Walau baru memasuki jam pelajaran kedua, Kiki* duduk gelisah di bangku sekolahnya, SMK 1 Muhammadiyah Salam, Magelang. Selain seragam pramuka yang ia kenakan, satu set seragam lain tersimpan di tas punggungnya. Sebuah kaos warna merah bergambar moncong banteng di bagian depan, ikat kepala merah, kaos kaki merah, serta sorban senada. Notifikasi di grup WhatsApp-nya berisik sejak pagi. Ketika jam dinding di atas papan tulis menunjuk angka sembilan, dia keluar kelas, berjalan sembunyi-sembunyi ke parkiran, menarik tuas gas motornya, lalu kabur dari sekolah.
Di jalan raya, suara raungan motor lain sambung-menyambung di udara. Kiki berhenti di bawah pohon, mengganti seragam sambil memeriksa percakapan grup WA bernama “Laskar Merapi”. Hari itu, 13 April 2019, dia bersiap menggeber knalpot dalam rangkaian kampanye bising yang sudah kadung jadi tradisi jelang pemilu di Indonesia. Nyaris semua sepeda motor di rombongan Kiki memakai knalpot modifikasi yang memicu suara bising, atau biasa dijuluki blombongan.
Videos by VICE
Mendekati jalan raya Muntilan, tempat laskarnya berkumpul, Kiki ikut memanaskan suasana dengan suara menggelegar knalpot motornya. Kiki dan kawan-kawannya menuju Lapangan Soeparti di Mungkid, tempat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) cabang Magelang melangsungkan kampanye terakhir untuk mendukung Calon Presiden Joko Widodo. Kiki bersama Laskar Merapi, dan puluhan laskar dari Yogyakarta dan sekitarnya konvoi menuju tempat kampanye. Bising dan asap yang dihasilkan luar biasa. Warga di pinggir jalan yang mereka lewati sibuk menutup telinga.
Kiki dan teman-teman Laskarnya gembira siang itu. Beberapa orang mengibar-ibarkan bendera partai penuh semangat. Sebagian lainnya berjoget dengan irama tuas gas demi memicu suara bising yang dijuluki ‘bleyeran’. Saking berisiknya, peserta konvoi menyumpal lubang telinga mereka dengan kapas.
“Makin berisik, aku makin suka,” ujar Kiki pada VICE. Menurutnya, knalpot berisik bisa menarik perhatian orang. Senada dengan Kiki, Ferry* selaku anggota Gerakan Pemuda Kabah (GPK) mengaku knalpot blombongan jadi faktor utama keseruan konvoi. “Biar rame. Orang konvoi kalau enggak bleyer-bleyer itu ngantuk,” ujarnya ketika ditemui secara terpisah. Ferry adalah tangan kanan komandan GPK Kota Yogyakarta yang juga bertugas mengorganisir massa ke berbagai kampanye.
Konvoi blombongan adalah salah satu tradisi kegiatan yang selalu ada tiap musim pemilu di Indonesia, khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Hifdzil Amil dari HICON Law & Policy Strategic menyatakan konvoi blombongan ini adalah tradisi kampanye terbuka di dua provinsi tersebut. Selama musim kampanye terbuka sejak 28 September 2018 lalu, konvoi motor dilakukan berkali-kali oleh pendukung Jokowi maupun Prabowo Subianto.
Tonton dokumenter VICE soal kancah balap liar dengan taruhan puluhan juta, diikuti pembalap di bawah umur:
Suara bising, atribut, dan ulah pengendara motor ugal-ugalan sebenarnya telah membuat citra kampanye konvoi jadi buruk. KPU, Bawaslu, dan kepolisian berulang kali mengimbau agar konvoi tak dilakukan, karena dapat memicu konflik. Konvoi massa PDIP terlibat bentrok dengan FPI di Wates, contohnya, berakhir dengan kericuhan. Konvoi blombongan juga mengganggu jalannya Ujian Nasional SMA di Yogyakarta.
Aturan soal knalpot ini sebenarnya diatur di pasal 285 Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas. Saat polisi DIY melakukan razia selama musim kampanye, mereka menyita sekitar 37 knalpot blombongan baik dari kubu pendukung Jokowi maupun Prabowo. Sejak peraturan larangan knalpot blombong populer, peserta konvoi punya cara menghindari polisi. Mereka membawa dua knalpot. Jadi ketika berurusan dengan polisi, mereka mengganti knalpot blombogan dengan knalpot yang sesuai aturan.
