Para biksu belajar pendidikan seks di biara desa Trashigang, Bhutan. Semua foto milik Jigme Choden.
Para biksu belajar pendidikan seks di biara desa Trashigang, Bhutan. Semua foto milik Jigme Choden.
Seks

Di Negara Ini, Biksu Dapat Pendidikan Seks Seputar Cara Masturbasi yang Aman

"Dulu biksu menganggap masturbasi berdosa, tapi kini mereka paham tak ada yang salah bila lelaki dewasa sesekali merancap,” kata biksu senior dari Bhutan yang mengawasi kelas edukasi seks.
Rimal Farrukh
Islamabad, PK

Sinar mentari pagi menembus jendela kaca ruang kelas, menyinari para biksu yang duduk rapi di lantai. Semua pasang mata terpaku pada papan kapur di depan kelas. Guru menoleh ke arah mereka sambil tersenyum, lalu mengecek seberapa jauh pemahaman mereka terkait penggunaan kondom.

Para biksu distrik Trashiyangtse di kawasan timur Bhutan, kerajaan Buddha yang berada di Pegunungan Himalaya, menerima pelatihan pendidikan seks. Praktik ini belum lazim di negara-negara mayoritas Buddha lainnya di Asia Selatan, seperti Sri Lanka dan Myanmar. Kalangan monastik di tempat lain masih menentang keras dimasukkannya pendidikan seks dalam kurikulum sekolah.

Iklan

“Di kebanyakan biara, ada biksu yang tak berpendidikan sehingga mereka tidak mengerti edukasi seks atau topik-topik seperti masturbasi, meskipun beberapa juga melakukannya,” ujar biksu Choki Gyeltshen di biara Thimphu Gonpa saat berbicara kepada VICE World News.

Seiring berjalannya waktu, Gyeltshen memperhatikan perubahan sikap di antara sesama biksu. “Sebelum menerima pelatihan, beberapa biksu menganggap masturbasi perbuatan dosa, tapi sekarang mereka memahami tidak ada yang salah ketika lelaki dewasa sesekali merancap.”

Dulunya dipandang topik yang memalukan, pendidikan seks mulai diperkenalkan di biara-biara Buddha seantero negeri Bhutan pada 2014.

Guru menuliskan materi pendidikan seks di papan kapur.

Guru menuliskan materi pendidikan seks di papan kapur.

Materi yang diajarkan mencakup segala sesuatu mengenai seks dan kesehatan reproduksi manusia: masturbasi, persetujuan seksual (sexual consent), menstruasi, kontrasepsi dan penyakit menular seksual.

“Kalian mungkin berpikir kelasnya akan terasa canggung, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Saya takjub kami menerimanya dengan santai. Kami tidak menghadapi kekhawatiran atau masalah apa pun. Kami malah bergurau soal itu,” ungkap biksu senior Lam Ngodup Dorji dari Buddhist Longchenpa Center kepada VICE World News. 

Lebih dari 350 kepala lembaga monastik dan 1.500 biksuni, banyak di antaranya bersumpah takkan melakukan aktivitas seksual, sudah siap membagikan pengetahuan mereka ke masyarakat yang belum terjamah pendidikan seks.

Iklan

“Seks dulu dianggap buruk, tapi sekarang kita memercayai seks harus dilakukan dengan aman dan kita harus mengajarkan anak-anak tentang cara yang tepat daripada hanya menyebutnya tabu dan tidak memberikan pengetahuan yang memadai tentang itu,” terang Dorji.

Program ini didukung Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) dalam inisiatif meningkatkan kesadaran tentang kesehatan seksual dan reproduksi di Bhutan. Pelatihannya terbukti mampu mengubah pandangan orang terhadap seks dan seksualitas.

“Pemuka agama perlu terlibat dalam topik tentang seksualitas karena mereka agen perubahan yang sangat efektif dalam mengubah perilaku dan sikap masyarakat terkait seksualitas,” tutur Jigme Choden selaku konsultan remaja, pemuda dan gender di UNFPA. Di negara mayoritas Buddha, biksu dan biksuni mempunyai pengaruh cukup besar dalam membentuk keyakinan budaya dan gaya hidup. “Kepada merekalah keluarga bertumpu, untuk melakukan ritual atau meminta berbagai nasihat — tak hanya tentang agama, tetapi juga dalam tantangan sehari-hari.”

