder kedua kalinya dan memperkeruh suasana. Maka mereka membuat strategi baru demi memperkenalkan citra perumahan Islam yang moderat. Mereka kerap mengadakan bakti sosial di kampung-kampung sekitar. Membuka dapur umum untuk orang tidak mampu. Atau mengadakan tabligh akbar.

“Kami tidak intoleran seperti yang diberitakan media. Buktinya Anda boleh datang ke sini,” kata Jaelani. “Dari kacamata hukum positif, tak ada satu aturan pun yang kami langgar. Kami masih bagian dari NKRI kok. Kami tidak pernah memilah-milah orang berdasarkan agama. Tapi memang dari awal konsep perumahan ini kan Islami.”

Jaelani kemudian berjalan keliling kampung buat mengecek saluran air bersih. Kampung Thoyibah memang punya sistem pengairan sendiri. Air dari sumur kemudian ditampung ke beberapa tandon besar, sebelum dialirkan ke rumah-rumah. Warga cuma membayar iuran biaya pemeliharaan. Mereka tak lagi perlu berlangganan PDAM. Jika warga bisa urunan membangun panel tenaga surya atau mengadakan generator, bisa jadi mereka juga tak perlu lagi berlangganan listrik ke PLN.

Sore itu Kampung Thoyibah tampak lengang. Memang tak ada ibu-ibu yang bergibah. Tak ada anak-anak muda yang nongkrong. Sore hari biasanya mereka habiskan untuk mengaji, sampai azan magrib berkumandang. Sementara ibu-ibu menyiapkan makan malam untuk keluarganya di rumah masing-masing.

1574756001203-DSC09472
Pagar pembatas komplek perumahan Islami di Cibitung. Foto oleh Glory Victory/VICE

Fadhil, penduduk Thoyibah, berusia 27 tahun, juga punya alasan nyaris sama dengan Jaelani. Fadhil sedang bersepeda dari masjid saat bertemu Jaelani. Berbeda dengan Jaelani, jenggot dan cambangnya tumbuh lebat. “Sesuai ajaran Rasul,” katanya pendek. Fadhil juga pernah tinggal di perumahan umum dan tidak kerasan. Dia menikah dengan teman satu kantor dan memutuskan pindah ke Thoyibah.

“Banyak banget hal-hal yang enggak sesuai sama kebudayaan indonesia di perumahan zaman sekarang,” kata Fadhil beralasan. “Contohnya saja banyak anak yang udah putus sekolah gara-gara pergaulan bebas. Itu mengapa kita semua di sini berkumpul walaupun tempat kerja kami jauh-jauh. Bahkan ada yang sampai ke Jakarta.”

Selama ini warga sekitar hidup rukun, tanpa masalah berarti. Peraturan itu pun, kata Fadhil, bukan sesuatu yang saklek. Jika ada lelaki yang melewatkan salat berjamaah lima waktu di masjid atau ketahuan merokok, kata Jaelani, paling mentok cuma dinasihati. “Kami saling mengingatkan saja,” katanya. “Tidak ada sanksi apapun.”


Tonton dokumenter VICE mengenai lika-liku perjuangan anak muda Indonesia membeli rumah:


Untuk setiap permasalahan yang dianggap perlu musyawarah, ada dewan syuro yang terdiri dari tujuh tetua kampung. Dewan syuro ini, kata Fadhil, akan mengeluarkan pendapat sesuai dengan pengalaman dan ilmu agama yang mereka kuasai. Pembentukan dewan syuro juga melalui kesepakatan berdasarkan rapat warga. “Apapun keputusan dewan syuro kami jalankan,” beber Fadhil.

Kehidupan seperti di dalam Kampung Islami Thoyibah mungkin tak bisa ditemukan di tempat lain, bahkan yang berbau syariah sekalipun. Sebab rata-rata bisnis properti macam ini hanya menawarkan skema pembiayaan tanpa riba bank, bukan menawarkan hukum syariah buat mengatur hidup warganya, kata Paulus Totok Lusida, sekretaris jenderal asosiasi Real Estate Indonesia (REI).

“Perumahan syariah itu seharusnya menawarkan pilihan pembayaran berbasis syariah,” kata Paulus. “Bukan gaya hidup syariah.”

1574756049884-DSC09455
Suasana di Rahmani Park saat sore hari. Foto oleh Glory Victory/VICE

Kendati belum ada peraturan tertulis yang mengatur hunian khusus muslim, Paulus mengatakan tren tersebut bisa mengarah kepada eksklusivisme yang mengancam kohesi sosial antara warga perumahan dengan tetangga luar komplek.