Umumnya, knalpot blombongan adalah kreasi peserta konvoi. Bayu, simpatisan PDIP yang ditemui VICE, cukup memahami kultur modifikasi knalpot. Bengkel ayahnya biasa membantu peserta konvoi berburu knalpot bekas, jika perlu yang penyok dan berkarat. Knalpot ini dipotong jadi dua, lalu disambung ke motor, menyisakan bagian tanpa penyaring udara menganga.
Bentuk knalpot modif ini macam-macam. VICE menemukan knalpot yang jika dilihat dari ukurannya, diduga dibuat dari toples-toples seng bekas kue kering, atau botol-botol berbahan besi. Semakin besar lubang knalpotnya, bertambah garang suara yang dihasilkan. Semakin banyak pula asap yang keluar.
Knalpot ini biasanya jadi urusan pribadi tiap anggota konvoi. Ada juga yang disediakan oleh laskar atau partai yang menaungi mereka. Affan, komandan Laskar Pinggiran yang ditemui VICE di Jalan Raya Muntilan mengurus ketersediaan knalpot blombong untuk anggota laskarnya. “Saya bawa 1.000 motor, ya sekitar 2.000 orang. Itu semua sudah diurus, dari mulai atribut kaos, bendera, sampai knalpot kami kasih semua,” ujarnya bangga. Laskar Pinggiran adalah organisasi pemuda yang terasosiasi dengan Partai Kebangkitan Bangsa.
Dalam pergaulan antar peserta konvoi dari berbagai laskar, urusan knalpot dan bising motor ternyata adalah urusan gengsi. Kiki misalnya, diam-diam mengeluhkan merek motornya. Ia berharap punya RX King, alih-alih Honda Revo. RX King menempati kasta tertinggi dalam adu garang antar peserta konvoi, disusul Ninja Kawasaki, FU, KLX, lalu Sonic. Motor lain cuma catatan kaki.
Kata Ferry, menyambut musim kampanye ini, banyak temannya menjual motor matik untuk ditukar RX King supaya lebih garang ketika ikut konvoi. “Kalau motornya enggak ada suaranya diejek,” kata Ferry sembari tertawa.
Jenis mesin motor ternyata juga berpengaruh ke suara yang dihasilkan. Motor dengan mesin 2 tak punya tipe suara “nge-bass”, sementara 4 tak lebih ringan, sedangkan mesin engine stop punya karakter bunyi seperti tembakan nyaring.
“Jadi biasanya, kalau di rombongan itu satu orang narik gas motor 2 tak treeeengggg sekali, disusul 4 tak dua kali tarik trenggg, baru diisi sama yang motornya engine stop dooor dor dor. Itu ada nadanya,” kata Bayu menggebu-gebu. Dia menikmati orkestra knalpot tersebut ketika konvoi.
Meski terkesan ugal-ugalan, rombongan konvoi sebenarnya berusaha mengatur laju rombongan. Komandan dan para petinggi partai atau laskar berada di depan, umumnya mereka naik mobil jeep. Di belakang, beberapa motor matik pembawa bendera berjejer rapi. Beberapa orang bertugas jadi pembuka jalan dan satuan keamanan. Tapi seringkali formasi itu tak berguna sama sekali.
“Pokoknya kalau barisannya makin ke belakang, makin ugal-ugalan. Kayak bangku di kelas sekolah gitulah, yang depan tertib semua,” Ferry terkekeh.
Tradisi Konvoi blombongan di Yogyakarta tak lepas dari pembagian wilayah kekuasaan puluhan ormas dan laskar setempat. Partai muncul di permukaan, namun urusan pengorganisasian massa sesungguhnya ada di ormas dan laskar. Lanskap politik Yogyakarta dan Magelang umumnya bisa dilihat sebagai wilayah dengan dua warna: merah dan hijau. Merah adalah mereka yang patronnya PDI Perjuangan, alias mendukung paslon Jokowi-Amin, sementara hijau mendukung Prabowo-Sandi.
Sigi* yang bergabung di laskar Tentara Langit sejak remaja, menuturkan dalam laskar dan konvoi ada tiga jenis anggota: mereka yang militan, artinya tetap berangkat konvoi meski tak ada uang atau fasilitas apapun, anggota biasa yang berada di tengah, dan mereka yang mencari uang dengan ikut konvoi. Menurut cerita Ferry, GPK kerap mendapat sumbangan atau titipan dari caleg di partai yang mereka usung.
