Lagu-Lagu Indonesia Terbaik Satu Dekade Terakhir

Lagu-Lagu Terbaik Indonesia Satu Dekade 2009-2019 versi VICE

Dalam pengantar daftar album Indonesia terbaik sepanjang 2009-2019 versi VICE, redaksi sempat menyinggung disrupsi teknologi sebagai salah satu aspek yang mengubah wajah industri musik Tanah Air. Untuk aspek penulisan lagu, teknologi jelas menjadi faktor pembeda nomor satu sepanjang dekade ini. Kekuasaan platform streaming mempengaruhi proses penulisan lagu. Sebisa mungkin lagu harus ramah algoritma, dan ada sekian rumus yang “wajib” diikuti agar karyamu menjangkau pendengar masa kini. Sekian kredo itu, misalnya, tempo lambat, intro yang singkat, hingga rata-rata chorus datang pada menit pertama.

Dampak dari pendekatan formulaik tersebut, musik seringkali direduksi sekadar latar menenangkan hati atau sebagai teman berkegiatan. Lagu bukan lagi sarana menyampaikan wacana, berdialog, dan menantang batas-batas musikalitas dalam perjalanan karir seorang seniman.

Videos by VICE

Karena itulah, tim redaksi VICE—dibantu kontributor tamu Farid Amriansyah (awak 97,5 Play FM Palembang serta pengelola label Rimauman Music), Annisa Maharani & Sabrina Eka Felisiana (personel SARANA dari Samarinda), serta Dimas Ario (pengamat musik)—berusaha mencari karya-karya yang menantang, menyajikan sikap, sekaligus menawarkan kebaruan merespons kejumudan industri.

Sama seperti pemilihan album terbaik, para kontributor tamu menyerahkan daftar versi masing-masing, lantas dipilah redaksi untuk mencari nominasi yang beririsan, dan selanjutnya kami pilih dalam format peringkat. Daftar final yang kalian baca di bawah sepenuhnya keputusan redaksi VICE (dengan bias politik keredaksian kami tentunya), tak lagi terkait kontributor yang kami minta bantuan memperkaya seleksi awal. Meski begitu, catatan maupun ulasan tiap kontributor tetap kami kutip dan sunting untuk keterangan tiap album terpilih.

Redaksi VICE meyakini lagu harus lebih bernilai dari sekadar bunyi pengiring aktivitasmu. Apalagi adanya label lagu terbaik, versi VICE tentu saja, kami anggap sebagai representasi musik yang kompeten dalam kekaryaan, mewakili keberagaman genre di negara ini, serta memperkaya hidup tiap pendengarnya.

Berikut deretan 30 lagu terbaik Indonesia sepanjang 2009-2019 versi VICE. Klik tautan di bawah judul lagu, untuk mendengarkan versi lengkap ataupun cuplikan musiknya.

Selamat merayakan musik (Indonesia) yang membahagiakan dan semoga dekade yang lebih menarik segera kita jelang.

30. Isyana Sarasvati – Lexicon

Ketika Isyana memutuskan menerima pinangan major label, sebagian pihak menyayangkan kemungkinan bakatnya tak dimaksimalkan 100 persen. Isyana adalah musisi yang sudah berkarir di berbagai pentas prestisius (termasuk di ranah opera), sebelum meluncurkan “Keep Being You” pada 2014. Untunglah, kekhawatiran itu kini bisa dibantah. Di penghujung dekade ini, Isyana tanpa aba-aba menyodorkan terobosan penuh keberanian dari seorang musisi yang seolah tak mengindahkan zona nyamannya di ranah pop. Aransemen musik elegan yang bermain dengan rock progresif tanpa kehilangan keanggunan. Megah.

29. Barasuara – Api & Lentera

Lagu karismatik yang pertama kali memperkenalkan Barasuara ke pendengar musik Indonesia. Komposisi dan aransemen lagu yang kuat bisa dibilang membuat lagu ini adalah anthem yang melekat dan penting dalam repertoar Barasuara. Eklektik dan epik, pop dalam kemasan arena rock yang amat matang.

