Saya dan kamu—mungkin tepatnya kita semua—pernah punya masalah mental.
Saya masih ingat malam-malam penuh siksaan dalam kepala selama kuliah dan awal-awal bekerja dulu. Kepala pusing, badan selalu resah, dan insomnia berhari-hari. Bisa jadi karena pekerjaan konyol yang saya benci, kehidupan asmara yang berantakan, atau ketakutan hebat akan masa depan. Saya tak tahu apakah pengalaman itu masuk kategori gangguan mental. Kalian boleh bilang itu semua cuma beban pikiran, tapi saya sempat mencapai tahap mengasihani diri sendiri karena harus mengalami hidup sebagai pecundang.
Videos by VICE
“Mengasihani diri sendiri adalah tindakan orang hina,” suara Nagasawa-san dari novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami menggema di telinga saya suatu malam. Maka saya mencoba meneladani apa yang dikatakan Nagasawa-san. Saya sempat memilih memendamnya dalam-dalam pada liang imajiner yang saya gali sendiri. Upaya itu gagal. Saya tetap mengasihani diri lewat berbotol-botol alkohol yang tergeletak di sudut kamar dan berbungkus-bungkus pil anti-depresan.
Perasaan resah ini, keinginan memendam semua beban pikiran, muncul lagi di kepala saya gara-gara sebuah band asal jakarta bernama Rekah. Mereka blak-blakan membicarakan tema gangguan mental lewat album pendek (EP) perdana: Berbagi Kamar.
EP tersebut dirilis setahun lebih sejak band tersebut merilis single Untuk Gadis yang Selalu Memakai Malam. Vokalis/Gitaris Tomo Hartono—sosok utama dari band ini—mengaku mengalami kendala dalam penyusunan struktur setiap lagu untuk EP tersebut.
“Yang tersulit sebenarnya adalah mencari formula musik Rekah sih—gimana caranya memadukan semua musik yang kita dengerin untuk jadi suatu bentuk baru, tapi tetap koheren sama narasi dari masing-masing lagu,” ujar Tomo kepada VICE Indonesia.
Tomo mendirikan Rekah bersama-sama kawan dari kancah musik independen Jakarta yang sudah dia kenal sejak menggeluti unit screamo Amukredam lima tahun lalu. Johan Junior mengisi drum, Yoan Christian menangani bass, lalu Tomo dan Marvin Viryananda mengomandoi lini gitar. Sedangkan untuk vokal, Rekah berhasil mengajak Faiz Alfaresi pada menit-menit terakhir, sebelum mereka kemudian masuk ke studio menggodok materi single pertama Untuk Seorang Gadis yang Selalu Memakai Malam yang rilis tahun lalu.
Berbagi Kamar dirilis label asal Bandung, Royal Yawns, memuat lima lagu. Musiknya sekilas bisa dibilang semacam ingar bingar post-hardcore/screamo/skramz/gaze ala Deafheaven dan Envy, bertemu Sutardji Calzoum Bachri yang meracau karena kebanyakan menenggak anggur merah semalam suntuk. Namun kekuatan sebenarnya dari Rekah ada pada benang merah EP yang coba dibangun lewat lirik bertema gangguan mental.
Rekah, seperti meneruskan single sebelumnya, menepati janji fokus menggarap lirik dalam Bahasa Indonesia. Sebagian besar menceritakan lika-liku anak muda urban menghadapi berbagai problematika milenial: perasaan hampa setiap kali terbangun dari tidur di tengah malam, perasaan ingin keluar dari tataran norma dan belenggu masyarakat, serta kegagalan mencari makna hidup.
Tomo adalahi penikmat sastra di sela-sela waktunya nge-band. Dia mengatakan Herman Hesse, Jean-Paul Sartre, dan penyair Chairil Anwar sebagai inspirasinya saat menulis lagu.
“Rasanya saya akan berdosa apabila tidak menyebut Chairil Anwar. Kalau tidak karena tulisan beliau sepertinya saya tak akan pernah tertarik dengan sastra dan akan selalu berpikir bahwa puisi akan selalu identik dengan bunga dan senja,” tutur Tomo.
Ketika berselancar di bandcamp Rekah, saya mencoba menelusuri liriknya. Di lagu pembuka Lihat Aku Menghancurkan Diri, vokalis Faiz Alfaresi berteriak lantang:
tubuhku adalah kuil yang menghancurkan dirinya sendiri.
lidahku adalah ibu dari kata-kata yang mengkhianati janjinya sendiri.
Alih-alih menemukan jejak Chairil Anwar, saya bisa mencium aroma novel No Longer Human karya Osamu Dazai di lirik tersebut. Bagaimana sang penulis merasa tak mampu memahami orang sekitar dan dirinya sendiri. Pendek kata lagu ini amat sempurna masuk dalam kategori: “bagaimana-membenci-diri-sendiri-dan-menyongsong-kehancuran” yang sebetulnya tak terlalu baru secara konsep. Tomo pun mengakui, secara teknis, lirik-liriknya belum terlalu matang karena yang ingin dia buat bukanlah karya sastra.
“Saya tak begitu peduli dengan aspek teknis karena buat saya menulis lirik untuk aransemen musik membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan puisi,” ujar Tomo.
Apapun itu, saya terkesan pada kejujuran Tomo yang ingin berbagi pengalamannya bergelut dengan kecemasan akut pada pendengar. Lirik yang terkandung di dalam album tersebut bisa dikatakan menyentuh wilayah baru, mengingat penulisan band-band lokal lain yang sebagian besar sekadar menafsirkan ‘lirik personal’ sebagai pengalaman patah hati.
Tomo membeberkan betapa dirinya pernah didiagnosa gangguan bipolar pada 2015. Saat diwawancarai Jawa Pos, Tomo mengaku pernah mencoba bunuh diri, meski gagal. Dia menemukan Rekah sebagai semacam bahtera penyelamat dari genangan lumpur yang terus menghisapnya. Berkat sastra, lelaki 25 tahun ini menemukan lirik sebagai medium paling pas untuk menyampaikan gagasan; terutama ketika obrolan sehari-hari tak lagi bisa mewakili apa yang dirasakannya.
Momentum rilis album inipun tepat, mengingat siapapun tak bisa lagi meremehkan pengalaman gangguan mental di negara ini. Layaknya bara dalam sekam, gangguan mental sulit dideteksi jika si penderita tak mau membuka diri karena khawatir pada stigma masyarakat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan menunjukkan tingkat prevalensi gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6 persen dari populasi anak muda usia 15 tahun ke atas di Indonesia.
Keterbukaan adalah kunci agar pengidap merasa tak sendirian. Bagi sebagian orang, Berbagi Kamar bisa saja dianggap terjebak mengglorifikasi gangguan mental yang berlebihan. Tapi, tak bisa dipungkiri Tomo dkk melampaui dan menaklukkan tabu gangguan mental melalui kombinasi post-hardcore/emo yang mereka sajikan, baik untuk pendengar awam atau mereka yang juga mengidap depresi dan bermacam variannya.
Pengalaman personal seniman adalah formula penulisan lagu yang paling berhasil dalam sejarah musik. Rekah masih punya waktu untuk terus menajamkan narasi personal ini lewat lirik yang dapat menjangkau sebanyak mungkin orang, dengan atau tanpa pengalaman gangguan mental. Saat aspek musikalitas itu semakin matang, Rekah hampir pasti akan benar-benar merekah.