Jika sudah begini, peserta konvoi akan mendapat fasilitas berupa seragam dan amplop berisi uang. Kadang, politikus itu menipu mereka. “Pernah itu bilangnya dapat Rp50 ribu, tapi pas dibuka cuma Rp30 ribu. Sebel kalau kayak gitu, kan lumayan 20 ribu kali berapa ratus orang?” Ferry tertawa.
Di bawah naungan partai skala nasional, ormas dan laskar berbasis kedaerahan dipelihara. Kubu merah diisi oleh organisasi Tentara Langit (TL), Barisan Shiratal Mustaqim Central Kota (BSMCK), Laskar Gledek. Sementara kubu hijau diperkuat GPK, Joxzin, Hamka Darwis, dan banyak lainnya. Paham politik yang dikelola laskar ini mengakar hingga ke ranah keluarga dan lingkungan. Dari kakek ke bapak ke anak. Ideologi mereka ditanamkan dengan sangat organik.
Solidaritas membuat anak-anak muda pasti bergabung dalam organisasi dan mengikuti semua agenda, termasuk konvoi. Kiki, yang tumbuh besar di lingkungan pendukung PDIP, merasa wajib mendukung partai berlambang banteng itu. “Sejak SD saya itu udah diajak Bapak konvoi, pas udah boleh ikut ya senang,” ujarnya.
Itulah kenapa, urusan konvoi saat musim kampanye jadi penting. Di kepala peserta konvoi, partai dan eksistensi kelompok harus diperjuangkan seperti sedang memperjuangkan garis keluarga sendiri. Momen ini juga jadi ajang eksistensi laskar dimana mereka bisa benar-benar dibuktikan secara terang-terangan di jalan. “Kalau enggak konvoi gini kami susah ketemu, pada kerja sendiri-sendiri. Ketika konvoi bisa ketemu bareng-bareng,” kata Ferry.
Terus maraknya tradisi konvoi blombongan ini dikomentari Noor Harsya A.S, koordinator Divisi Pengawasan Hukum dan Humas Badan Pengawas Pemilu Yogyakarta. Dia bilang kampanye bising tersebut diawali parpol yang melawan rezim Orde Baru, seperti PDI dan PPP. Konvoi ini adalah bentuk perlawanan, pembuktian bahwa partai selain Golongan Karya juga punya massa, meski tak mendapat fasilitas negara. “Kenapa konvoi di jalan? Karena jalan adalah tempat kontestasi simbolik, jalan itu media yang menarik semua orang untuk mengaktualisasi dirinya, mencari perhatian,” ujarnya.
Harsya melihat pergeseran kepentingan di kalangan ormas dan laskar ini. Jika dulu kebutuhannya untuk aktualisasi diri, jumlah massa di organisasi ini jadi tawaran untuk mendekati kekuatan tertentu demi sumber daya dan lain hal. “Itu bisa bahaya karena jaringan mereka ini membentuk konfigurasi mekanisme baru, mengganggu kontrol demokrasi. Regulasi jadi tidak produktif, karena gampangnya polisi jadi enggak berani sama ormas. Kami di Bawaslu harus mengembangkan strategi mengatasi tren ini,” ujarnya.
Sayangnya, para anggota laskar tak punya pemahaman politik sekomprehensif itu. Bagi mereka, konvoi sekadar perayaan lima tahunan yang menyenangkan. Momen mereka bisa melanggar aturan jalan raya tanpa dimarahi siapapun.
“Aku enggak menjurus ke capres sih, presidennya gonta-ganti pun aku tetep sama aja. Kalau enggak kerja ya enggak dapat uang,” kata Ferry.
Setali tiga uang, Kiki yang harus masuk ke sekolah lagi keesokan harinya tak mau ambil pusing soal hasil pemilu. Konvoi sekadar caranya memacu adrenalin. “Rasanya kayak suporteran bola itu lho,” kata Kiki, “tapi bedanya ini pakai motor dan pakai kaos partai di jalan.”
*Identitas sebagian narasumber disamarkan karena di bawah umur dan untuk menjaga privasi mereka
Titah adalah jurnalis lepas yang mukim di Yogyakarta. Follow dia di Instagram.