Horor Pembantaian Terus Membayangi Pengungsi Rohingya di Indonesia
Mohammad Habi mengatakan kakaknya tewas saat kabur dari Provinsi Rakhine, tepatnya di Sittwe. Semua foto oleh Aidli Rizki Nasution.

FYI.

This story is over 5 years old.

Rohingya

Horor Pembantaian Terus Membayangi Pengungsi Rohingya di Indonesia

Ratusan pelarian dari Myanmar kini tinggal di Medan, Sumatra Utara. Kekerasan militer Myanmar pada mereka masih membekas. Hidup mereka tak kunjung tenang.

Dua tahun berlalu sejak Mohammad Noyeem kabur dari rentetan kekejaman sistematis di provinsi Rakhine, Myanmar. Noyeem kabur menumpang perahu penyelundup manusia, mengarungi perjalanan berbahaya menuju Malaysia. Bukannya sampai di negeri jiran, kapal yang ditumpangi Noyeem terombang-ambing di perairan di kawasan utara Indonesia. Kelebihan penumpang dan bawaan, kapal itu ditinggalkan dan karam. Bangkainya ditemukan nelayan di perairan sumatra.

Iklan

Noyeem masih ingat kata-kata terakhir ayahnya. Ketika pelajar yang waktu itu berumur 15 tahun bilang bakal meninggalkan Myanmar menuju Malaysia, negara tempat dia berharap mewujudkan mimpinya menjadi dokyer, ayahnya hanya mengajukan satu pertanyaan: "kamu bakal kangen ayah tidak?"

"Saya bilang kalau saya pasti kangen bapak," ujarnya pada VICE. "Lalu, kami berdua menangis."

Noyeem adalah orang Rohingya, etnis yang paling parah mengalami persekusi di muka Bumi.

Etnis Rohingya, mayoritas beragama Islam, telah hidup di Myanmar selama beberapa generasi. Fakta ini dicampakkan begitu saja oleh pemerintah Myanmar yang keukeuh menganggap mereka imigran ilegal. Bagi pemerintah negara yang dulu dikenal dengan nama Burma, etnis Rohingya datang seenaknya dari Bangladesh dan mulai mendiami provinsi Rakhine pada masa pemerintah kolonialisme Inggris.

Saat ini, etnis Rohingya adalah suku tak berkewarganegaraan dan hidup terkurung dalam kamp yang dikawal ketat oleh aparat di Rakhine. Rangkaian kekerasan yang kembali terjadi di provinsi tersebt memaksa 500.000 pengungsi melarikan diri ke perbatasan Myanmar selagi militer Myanmar menggayang Arakan Rohingya Salvation Army (Arsa)—kelompok militer yang menurut pendirinya terpaksa dibentuk guna melindungi etnis Rohingya dari segala macam kekejaman militer Myanmar.

Arsa diduga menyerang beberapa pos penjagaan. Aksi mereka meletupkan serangkaian kekerasan yang begitu masif hingga Kepala Badan Kemanusian Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutnya sebagai kekerasan yang kental dengan bukti terjadinya "tanda-tanda pembersihan etnis."

Iklan

Mohammad Noyeem.

Noyeem naik kapal penyelundup lantaran menghadapi krisisnya sendiri. Pada 2012, perseteruan etnis antara muslim Rohingya dan penganut Buudha di Rohingya menyebar di seluruh kawasan Rakhine. Puluhan anggota etnis Rohingya tewas ketika gerombolan penganut Budha membakar desa dan mesjid. Akhirnya, militer Myanmar turun tangan, menyatakan Rakhine dalam status darurat. Dengan dalih tersebut, aparat Myanmar menerapkan aturan-aturan yang membatasi pergerakan muslim Rohingya.

Ketika Noyeen akhirnya berani memutuskan kabur, militer sudah menutup aksesnya masuk sekolah dan eksodus pencari suaka sudah mulai terjadi. Noyeem merencanakan memulai hidup baru di Malaysia, di mana para pencari suaka bisa mudah ditemuii di kawasan urban Kuala Lumpur. Saat ini, sekitar 90.000 pengungsi Rohingya bermukim di Malaysia, negara mayoritas muslim yang menutup matanya pada fakta bahwa para pencari suaka ini bekerja sebagai buruh atau staf restoran.

Malang, takdir hidup Noyeem menemui kelokan tak terduga. Dia tak pernah sampai ke Malaysia. Begitu kapal yang ditumpanginya mulai karam, Noyeem menceburkan diri ke Teluk Bengal. Bocah itu lantas berenang selama lima jam sebelum diselamatkan. Noyeem masih terhitung beruntung.

"Banyak yang tak bisa berenang," ujar Noyeem "Orang meragang nyawa di kanan kiri saya. Beberapa ibu-ibu berusaha mendekap bayi dan anak-anak mereka. Beberapa pengungsi renta tak punya sisa tenaga untuk berenang."

Iklan

Noyeem tak tahu berada di mana ketika sekelompok nelayan datang menyelamatkannya. Dia tak bisa bicara dalam bahasa Inggris, Indonesia apalagi bahasa melayu. Dua kata yang keluar dari mulutnya adalah: "Rohingya," da "Muslim." Nelayan itu menariknya ke kapal dan membawanya Pangkalan Susu, kampung pelaut di tepian pantai Sumatara Utara.

"Sudah seminggu saya tak makan saat itu. Persediaan makanan di kapal habis. Begitu nelayan Indonesia menemukan saya, mereka langsung menangis," kenang Noyeem.