28. Payung Teduh – Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan

Lagu ini mendapat kesempatan hidup kedua setelah dirilis empat tahun sebelumnya dan cukup besar di skena bawah permukaan. Tangan dingin produser Mondo Gascaro menambahkan guratan seksi gesek yang menyayat serta dentingan piano yang anggun. Lagu ini langsung tumbuh mekar bagaikan bunga-bunga di musim semi sekaligus mentahbiskan Payung Teduh di saat itu, menjadi produsen lagu-lagu paling romantis di Indonesia.

27. .Feast – Peradaban

Baskara Putra memiliki kejelian yang otentik dibanding musisi seangkatannya. Dia mampu menangkap semangat zaman, lantas mengendapkannya menjadi anthem yang bisa dinyanyikan pendengar berusia muda. Pilihan tema lirik Baskara pun selalu berhasil, dekat dengan keseharian demografi pendengarnya. Namun keseimbangan terbaik dalam karirnya (termasuk dalam proyek Solonya Hindia), berhasil dicapai lewat single proyek sampingan .Feast bertajuk “Peradaban”. Sebuah lagu yang tampaknya akan terus menggalang koor massal, serta menyulut kesadaran sosio-politik tentang perjalanan bangsa kita yang sejauh ini masih amat dekaden.

26. Laze – Budak

Havie Parkasya, yang memakai moniker Laze, merupakan salah satu MC paling bekerja keras di kancah hip hop lokal. Salah satu senjata utamanya adalah wordplay cerdas, membuktikan Bahasa Indonesia pun bisa diutilisasi sedemikian rupa menggambarkan ragam keseharian dalam estetika hip hop. “Budak”, single yang dirilis pada 2016 lalu ini, merupakan capaian terbaik Laze yang akan awet didengar sampai kapanpun.

“Bukan kolektor keramik tapi masih beli Gucci…//Mall macam gereja ia ke sana tiap minggu”

Diiringi beat dan video klip garapan kolektif Onar, Laze menyampaikan sketsa menarik realitas jeratan konsumerisme dan relasi tuan-hamba yang dialami sosok kelas menengah urban.

25. Raisa – Bye Bye

Raisa adalah salah satu bintang paling terang dalam blantika pop Indonesia. Sejak merilis single “Serba Salah” dan “Could it Be” pada 2011, lajunya tak tertahan lagi sebagai diva. Namun capaian terbaik Raisa adalah saat menulis lirik sendiri untuk single album keduanya Heart to Heart yang dirilis pada 2013. Lagu ini merupakan anthem pemberdayaan bagi perempuan agar berani lepas dari toxic relationship. “If he doesn’t treat you right then Who is he to stick around And say good bye….” Preach it sis!

24. Bin Idris – Rebahan

Rebahan barangkali layak dinobatkan sebagai lagu Indonesia paling santuy dekade ini. Hanya dengan iringan gitar yang dipadukan beat drum ala keyboard Casio anak-anak dan lirik yang bercerita antara hembusan yang sejuk dan angan-angan yang tersembunyi, membuat badan tanpa disadari perlahan patuh pada judul lagu proyek solo vokalis Sigmun ini. Lagu kebangsaan terbaik kaum rebahan, demografi yang semakin membesar di negara kita.

23. Belkastrelka – Penyusup

Yennu Ariendra adalah musisi bawah tanah asal Yogyakarta yang seharusnya mendapat penghormatan dengan didengar khalayak lebih luas. Tanpa banyak woro-woro Yennu (bersama vokalis Asa Rahmana) merilis Penyusup Misterius dan Suara-Suara Aneh dari Kamar pada 2010—sebuah album elektro pop yang aransemennya amat piawai, dengan sebagian lirik Bahasa Indonesia tak kalah memukau. Belkastrelka, julukan proyek duo ini, lahir di era MySpace dan tampaknya tak sempat beradaptasi ke era Spotify. Untunglah netlabel YesNoWave menyelamatkan arsipnya, sehingga kita masih bisa mendengarkan “Penyusup”, lagu terbaik dari katalog karir singkat mereka. Lagu ini merupakan gambaran sureal tentang kehilangan—baik mimpi, kenangan, hingga jati diri—yang menggambarkan kegamangan manusia (Indonesia) modern di tengah terpaan teknologi. Yennu, gitaris band legendaris Melancholic Bitch itu, sekarang fokus menggarap komposisi instrumental yang amat menarik (salah satunya Raja Kirik), namun rasanya pendengar musik di Tanah Air suatu saat membutuhkan kembalinya Belkastrelka.

