Pandemi Corona

Tragedi PSBB: Perempuan di Banten yang Sempat Kelaparan Akhirnya Meninggal

Beberapa hari sebelum meninggal, keluarga Yulie viral diliput media karena hanya minum air sejak tak bisa bekerja akibat wabah. Walikota Serang menyebut kematian Yulie akibat "takdir".
Wanita Serang Banten Yulie Meninggal Setelah Kelaparan Karena PSBB Corona
Screenshot foto kondisi Yulile sebelum meninggal [kiri] dari akun Twitter @panca66; ilustrasi mural gerakan sosial Food Not Bombs via akun Flickr A Syn /lisensi CC 2.0

Yulie Nuramelia, 43 tahun, meninggal pada Senin (20/4) pukul tiga sore. Yulie sempat jadi perbincangan internet pada pekan lalu karena ia dan keluarganya (satu suami plus empat anak) kedapatan dua hari mengganjal lapar hanya dengan minum air. Setelah viral, baru pada Sabtu (18/4) pemerintah setempat menyalurkan bantuan kepada korban yang tinggal di Kelurahan Lontar Baru, Kecamatan Serang, Kabupaten Serang, Banten.

Iklan

Sudahlah telat, pemerintah setempat juga meragukan kisah kelaparan keluarga Yulie. Saat dikonfirmasi wartawan, Lurah Lontar Baru Dedi Sudrajat mengatakan yakin Yulie meninggal bukan karena kelaparan ataupun virus corona.

"Dua hari enggak makan saya sendiri enggak percaya juga yah. Karena saya dapat informasi beliau masih makan," kata Dedi kepada Liputan6, hari ini (21/4). “Kalau penyebabnya (kematian) saya belum tahu pasti, tapi dokter bilang bukan Covid-19. Pihak puskesmas bilang meninggal di jalan. Bukan juga [meninggal] karena kelaparan."

Dalam video liputan KompasTV yang ditayangkan Minggu (19/4), Yulie mengatakan sendiri bahwa keluarganya tidak makan selama dua hari. Kepala Dinas Sosial Kota Serang mengaku, mereka baru mengirimkan bantuan setelah kisah Yulie viral.

Rochman Setiawan, salah seorang relawan terakhir yang memberi bantuan sembako ke keluarga Yulie pada Senin (20/4) pagi, bersaksi bahwa keluarga Yulie memang kelaparan seperti yang diberitakan.

"Kalau ada yang bilang keluarga Ibu Yulie enggak kelaparan, itu bohong. Waktu saya kasih bantuan, itu roti, langsung dimakan sama anaknya. Saya kaget pas dapat kabar ibu meninggal dunia," kata Rochman.

Wali Kota Syafrudin punya pendapat lain soal meninggalnya Yulie. Dia pun tak percaya jika warganya itu meninggal akibat kelaparan, sebab jajaran camat yang dia utus ke wilayah administrasi tetangga kotanya itu sudah mengirim bantuan makanan untuk keluarga mendiang. "Meninggalnya ibu Yulie bukan karena kelaparan, pertama karena takdir," ujarnya saat dikonfirmasi wartawan pada Selasa (21/4). "Kayaknya [alasan kelaparan] kurang pas, sebab di situ di ruangan itu ada pisang goreng kemudian ada singkong."

Iklan

M. Holik, 49 tahun, suami Yulie, mengatakan, pada Senin pagi Yulie masih segar bugar. Ia jatuh pingsan pada pukul 2 siang dan langsung dibawa ke puskesmas, namun nyawanya tak tertolong. Tidak lama setelah berita kematian Yulie tersiar, dikabarkan bahwa penyebab kematiannya karena sakit jantung.

Wabah telah membuat keluarga miskin ini makin tercekik. Suami Yulie kehilangan penghasilannya sebagai pencari barang rongsokan. Padahal sebelum wabah saja mereka sudah hidup susah, sang suami sehari-hari hanya berpenghasilan Rp20-25 ribu.

Kemiskinan juga membuat dua anak tertua Yulie putus sekolah di bangku SMP. Begitu wabah meluas, suami Yulie diajak seorang kawan untuk menjadi petugas sampah di perumahan, yang kata Yulie baru mendapat uang saban dua hari sekali. Ditambah anak tertuanya yang menjadi buruh turut di-PHK.

"[Cari uang makin sulit] semenjak ada corona ini. Sebelumnya buat beli beras cukup. Sejak ada corona ini kurang. Iya dua hari tidak makan, lemas. Alhamdulillah, Jumat lalu ada bantuan," kata Yulie pada Banten Hits, Sabtu (18/4) lalu.

Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah mengklaim sudah mengadakan program bantuan pangan non-tunai (BNPT) kepada 56 ribu keluarga terdampak pandemi. "Kita juga harus membantu masyarakat yang terdampak secara ekonomi, yang tadinya bekerja, menjadi tidak bekerja. Yang tadinya punya penghasilan, menjadi tidak. Itu harus disiapkan kebutuhan pokoknya," kata Tatu.

Kisah bertahan hidup akibat kesulitan ekonomi di tengah wabah juga terjadi di tempat lain. Chayapol Addin, seorang tukang listrik berusia 20 tahun asal Thailand, kelaparan setelah penghasilannya hilang gara-gara gelombang PHK. Putus asa, ia memutuskan sengaja membawa narkoba dan menyerahkan diri ke polisi. Menurut polisi yang setempat, Chayapol datang karena merasa setidaknya di penjara ia akan mendapatkan makanan secara teratur.

Di India, kelaparan saat lockdown membuat seorang wanita bernama Manju berbuat lebih ekstrem. Perempuan ini melempar kelima anaknya ke Sungai Gangga sebelum turut terjun ke sungai. Kelima anaknya meninggal, sementara Manju selamat karena segera menepi ketika ia tiba-tiba takut mati.

Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyebut dampak wabah ini lebih parah ketimbang krisis moneter 1998 yang legendaris. Sementara di Yogyakarta, dapur darurat Gerakan Solidaritas Pangan Yogyakarta yang menggalang bantuan pangan, obat, dan masker untuk warga miskin malah didatangi dan diintimidasi intel kepolisian.