Noyeem kini adalah salah satu 129 pencari suaka dari Myanmar yang menempati kamp pengungsi di Hotel Beraspati, Medan. Tiga tahun lalu, bekas bangunan hotel remang-remang itu diubah jadi lahan penampungan pengungsi. Kamp ini tak begitu menonjol. isinya hanya sebuah ruangan yang menghadap tanah lapang di balik tembok semen. Kamp penampungan itu dipantau satu pos satpam kecil, letaknya persis depan kompleks.

Namun, lahan bekas hotel tersebut lebih terasa sebagai bagian suatu kota, alih-alih kamp pengungsian. International Organization for Migration (IOM) mengantar pasokan makanan tiga kali seminggu dan Universitas Sumatra Utara membuka kursus bahasa Inggris dan kelas-kelas lainnya di sana.

Selama wawancara, beberapa kali, Noyeem kadang nakal, mencoba lari dari kehidupan pengungsi yang gitu-gitu doang pun tergambar. Saat ditanya apa dirinya pernah mencoba kabur dari kamp pengungsian, Noyeem mengaku pernah menyelinap keluar dengan beberapa kawannya dan pergi ke kolam renang terdekat pada suatu sore. Noyeem bercerita bahwa dia beroleh "pemandangan indah." di sana. Saya menduga yang dilihat Noyeem adalah para pengunjung perempuan. Begitu saya berusaha memastikan dugaan saya, muka Noyeem memerah. Tawanya berderai tak bisa dihentikan.

Iklan

Pengungsi lainnya malah menemukannya jodoh dalam pengungsian. Mohammad Habi, 23 tahun, dan istrinya Surakatuh, 29, pertama kali bertemu saat keduanya dijejalkan penyelundup manusia dalam kapal yang sama. Penyelundup itu kemudian kabur. Kapal yang mereka tumpangi pun dibiarkan mengambang selama beberapa hari tanpa makanan dan air minum sebelum akhirnya diselamatkan dan dibawa ke Indonesia.

Tanpa tedeng aling-aling, saya bertanya apa yang bikin Surakatuh kesengsem sosok Habi. sepasang sejoli itu tertawa malu-malu sebelum Habi angkat suara "Kami cuma ingin hidup normal. Kami pengin punya keluarga."

Namun seiring para pengungsi Rohingya perlahan-perlahan akrab dengan ritma kehidupan normal, kondisi di kampung halaman mereka makin kelam. Saudara Habi bahkan jadi target aparat Myanmar. ""Militer Myanmar datang menangkapnya." ujar Habi." Saudara saya lari menyelamatkan diri. Dia dikejar sampai ke pinggir pantai. Saudara saya lantas menceburkan diri ke laut." Malang, saudara Habi mendapatkan serangan panik akhirnya tenggelam, ungkap Habi.

Istrinya, Surakatuh, juga mengkhawatirkan keselamatan keluarganya. "Mereka bilang tak ada makanan di sana," katanya. "Uang mereka tak cukup untuk keluar Myanmar dan sangat ketakutan. Mereka cuma bisa menangis dan meminta saya menolong mereka."

Ketika saya dan Noyeem berjalan mengelilingi kamp Hotel Beraspati, beberapa pengungsi perlahan mengikuti kami, tapi ada satu pria yang terus memepet saya. Saat kami bilang kami akan pergi, dia bertanya apa boleh dirinya menunjukkan sesuatu pada saya. Permintaannya saya turuti dan pria ini langsung mengeluarkan ponselnya dan memamerkan foto-foto yang dikirim kawan dan sanak saudaranya yang terpaksa masih bertahan di Rakhine.

Mohammad menunjukkan foto-foto mengerikan kekerasan sistematis di Provinsi Rakhine yang tersimpan di ponselnya.

Kami lantas duduk di bagian kamp yang teduh. Pria terus men-swipe gambar-gambar seram di ponselnya. Semua foto itu menggambarkan persekusi yang dialami etnis Rohingya: sekumpulan pria berlutut di tanah berlumpur dengan leher dan tangan yang terikat. Kuburan massal. Mayat bayi berlumur darah di selokan. Ada juga foto jasad Rohingya dengan luka bacokan golok dengan mata terbelalak. Bahkan, kekejaman dialami hewan ternak. Salah satu menampakan seekor sapi yang berlutut kesakitan. Kapak masih menancap di punggung hewan malang itu. Darah tampak menetes dari kaki sapi tersebut.

"Foto-foto ini tak akan bohong," sergah pria itu, yang mengaku bernama Mohammad.

Ikut berkunjung bersama sama hari itu, Dr. Irna Minauli, seorang psikolog klinis yang mendampingi pengungsi Rohingya saat mereka tiba di aceh. Beliau menjelaskan efek psikologis kabar-kabar buruk ini pada pengungsi di kamp Hotel Beraspati. "Jika gambar-gambar sadis atau mendengar kabar buruk dari Myanmar sampai ke pengungsi Rohingya, ini akan memicu flashback dan Post Traumatic Stress Disorder," ujarnya. Saat bicara langsung dengan Noyeem, sukar percaya bila usianya baru 17 tahun. Dalam usia sebelia itu, Noyeem sudah ditunjuk sebagai juru bicara kamp. Dua tahun lalu, kemampuan bahasa Inggris nihil. Kini, dirinya bisa dengan lamcar menceritakan kehidupan dan perjuangannya di Myanmar. Saya meminta pendapatnya tentang sosok Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar saat ini dan salah satu perain Nobel perdamaian. Dia memberi penilain miring terhadap Suu Kyi. beberapa kali, istilah "genosida" dan "pembersihan etnis" meluncur dari mulut Noyeem. "Suu Kyi terbukti tidak mau menyelamatkan Rohingya," tegas Noyeem memungkasi penilaiannya.