22. NDX AKA – Kimcil Kepolen

NDX adalah fenomena besar dekade ini. Rasanya di sirkuit independen (sebelum akhirnya .feast menguasai kota-kota besar), tak ada grup yang memiliki fanbase sefanatik NDX. Para penggemarnya disebut Familia, tersebar di berbagai pulau, kendati konsentrasi terbesar tetap di DIY, Jateng, dan Jatim. Kaos-kaos bajakan NDX bisa kalian temukan di kota kecil jalur Pantura. Melodi dangdut-hiphop penuh sakarin, dengan amunisi lirik superjujur mengenai keseharian serta patah hati kelas pekerja adalah kunci sukses NDX. “Kimcil Kepolen”, (serta “Sayang” yang viral itu kendati ternyata melodinya saduran dari lagu Jepang yang dinyanyikan Kiroro) melambungkan NDX hingga panggung SynchronizeFest.

“Pancene koe pabu nuruti ibumu//Jare nek ra ninja, ra oleh dicinta!”

Dua larik itu bagaikan katarsis; kalian bisa memakainya sebagai umpatan pada ketimpangan sosial, konsumerisme, dan semua yang serba cinta tai kucing.

21. Milisi Kecoa – Ini Bukan Arab, Bung!

“Lagu ini bukanlah sebuah serangan terhadap pemeluk agama tertentu, tapi merupakan sebuah kritik terhadap mereka yang memaksakan hukum agamanya pada semua orang di sekitar mereka tanpa pandang bulu. Lagu ini adalah kritik terhadap mereka yang melakukan penghakiman terhadap orang-orang di sekitarnya yang mereka anggap telah melanggar hukum yang mereka yakini, dan layak mendapat hukuman. Agama dan keyakinan adalah hal yang sangat personal….Lagipula, apa gunanya kalau orang lain ikut jalanmu dengan dilandasi keterpaksaan?”

Itu adalah penjelasan dari Tremor, vokalis Milisi Kecoak, perihal lirik lagu yang dia tulis dan dirilis pada 2009 lalu. Sayangnya, wacana ini masih terasa sangat relevan hingga sekarang, dan mungkin kapanpun. Ditemani musik hardcore punk 80an ala Black Flag yang simpel, lugas dan kasar, “Ini Bukan Arab, Bung!” adalah sebuah anthem klasik dari kancah punk yang mungkin akan selalu memicu dialektika, dan karenanya, sangat kita perlukan di masa sekarang.

20. Maliq & D’Essentials – Semesta

Sebuah interpretasi mengenai kelahiran, kehidupan dan kematian dalam sebuah lagu. Diawali dentingan gitar minimalis lembut layaknya mengiringi kelahiran, berangsur-angsur bertambah ramai dengan irama musik yang membuat badan bergoyang. Semua itu merupakan representasi proses menjalani kehidupan (sebisa mungkin penuh semangat). Aransemen di lagu ini juga terdengar kaya dan bergizi, dirasuki ruh musik Pop kreatif Indonesia akhir 70’an.

19. Stars and Rabbit – Man Upon The Hill

Tak pernah berpijak di satu genre secara spesifik membuat musik Stars And Rabbit amat kaya warna, dan pastinya menyisakan gurat yang membekas di lubuk hati terdalam. Sensasi itu bisa kita rasakan dari lagu “Man Upon The Hill”. Lagu yang dipastikan menduduki posisi pertama di hati penggemar duo ini. Musiknya diracik dengan cantik, memperkuat voka Elda yang sangat berkarakter. Kita tak akan bisa lepas setelah sekali mendengarkannya. Lagu ini menyelinap dan berdiam di kepalamu.