Bagaimanapun, hunian syariah adalah ceruk mengeruk keuntungan buat pengembang. Ini memang prospek bisnis menggiurkan, seturut meningkatnya tren gaya hidup halal, dari kosmetik halal hingga wisata halal di Tanah Air. Dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pertumbuhan belanja properti syariah mencapai 11.23 persen pada 2018.

Pertumbuhan properti syariah terus bertumbuh di tengah kelesuan belanja, kata ketua komunitas Developer Properti Syariah (DPS) Rosyid Aziz. Sebab nasabah tak perlu dipusingkan dengan mekanisme bunga mengambang (floating interest rate) yang fluktuatif mengikuti regulasi bank sentral serta kondisi perekonomian. DPS baru dibentuk pada akhir 2012. Saat ini, jumlah rumah yang sudah dibangun berkisar antara 25.000 hingga 50.000 unit di berbagai daerah. Di dalam satu proyek, biasanya terdapat 50-100 unit rumah yang dibangun.

“Kalau di komunitas Developer Properti Syariah, itu kami anggotanya ada 1.300 orang, dengan total proyek lebih dari 300 sampai 500 proyek yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota saat ini,” kata Rosyid.

Dia mengakui skema pembiayaan syariah menarik minat warga nonmuslim sekalipun, meski tak banyak. Dari 100 unit rumah syariah misalnya, hanya 1-2 nonmuslim yang tertarik mengajukan kredit syariah. Itu pun sudah pasti ditolak.

Hunian syariah gampang ditemui di sekitaran Jawa Barat, Sumatra, dan Yogyakarta. Di desa Sawo Glondong, Wirokerten, Banguntapan, Bantul misalnya, permukiman yang awalnya heterogen seperti layaknya desa pada umumnya, perlahan bertransformasi menjadi homogen sejak kemunculan pesantren Jamilurrahman As Salafy yang lebih literal menafsirkan ayat-ayat dalam Quran.

Desa itu perlahan berubah menjadi kampung santri, yang didominasi perempuan berniqab dan lelaki bercelana cingkrang. Pesantren itu menarik pengikut dari penjuru daerah, yang akhirnya bermukim di desa Sawo Glandong. Warga asli desa menyebut para pendatang itu sebagai “orang pondok.”

Lama kelamaan “orang pondok” tersebut membeli tanah dan rumah secara permanen, membuat warga lokal merasa tersisih. Dari kesaksian beberapa warga, eksodus santri tersebut membuat tradisi desa perlahan pupus. Tradisi seperti takbiran menjelang Lebaran, tahlilan, puasa syaban, dan syukuran perlahan mulai ditinggalkan warga kampung. Tak sedikit warga kampung situ yang kini bergabung dalam kelompok salafi.

Itu baru sekelumit cerita dari Yogyakarta yang kian hari, menurut pengamat, semakin intoleran. Masih ada lagi kisah seniman Slamet Jumiarto, yang ditolak bermukim di sebuah dusun di Pleret, Bantul lantaran KTP-nya menyebut Slamet beragama Katolik. Atau bagaimana upacara tradisional Sedekah Laut dibubarkan kelompok fundamentalis karena dianggap syirik.

1574756243042-DSC09447
Warga yang bercadar melintasi kawasan pagar komplek perumahan Islami. Foto oleh Glory Victory/VICE

SETARA Institute mencatat ada 202 kasus pelanggaran kebebasan beragama sepanjang 2018. Sementara Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengatakan tak ada perbaikan dalam kebebasan beragama sepanjang Presiden Joko Widodo berkuasa. Masih menurut LSI, keran intoleransi semakin terbuka lebar sejak terjadi aksi 2 Desember 2016 (akrab disebut 212) yang menuntut mundurnya gubernur DKI Jakarta kala itu, Basuki Tjahaja Purnama karena dituduh menistakan agama.

Sesaat sebelum azan magrib berkumandang Jaelani memandang ke hamparan sawah yang mengelilingi kampung itu. Dia teringat kejadian tadi siang, dan terpikir segera memasang tembok pagar dan CCTV, semata demi menghalau konflik lebih lanjut. Sebab beberapa pengembang sudah mengincar areal sekitar tersebut karena dinilai akan segera ramai dengan perumahan sejenis.

“Di sebelah Thoyibah nantinya juga akan dibuka perumahan syariah lagi,” kata Jaelani. “Mungkin kami pionir dalam hal ini. Siapa tahu Anda tertarik tinggal di sini? Yang terpenting harus seiman.”


Elisabeth Glory Victory berkontribusi dalam liputan ini.

Follow Adi Renaldi di akun Twitternya.