Sengketa Merek Dagang

Ada 3 Pihak Daftarkan Brand Citayam Fashion Week, Ditjen HAKI: Belum Tentu Diterima

Ditjen HAKI jelaskan pendaftaran merek perlu waktu dan masih bisa digugat. Setelah Baim Wong cabut pendaftaran dipicu tekanan publik, satu pihak lain ikut mundur, menyisakan satu pendaftar HAKI saja.
Baim Wong daftarkan brand Citayam Fashion Week ke Ditjen HAKI belum tentu diterima
Tren anak muda menggelar fashion show dadakan di Dukuh Atas tak lagi didominasi muda-mudi kelas bawah asal Citayam. Kebanyakan kini justru model yang tampil di sana. Foto oleh Veri Sanovri/Xinhua via Getty Images

Pendaftaran merek “Citayam Fashion Week” ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI) Kementerian Hukum dan HAM mulai diketahui publik pada Minggu (24/7). Dilaporkan Asumsi, dua pihak telah mendaftarkan merek tersebut. Mereka adalah PT Tiger Wong Entertainment milik pasangan selebritas Baim Wong dan Paula Verhoeven, mendaftar pada 20 Juli. Lalu seseorang bernama Indigo Aditya Nugroho, mendaftar pada 21 Juli.

Iklan

Kabar itu sontak memicu kemarahan publik. Keramaian Citayam Fashion Week yang dirintis remaja kelas bawah asal Depok dan Bogor dianggap telah diklaim untuk pribadi. Begitu kabar pendaftaran tersebut meluas, Instagram pribadi Baim Wong dijejali tudingan bahwa ia mencuri karya orang miskin. Kalimat yang sama diulang banyak netizen di kolom komentar postingan Baim ini, “created by the poor, stolen by the rich”.

Awalnya kemarahan publik terkesan tak cukup ampuh. Pada 25 Juli 2022, pihak yang mendaftarkan merek Citayam Fashion Week ke Kemenkumham justru bertambah satu lagi, atas nama Daniel Handoko Santoso. Bila salah satu dari ketiga pihak ini berhasil diterima permohonannya, sosok tersebut bakal jadi pemegang eksklusif merek “Citayam Fashion Week” hingga 10 tahun ke depan, bonus jadi public enemy

Usai dicerca netizen sepanjang akhir pekan, Baim Wong akhirnya membuat pengumuman pada 25 Juli malam, bahwa dia tidak akan meneruskan pendaftaran HAKI untuk brand Citayam Fashion Week. Mengutip video yang diunggah di akun YouTube pribadinya, Baim Wong meminta maaf bila tindakan manajemen Tiger Wong sempat membuat resah banyak kalangan.

”Saya akan melepas [upaya pendaftaran merek Citayam Fashion Week], enggak mau untuk mempertahankan. Kalaupun nanti ada yang bisa saya bantu Citayam Fashion Week ... apapun itu, dengan senang hati," kata Baim Wong.

"Tiger Wong Entertainment mau bantu [pegiat fashion di Dukuh Atas] dalam segi apapun. Sekali lagi, mudah-mudahan permintaan maaf ini didengarkan, didengarkan sama kalian semua.”

Iklan

Selain perusahaan Baim, CNN Indonesia mencatat Indigo Aditya Nugroho turut membatalkan pendaftaran merek “Citayam Fashion Week” ke Ditjen HAKI per Selasa, 26 Juli 2022. Di Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) permohonan Indigo statusnya adalah “ditarik kembali”, alias tak jadi diurus lebih lanjut. Dengan perkembangan terbaru ini, tinggal Daniel Handoko Santoso yang masih berupaya mengajukan HAKI untuk Citayam Fashion Week.

Berbeda dari target perusahaan Baim yang hendak mengelola aspek pembuatan konten peragaaan busaya Citayam Fashion Week, termasuk podcast, Indigo mengejar pendaftaran brand di bidang expo dan hiburan.