18. Kelompok Penerbang Roket – Mati Muda

Sekalipun Lagu T. Rex “20 th Century Boy” segera terlintas di kepala ketika mendengar “Mati Muda”, tapi kita bisa merasakan yang serba Indonesia di lagu ini. Lagu ini bukan tiruan kelas KW. “Mati Muda” menunjukkan selera estetika dan eksplorasi musikal Kelompok Penerbang Roket akan musik rock lawas era 1970’an. Mereka menuangkan dan mengeksekusinya dengan mantap tanpa basa-basi. Anthem terbaik bagi luapan emosi siapapun yang berjiwa muda, menyongsong hari depan penuh frustrasi, seakan langit runtuh esok hari.

17. Seringai – Dilarang di Bandung

Kancah musik metal di Indonesia bisa dibilang yang terbesar dibanding genre musik selain arus utama, tapi bukan berarti juga bebas masalah. Sebuah tragedi yang menewaskan 11 penonton akibat tergencet dan kekurangan oksigen membuat Bandung menjadi tidak ramah bagi gig-gig rock dan metal. Diiringi hentaman double pedal di riff utama dan reff yang anthemic, “Dilarang di Bandung” meneriakkan bagaimana peristiwa-peristiwa serupa dijadikan pembenaran bagi aparat (di Indonesia) merampas kebebasan teman-teman yang ingin mengekspresikan diri lewat musik, terutama musik cadas.

16. HiVi! – Remaja

“Remaja” adalah lagu pop cemerlang dari segi musik maupun lirik selaras dengan usia yang menjadi subyek penulisan lagu. Dengan melodi yang ramah dengan aransemen bernas yang diproduksi oleh tim penulis lagu terbaik dekade ini, Laleilmanino menjadikan lagu ini sebagai bentuk regenerasi dari lagu “Galih dan Ratna” gubahan Guruh Soekarnoputra yang populer di dekade 70’an.

15. Tika & The Dissidents – Tubuhku Otoritasku

Pernyataan sikap yang dibungkus dengan musik kadang lebih efektif dibanding orasi yang dikumandangkan dari podium. Tika & The Dissidents menyampaikan kegelisahan atas obyektifikasi perempuan dan relasi kekuasaan dalam masyarakat (Indonesia) yang patriarkis di lagu “Tubuhku Otoritasku”. Pesan yang tegas dan lantang dikumandangkan dalam ramuan rock membahana.

14. Tulus – Jangan Cintai Aku Apa Adanya

Melalui lagu ini, Tulus membalikkan semua logika dan persepsi yang banyak memenuhi lagu cinta pada umumnya. Kita kadang memahami arti mencintai sebatas mau menerima segala kekurangan yang ada di pasangan. Di lagu cerdas ini, mencintai yang penuh ketulusan justru menuntut adanya gejolak (cemburu, marah, kesal) agar tidak mengarah ke hubungan yang datar dan menjemukan. Sebuah lagu cinta yang dewasa dan rasanya tak punya banyak pesaing dalam blantika pop Indonesia.

13. Bars of Death – Tak Ada Garuda di Dadaku

“Kedaulatan instrumen baton industri sawit berkanon//Kerakyatan yang dipimpin oleh perwakilan para baron……. //sehingga sila lima tak berlaku bagi penghuni dasar piramid//Tanpa Hankam takkan ada bisnis beceng dan pasar dinamit//Tak ada anggaran militer tanpa isu ancaman palu arit Kemanusiaan yang adil dan beradab di bawah bedil dan profit.”

Single kedua dari proyek reuni duo eks-Homicide Morgue Vanguard dan Sarkasz ini adalah materi pendidikan bela negara terbaik untuk anak-anak muda Indonesia. Bekal analisis sosial penting menghadapi aktor-aktor oligarki yang tampaknya masih optimis mencengkeram bangsa ini, sekalipun puluhan ribu anak muda sudah turun ke jalan dan menunjukkan kemuakkannya.

12. Barefood – Perfect Colour

Sepanjang satu dekade terakhir, kita melihat perkembangan kualitas penulisan lagu dari kancah indie rock lokal, baik secara sound/penulisan lagu maupun popularitas mereka secara lebih luas. Dari yang tadinya hanya bisa dinikmati di gig-gig studio kecil, kini lagu-lagu tersebut tampil di festival-festival musik yang lebih besar. Dan tidak ada lagu lain yang lebih pantas memegang cap “anthem indie rock 2010-an” selain ‘Perfect Colour’, single dari EP klasik Sullen milik Barefood. Tembang rock manis ini sudah hampir pasti dijamin memancing stagedive dan sing-along setiap kali dibawakan di berbagai panggung. Sebuah elegi yang membawa pendengarnya pada nostalgia mendadak—tentang masa muda, hal yang kita lewatkan, dan berbagai kenangan manis lainnya.

