sains dan teknologi

Anjing Menurut Peneliti Terbukti Bisa Berduka Saat Kehilangan Teman Mainnya

Sebagian besar pemilik melaporkan anjing peliharaan mereka menjadi kurang ceria dan tidak nafsu makan setelah ditinggal teman main mereka.
Anjing Bisa Berduka Saat Kehilangan Teman Mainnya
French bulldog. Foto: Edwin Tan via Getty Images

Anjing bukan hanya sekadar hewan peliharaan, namun telah menjadi bagian dari keluarga dan teman terdekat kita. Itulah sebabnya orang sulit melepaskan kepergian anak bulu kesayangan mereka. Tapi tahukah kamu, manusia bukan satu-satunya yang berduka saat anjing peliharaan mati? Penelitian terbaru mengungkap anjing juga bisa merasa kehilangan.

Banyak binatang lain, seperti kera besar, hiu, lumba-lumba, gajah dan burung, terbukti menunjukkan tanda-tanda berduka atas kematian kawannya. Para ilmuwan pun tertarik untuk mencari tahu apakah anjing peliharaan juga memiliki emosi semacam ini. Dipimpin oleh Federica Pirrone, dosen etologi veteriner dan kesejahteraan hewan di University of Milan, tim peneliti meminta 426 orang Italia yang memelihara banyak anjing untuk mengisi survei online berjudul Kuesioner Anjing Berkabung. Responden wajib menjawab pertanyaan seputar perasaan mereka, serta perilaku anjing mereka, setelah ditinggal pergi hewan peliharaannya.

Iklan

86 persen pemilik melaporkan reaksi negatif pada anjing mereka yang masih hidup, yang terbagi menjadi tujuh kategori: membutuhkan lebih banyak perhatian (67 persen), kurang ceria (57 persen), menjadi kurang aktif (46 persen), lebih sering tidur (35 persen), mudah takut (35 persen), kurang nafsu makan (32 persen), dan lebih sering merengek dan menggonggong (30 persen).

Kira-kira sepertiga responden mengutarakan anjing peliharaan mereka menunjukkan perilaku demikian selama dua hingga enam bulan setelah kematian teman mainnya, sedangkan seperempat mengaku perubahan sifat pada anjing mereka bertahan lebih dari enam bulan. Diperlihatkan bangkai teman tidak memengaruhi durasinya, begitu juga dengan jenis kelamin, status steril, ras atau usia pada saat teman mainnya mati.

92 persen peserta mengatakan, anjing mereka sudah setahun lebih hidup bersama. Tapi menariknya, lamanya waktu tersebut tidak berpengaruh pada kemungkinan anjing menunjukkan sikap seperti berduka. Reaksi negatif justru dinilai lebih kuat pada anjing yang memiliki hubungan baik dengan kawannya yang telah mati—diukur berdasarkan aktivitas yang dilakukan bersama, seperti makan, grooming, bermain, atau berbagi makanan, mainan dan tempat tidur.

Hasilnya mengungkapkan lapisan lain dari kehidupan emosional sahabat kaki empat kita yang nyatanya sangat kaya. Orang-orang yang memelihara anjing sebetulnya sudah menyaksikan sendiri bagaimana anabul mereka tak lagi seceria dulu setelah ditinggal mati temannya, dan penelitian ini semakin mendukung pengalaman anekdot mereka.

Iklan

Temuan ini juga mengungkap betapa isu soal kesejahteraan hewan peliharaan “masih sangat diabaikan, mengingat tingginya jumlah anjing yang hidup bersama anjing lain dan populasi anjing yang menua,” menurut studi yang diterbitkan Kamis pekan lalu di jurnal Scientific Reports.

“Jutaan keluarga di seluruh dunia memelihara lebih dari satu ekor anjing,” tutur Pirrone melalui email. “Penting bagi kita untuk mengetahui reaksi perilaku dan emosi yang ditimbulkan oleh kematian anjing pendamping, karena ini dapat membantu kita mengenali kebutuhan emosional banyak hewan, yang berisiko merasakan kesedihan setelah ditinggal mati temannya.” 

Tentu saja, ada risiko terjadinya bias dalam survei yang didasarkan pada pengamatan pemilik. Bisa saja mereka melebih-lebihkan perilaku negatif hewan peliharaannya, memproyeksikan perasaan mereka pada anjing, atau malah kesedihan mereka membuat peliharaannya bereaksi negatif. Untuk mencegah inkonsistensi ini, Pirrone dan rekan-rekan melakukan referensi silang dan menganalisis laporan responden secara statistik guna menilai apakah peserta benar-benar menyaksikan anjingnya menunjukkan respons mirip berkabung.

“Struktur kuesioner ini, dan analisis statistik yang kami laksanakan, memungkinkan kami mengidentifikasi pada saat tanggapan peserta mengenai perubahan perilaku anjingnya dipengaruhi oleh persepsi atau emosi mereka sendiri,” terangnya. “Ada banyak aspek yang memungkinkan pengaruh ini untuk muncul, atau sebaliknya mengecualikannya, sehingga perubahan yang dilaporkan kemungkinan besar benar terjadi.”

Iklan

Satu isu yang perlu diperhatikan adalah betapa tidak seimbangnya jenis kelamin peserta yang menjawab kuesioner. Hanya 42 laki-laki yang berpartisipasi dalam penelitian ini, sedangkan jumlah responden perempuan mencapai 384 orang. Menurut Pirrone, ketidakseimbangan ini sering muncul tiap kali ada survei web yang mempelajari hubungan manusia dengan binatang, menandakan perempuan cenderung lebih bersedia untuk terlibat dalam penelitian semacam ini.

“Ini selalu terjadi di semua penelitian kami yang menggunakan survei online untuk mendalami kepemilikan hewan peliharaan,” dia menjelaskan. “Penelitian yang mengeksplorasi pengaruh peran gender pada sikap seseorang terhadap binatang menemukan perempuan cenderung lebih berempati dan memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap kesejahteraan hewan. Dengan demikian, temuan kami setidaknya membuktikan perempuan memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap masalah hewan, sehingga mereka lebih bersedia mengisi survei online tentang hewan peliharaan daripada laki-laki.”

Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan anjing juga bisa berduka atas kematian teman mainnya, meski harus dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan asumsi ini. Pirrone dan rekan-rekannya berharap bisa mengembangkan penelitian dan mencari tahu faktor apa saja yang mungkin mendorong sikap berkabung pada anjing.

“Kami sudah memulai proyek berikutnya yang bertujuan mengonfirmasi anjing memang menunjukkan reaksi tidak biasa setelah kehilangan teman mainnya. Kami berharap bisa menemukan apakah anjing hanya merespons kehilangan tersebut, atau bahkan terhadap ‘kematian’ itu sendiri,” ujar Pirrone. 

“Hasil penelitian ini menunjukkan, anjing peliharaan dapat bereaksi negatif saat teman mainnya mati. Dengan mengenali dan memprediksi reaksi dan emosi yang mendasarinya, kami bisa mencari strategi paling efektif untuk membantu mereka dan pemiliknya melalui situasi sulit ini,” simpulnya.