Adanya upaya-upaya pendaftaran merek Citayam Fashion Week, meski kini akhirnya sudah dilepas 2 dari 3 pendaftar, dikonfirmasi kebenarannya oleh Ditjen HAKI. Namun Ditjen Haki menekankan bahwa publik masih bisa menyanggah pendaftaran tersebut. Pasalnya, pendaftaran merek tidak akan serta-merta diterima, namun harus melewati proses verifikasi dan publikasi.

Dalam masa publikasi inilah publik berhak mengajukan keberatan atas merek yang didaftarkan. “Jika kedua permohonan tersebut telah masuk pada masa publikasi, semua pihak dapat mengajukan keberatan terhadap permohonan pendaftaran merek tersebut,” jelas Koordinator Pemeriksa Merek Ditjen HAKI Agung Indiryanto, dalam rilis kepada media. 

Iklan

Dari hasil pengecekan VICE, publik bisa mengajukan keberatan atas pendaftaran suatu merek. Tata caranya bisa dibaca di sini. Tapi ada biaya yang lumayan. Ongkosnya Rp1 juta per permohonan keberatan.

Baim Wong jadi sosok yang paling dikecam karena pendaftaran ini, sebelum akhirnya melepas upayanya. Lewat postingan Instagram, Baim membela diri dengan menyebut Citayam Fashion Week tetap milik Indonesia dan ia cuma bermaksud “memajukan fashion Indonesia di mata dunia”. Namun, ia tak menjelaskan apa kepentingan perusahaannya mendaftarkan merek tersebut secara hukum.

Baim menekankan bahwa dirinya sebagai orang berduit harus membantu remaja Citayam agar bisa “meraih mimpi”, tapi tak dijelaskan mimpi siapa yang dimaksud. Ia juga menyebut ingin membuat “trend ini menjadi wadah yang legal”, padahal sampai saat ini belum ada yang memvonis ajang mejeng remaja di Stasiun Sudirman tersebut ilegal.

Baim juga mengatakan sudah minta izin menteri untuk memindahkan Citayam Fashion Week ke “tempat lebih layak”, yakni ke mal Sarinah.

Munculnya kritik bernuansa pertentangan kelas saat menanggapi pendaftaran HAKI Citayam Fashion Week bukan barang mengejutkan. Netizen menganggap Citayam Fashion Week punya semua hal yang dibenci kelas atas, namun belakangan justru dibajak oleh kalangan tersebut. Alasan ketidaksukaan itu, misalnya, karena remaja-remaja necis dari Depok dan Bogor ini berdana cekak sehingga tampak seperti imitasi murahan. Mereka juga remaja yang tak bersekolah.

Platform yang memopulerkan mereka, TikTok, juga masih dijauhi sejumlah kalangan karena dinilai norak. Bonge, Jeje, Roy, dan Kurma memang mendapat popularitasnya lewat konten wawancara di jalan, yang dipublikasikan lewat TikTok.

Tak heran, meski selebritas dan politisi akhirnya ikut terjun ke catwalk dadakan di zebra cross Dukuh Atas, sentimen negatif terhadap para remaja ini tetap mudah ditemukan. Misal, teguran agar jangan bikin kumuh, dianggap berpeluang mengganggu ketertiban umum, hingga akan dipindah karena bikin macet jalan.

Alfian Putra Abadi menulis esai di Project Multatuli bahwa isu di balik Citayam Fashion Week bukan soal fashion, melainkan keterbatasan ruang publik. Testimoni Alfian sebagai warga Depok, remaja setempat butuh ruang bermain yang toleran, mudah, dan murah dijangkau. Para remaja Depok tadinya berkumpul di kawasan Universitas Indonesia, namun harus pindah karena kebijakan kampus dan PT KAI. Alhasil, ruang bermain remaja Depok terdesak ke mal, kafe, warnet, mal, rumah, atau ke ruang publik di wilayah Jakarta sekalian.