11. Dipha Barus feat. Kallula – No One Can Stop Us

Debut single dari DJ Dipha Barus ini ditulis dan dinyanyikan bersama Kallula. Lagu ini menjadi anthem lantai dansa Indonesia sepanjang dekade 2010-an. Liriknya berisi penyemangat untuk siapapun yang sedang menemui kesulitan hidup. Dengan balutan irama musik Pop dan EDM yang mendominasi tangga lagu internasional yang menariknya turut disusupi sampling berbagai lagu tradisional dari tari Saman, Aceh dan irama musik Padang, serta bunyi gamelan Jegog Bali. Komposisi pop elektronik dalam format terbaiknya.

10. Pangalo! – Menghidupi Hidup Sepenuhnya

Anthem hip hop ini disusupi kajian filsafat Albert Camus hingga mitologi Yunani yang diterjemahkan dalam bahasa keseharian. Sang MC asal Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara ini menyodorkan tema menarik: optimisme melimpah ruah. Optimismenya bukan sekadar untaian kalimat motivasi ala Mario Teguh agar kita menjadi pribadi lebih baik, atau menceritakan kisah sukses mantan OB menjadi rapper kaya raya. Liriknya memberdayakan secara instan, macam “Apa kabar, apakah kakimu telah berakar/atau masihkah berkobar mengembara dan berlayar?”

Ajakan Pangalo! terasa tulus, penuh daya hidup, dan karena layak dinobatkan sebagai lagu terbaiknya (bahkan yang terbaik rasanya dari kancah hip hop lokal satu dekade terakhir). “Menghidupi Hidup” dapat dihayati siapapun—lepas dari spektrum politik apa yang sedang kalian yakini. Semacam irama dansa untuk bangkit dari keterpurukan.

9. Banda Neira – Sampai Jadi Debu

Lagu penghargaan yang ditulis Ananda Badudu untuk kisah Opa dan Omanya yang masih mesra hingga dipisahkan ajal di usia senja. Sebuah harapan baik bagi siapa saja yang menjalin hubungan pernikahan. Karena itu lagu ini mulai terdengar di berbagai momen pernikahan, terutama sejak digunakan sebagai unofficial soundtrack pernikahan Raisa. Tapi lepas dari berbagai gimmick dan popularitasnya, “Sampai Jadi Debu” adalah sebuah melankoli yang amat indah. Ia akan menjadi lagu wajib tembang kenangan, kelak saat generasi muda kiwari telah menjadi manula.

8. Jason Ranti – Blues Lendir

Untuk kategori album, debut Jason Ranti dinobatkan VICE sebagai salah satu album terbaik dekade ini. Namun, Sekilas Info, album keduanya yang rilis pada 2019, memuat lagu terkuat yang pernah dia buat. Lagu yang sebetulnya sudah rutin dia bawakan di berbagai panggung sejak dua tahun lalu. Jeje, panggilannya, adalah pengkhotbah yang sanggup menghipnotis siapapun, ketika dia memimpin peribadatan dari atas panggung. Namun di lagu inilah, siapapun sukses dia ajak mengumandangkan mantra magis: “Nakal Boleh, Jahat Jangan.”

Sebuah anthem liberal, yang tak terasa pretensius sama sekali. “Blues Lendir” adalah lagu kebangsaan untuk melawan revisi UU KUHP, beleid yang mengancam privasi kita semua. Dan, di balik analogi-analoginya yang komikal, ada keindahan terselip di sana. Serta seruan lantang agar kita bersolidaritas pada mereka yang terpinggirkan. “Jangan sekali-sekali kau hina jablay//di selangkangannya roda pembangunan mendapatkan lampu hijau.”

Amin!