Program ini juga bertujuan mengatasi kebutuhan seksual ribuan biksu dan biksuni yang tak terpenuhi, banyak dari mereka tidak memiliki pendidikan formal. Anak-anak umur lima tahun sudah bisa bergabung menjadi biksu dan biksuni.

“Terutama di lembaga monastik, mereka melakukannya [baca: bermasturbasi] secara diam-diam. Mereka takkan membicarakannya sama sekali, tapi sekarang mereka merasa nyaman untuk membicarakannya dan menanyakan diri sendiri apakah benar tindakan ini tidak dianjurkan medis. Selama ini mereka tidak nyaman dan malu saat bermimpi basah,” lanjut Choden.

Iklan

“Seorang biksu yang dulu percaya [masturbasi] dosa, sekarang memahami ini bukan hal memalukan karena masih menjadi bagian dari pubertas dan pertumbuhan. Mereka diberikan informasi yang akurat secara ilmiah tentang hal itu.”

Para biksu mengaitkan penerimaan pendidikan seks di biara dengan Ratu Bhutan Gyalyum Sangay Choden Wangchuck, yang memelopori hak kesehatan reproduksi selama dua dekade. Dia aktif melibatkan kelompok agama serta organisasi militer dan pemerintah dalam kampanye keluarga berencana dan kesadaran HIV/AIDS. Berkatnya, pada 90-an, kepala agama Bhutan mengatakan kontrasepsi tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Buddha. Lalu pada 2018, penggunaan alat kontrasepsi meningkat lebih dari dua kali lipat di sana.

Para biksu yang menerima pelatihan pendidikan seks di biara desa Trashigang, Bhutan.

Para biksu yang menerima pelatihan pendidikan seks di biara desa Trashigang, Bhutan.

Situasi di Bhutan kontras dengan beberapa negara Asia Selatan lainnya, yang kalangan biarawannya menentang habis-habisan upaya lembaga publik dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan seks.

Di Sri Lanka, pendidikan tentang kesehatan seksual dan reproduksi sebagian besar dibangun di sekitar gagasan abstinensi (pilihan untuk tidak berhubungan seks). Berbagai upaya menjadikan pendidikan seks sebagai mata pelajaran nasional telah menghadapi tantangan dari pemuka agama dan budaya.

Pada 2019, Kementerian Pendidikan Sri Lanka telah mencoba memperkenalkan buku pelajaran mengenai pendidikan seks kepada siswa berusia 12. Namun, peredarannya ditarik setelah menerima kecaman dari para biksu. Mereka mengklaim bukunya “tak pantas untuk anak-anak” karena membahas masturbasi.

Iklan

Dalam jumpa pers pada Desember 2019, edukator dan biksu Buddha Medagoda Abhayatiss Thera menuding buku pelajaran itu merupakan agenda pemerintah sebelumnya untuk “merusak otak anak-anak”. Dia mendesak presiden untuk menyelidiki penerbitan bukunya.

Komite parlemen akhirnya memerintahkan penarikan buku tersebut karena tidak pantas untuk anak-anak berusia 12. Biksu Akuretiye Nanda Thero yang menjabat sebagai rektor University of Ruhuna menyayangkan keputusan tersebut.

“Menurut saya, buku pelajaran itu tidak mengandung materi yang kurang pantas untuk dibaca anak-anak,” Nanda Thero memberi tahu VICE World News. “Anak-anak perlu dididik soal ini. Materinya disusun para ahli di bidangnya. Jika melihat apa yang terjadi saat ini, pelajarannya penting bagi anak-anak,” lanjutnya, mengacu pada lonjakan kasus pemerkosaan dan pelecehan anak di negara itu.

“Tantangan yang muncul bersembunyi di balik kebohongan tentang menjaga budaya,” imbuhnya. Dia mengatakan selain biarawan, orang biasa tak diwajibkan untuk selibat atau menghindari aktivitas seksual. “Hukum yang mengatur biksu tidak berlaku untuk masyarakat awam, menurut ajaran Buddha.”

Sementara itu, di Myanmar, rencana pemerintah memasukkan pendidikan seks ke dalam kurikulum sekolah menengah terpaksa dibatalkan usai diprotes biksu.

Kelompok nasionalis Buddha menganggap seks sebagai hal yang “memalukan” dan “melanggar tradisi Myanmar”. Pada Mei 2020, dokter 31 tahun di Myanmar bahkan ditangkap karena mengkritik biksu yang mempermasalahkan pendidikan seks.

Follow Rimal Farrukh dan Kris Thomas di Twitter.