7. Silampukau – Puan Kelana

Lagu perpisahan yang tidak mendayu-dayu, menggelitik, sekaligus mewakili realitas anak muda (apakah ini gambaran perpisahan kekasih akibat salah satunya harus melanjutkan studi lewat beasiswa LPDP? Mungkin saja. Kalian bebas membayangkan berbagai kemungkinannya.) Tapi tentu tak cuma itu, liriknya menohok dengan kandungan kearifan lokal, terutama soal imaji kota Surabaya yang menjadi latar sentral album Dosa, Kota dan Kenangan.

Silampukau sukses membandingkan Surabaya dengan Paris dalam relasi menarik, jelas tidak apple to apple, melainkan lewat anggur to anggur (Merlot dan Cap Orang Tua). Lagu ini kaya rasa, sama seperti anggur yang mengubah tiap tetesnya menjadi penyesalan dan tawa lepas kalian. Ada kepahitan, sedikit rasa manis, nostalgia, dan yang pasti, siapapun itu pasti merasa butuh segera mendatangi Surabaya, mencecap segala sensasi dari kota tersebut.

6. Frau – Mesin Penenun Hujan

Kidung pujian nan syahdu yang mengawali dekade 2010 ini diciptakan serta dilantukan oleh Leilani Hermiasih. Frau menghasilkan banyak komposisi pop yang amat kemilau (salah satunya “Tarian Sari” dari album Happy Coda). Namun single dari album debutnya ini berada dalam tingkatan atmosfer berbeda—penuh harapan dan bergelimang keindahan. Ada yang ajaib dari dentingan pianonya yang bersahaja namun tetap terdengar “visual”. Lagu ini menempatkan Frau sebagai salah satu penulis lagu pop terdepan di Indonesia sepanjang dekade terakhir.

5. Kunto Aji – Rehat

Sebuah mantra penenang jiwa yang terbukti ampuh buat mereka yang lelah dihajar realitas hidup sepanjang satu dekade terakhir. Kita harus mengakui, 10 tahun terakhir kenyataan tak cukup membahagiakan bagi anak muda. Tekanan hidup terus mengejar, ekspektasi masyarakat menggencet, dan berbagai impian harus dikubur. Generasi Y dan Z adalah generasi yang sejak lahir didorong berani meraih mimpi, diyakinkan bisa menjadi apapun. Nyatanya, mereka dipaksa berkompromi sedini mungkin. Kunto Aji, bagian dari musisi millenial, menyadarinya. Dia menyediakan ruang tetirah buat mereka yang terluka dan babak belur dihajar keseharian.

“Rehat” jadi wahana tetirah yang amat kuat, berkat selipan frekuensi 396 Hz (Solfeggio Frequencies) usulan produser lagu ini, Petra Sihombing. Menurut penelitian, frekuensi tersebut bisa mengeluarkan pikiran negatif demi menyehatkan mental. Dalam lagu ini Kunto Aji menyadarkan pendengar agar lebih tenang dan ikhlas menerima apapun dalam hidup. Biarkanlah semesta bekerja untuk kita.

4. Bangkutaman – Ode Buat Kota

Musisi yang baik sejatinya pemerhati kondisi sosial ulung. Bangkutaman membuktikannya dalam “Ode Buat Kota”. Mereka merekam dinamika kehidupan ibukota dalam balutan folk rock cantik yang megah dalam kesederhanaannya. Terutama lewat chorus “nananana” yang membekas mengiang di kepala. Musik pada lagu ini merupakan buah cinta dari pernikahan silang antara The Byrds dan The Velvet Underground yang seakan-akan mbrojol di sebuah rumah sakit bersalin di Jatinegara. Penggambaran video musik lagu ini yang menampilkan Jakarta saat sedang lowong merupakan simbol perasaan banyak pekerja yang berjibaku dengan rutinitas harian ibukota: hiruk pikuk di luar namun sepi di dalam. Lagu ini karenanya, sukses menjadi anthem terbaik kelas pekerja, perantau, atau keduanya.

3. Fajar Merah – Bunga dan Tembok

Perpaduan suara Fajar Merah (dan dalam versi lain melibatkan Cholil Mahmud sebagai vokal tamu) menghidupkan lagi bait puisi dari Wiji Thukul untuk pendengar di Abad 21. Bahan baku lirik Fajar—warisan sang ayah yang sampai sekarang masih dihilangkan oleh rezim—berdaya cengkeram kuat menggambarkan perlawanan kecil yang bisa kita hidupkan untuk melawan bermacam komodifikasi (dan mantra pembangunan tak berkeadilan yang dialami masyarakat dari Tamansari, bantaran Ciliwung, hingga Papua). Melodinya memperkuat semangat itu, menembus barikade bebunyian abad yang baru. Lagu ini siap menjadi benih bunga di kepala para pendengar, yang pelan tapi pasti terus menggerogoti, hingga kemudian kita tersulut untuk bersama-sama menghancurkan setiap tembok angkuh kezaliman.

2. Efek Rumah Kaca – Putih

Lagu sepanjang 9 menit 46 detik yang intens dan penuh kelokan emosional. Berkisah mengenai keniscayaan manusia: kematian dan kelahiran, alfa-omega. ERK bercerita dengan deskriptif pada paruh awal lagu dan sarat akan perenungan pada paruh kedua lagu. Di lagu “Putih” ini, ERK juga luwes menyebut deretan kata seperti ambulan, tahlilan hingga Wiji dalam kesatuan lagu, yang rasanya belum pernah dilakukan pada musik populer di Indonesia sebelumnya. Karya ini amat spiritual. Lagu religi terbaik yang dihasilkan musisi Indonesia sepuluh tahun terakhir.

1. Sisir Tanah – Lagu Hidup

https://www.youtube.com/watch?v=GSfYS_VmHrM

Masih percayakah kalian pada solidaritas? Jawabannya “harus.” Itu ajakan Bagus Dwi Danto, musisi bersahaja yang kini bermukim di Yogyakarta. Sebab, hanya solidaritas yang bisa menyelamatkan kita dari sinisme media sosial, kegilaan yang digambarkan media massa, ataupun dekadensi yang kalian rasakan dalam menjalani keseharian.

Tak peduli sekemilau apapun media sosial dengan janji-janji indahnya, kalian tetap berpijak pada tanah, air, dan udara di bumi manusia ini. “Jadi teruslah merawat,” kata Danto, dalam vokalnya yang kalem namun menghanyutkan. Musisi yang kini sendirian mengusung panji Sisir Tanah itu menjabarkan esensi terpenting hidup, dalam lirik lugas tak bertele-tele, diiringi melodi gitar bluesy menyuntikkan keberanian.

“Jika kau masih cinta kawan dan saudara//jika kau cinta jiwa raga yang merdeka//tetap saling melindungi.”

“Lagu Hidup” sempat menjadi simbol perlawanan warga terhadap proyek pembangunan Bandara Kulonprogo. Meski begitu, lagu ini menggambarkan pilihan respons terbaik yang bisa kita ambil tiap menghadapi kemungkaran dan kedegilan. Entah itu wujudnya konflik agraria, perluasan kapital yang mengorbankan alam, kekerasan aparat yang tak diusut serius, diskriminasi ras, agama dan orientasi seksual‚ hingga sekian kebijakan pemerintah kala menyepelekan harkat warganya. Semuanya adalah musuh sejati penghuni bangsa majemuk bernama Indonesia.

“Bahagiaku tak akan lengkap tanpa bahagiamu//bahagiakanlah kehidupan.”

Tidak ada yang terlalu puitis atau molek di lagu Indonesia terbaik dekade ini. Justru dari kesederhanaan dan kelugasan yang menyentuh titik peka kemanusiaan tersebut, karya Danto mencuat amat tinggi, melampaui lagu-lagu lain 10 tahun terakhir, sejajar dengan sekian lagu protes terbaik yang pernah muncul di Tanah Air. “Harus berani//jika orang-orang itu menyakiti//harus bersatu menghadapi.”

Indonesia adalah upaya mewujudkan mimpi utopis skala raksasa yang tak bisa selesai dalam semalam. Akan ada banyak pertentangan, perbedaan, dan konflik yang membuat mimpi bersama kita berjalan tersendat-sendat. Bersolidaritas tetap pilihan terbaik yang bisa kita ambil. Harus berani. Dengan begitu kita sepenuhnya hidup sebagai manusia yang merdeka.