Seandainya kabar adanya event pembuahan massal cewek Indonesia oleh cowok bule di Jakarta terbukti pernah terjadi, acara ini pantas dijadikan tonggak sejarah. Inilah simbol puncak betapa akutnya obsesi orang Indonesia poskolonial. Kalau diri sendiri minder karena tampang mentok Asia Tenggara banget, paling enggak anak kandung ada tampang “indo”, sebutan lain untuk karakter wajah kaukasoid.
Gosip adanya acara kontroversial ini digulirkan akun Twitter @areajulid pada 7 September lalu. Berbekal tangkapan layar yang diklaim berasal dari grup ekspatriat di Indonesia, seorang lelaki Eropa berusia 28 tahun mengaku dapet undangan dari koleganya menjadi peserta breeding event.
Videos by VICE
Doi kaget begitu tahu acara ini harfiah berisi kegiatan koitus berjamaah, digelar para perempuan lokal dari lingkar pertemanan kaya raya, yang pengin punya anak dari bule tanpa perlu menikah.
Orientasinya sudah jelas banget sejak dari syaratnya. Peserta pria yang akan membagi sperma mereka haruslah ras kaukasoid, berperawakan tinggi, tampan, pintar, dan kalau bisa pengusaha. Tujuannya konon satu jua: “memperbaiki keturunan”.
Sang bule dikabarkan menolak tawaran membuahi karena punya kekasih. Lagian, doi juga males kudu punya anak dari perempuan enggak dikenal.
Penduduk Indonesia akrab banget sama istilah “memperbaiki keturunan”. Biasanya omongan ini disampaikan ke orang kurang rupawan yang dinilai beruntung banget bisa dapet pasangan cakep. Indikator cakepnya kayak postur tinggi, kulit relatif putih, hidung mancung, rambut lurus, dan bibir tipis. Pokoknya kayak artis indo yang sering wara-wiri di TV.
Kualitas kayak gitu emang bisa aja ditemukan dalam diri sebagian etnis di Asia, tapi gelar paling sahihnya sering jatuh pada orang kaukasoid. Perilaku media massa dan pengguna medsos membuktikan fetish ini lewat serangkaian konten viral.
Sampai 2020 atau lima tahun setelah mereka menikah, media massa aja mengabarkan pernikahan Bayu Kumbara dan Jennifer Brocklehurst. Pas Nur Khamid menikah dengan Polly Alexandria, mereka diundang ke TV dan rekaman talk show itu dijudulin gini di YouTube: “Adakah ILMU PELET di Balik Kisah Cinta Nur Khamid & Polly Alexandria?”. Njir, seminder itu sampe pelet dibawa-bawa?
Fenomena ini juga terjadi di aplikasi kencan. Mei lalu, agresifnya cewek Indonesia ke lelaki bule di aplikasi Hoop jadi perbincangan media sosial. Sebagian cowok bule bahkan sampai menganggap gadis-gadis Indonesia di aplikasi ini sebagai momok.
Balik ke kabar pembuahan massal. Okelah, anggap aja deh syarat fisik macam tinggi dan tampan tadi adalah selera. Tapi, syarat “pintar” jelas mengganggu banget. Maksudnya, seriusan penyelenggaranya menganggap kualitas berpikir ditentukan gen? Kayaknya yang mikir gitu harus baca bukunya Jared Diamond!
Ahli demografi William H. Frey mengatakan, alasan orang non-kaukasoid menikahi bule untuk memperbaiki keturunan biasanya hanya disebabkan oleh selera fisik. Ras ini dianggap berpenampilan lebih menarik. Sementara penjelasan psikolog Colgate University George Estabrooks lebih menohok.
Ia menulis bahwa sebelum menentukan ras mana yang paling unggul, tiap-tiap anak dari ras berbeda harus diberi ruang berkembang dan fasilitas yang sama. Enggak akan adil menilai kecerdasan anak-anak kulit hitam yang mengalami diskriminasi puluhan tahun, dengan akses pendidikan minim mereka dibanding anak-anak kulit putih dengan segala previlesenya.
Mitos memperbaiki keturunan ini bikin kami penasaran untuk tahu langsung dari anak keluarga kawin campur berdarah kaukasoid, apakah mereka merasa diuntungkan?
“Keuntungan enggak ada sih. Enggak lebih pinter juga,” kata Anglud, pemudi 26 tahun blasteran Belgia-Indonesia, kepada VICE. “Aku tidak menganggap dibilang lucu dan dicubit-cubit waktu kecil sebagai keuntungan.”
“Kerugian enggak ada juga. Meski kadang di tempat wisata kayak Bali, aku kalau lagi liat-liat barang dagangan jadi dimahalin. Cuma ya gitu aja, solvable banget, cukup dengan aku jawab bahasa Indonesia,” tambahnya.
Mendengar rumor acara pembuahan di Jakarta, sebagai anak blasteran Anglud sedih sekaligus geli. “Aku prihatin sih karena orang sini physical banget cara pandangnya. Tapi, aku juga geli karena kayaknya [inisiator acara pembuahan massal] enggak tahu kalau gen itu masalah mana yang lebih dominan. Dia bisa ngapain aja sama si bule, tapi kalau gen Indo-nya kuat, kan sama aja ya.”
Pendapat Katharina Stögmüller tidak jauh beda. “Saya ngerasa [jadi anak blasteran] malah lebih banyak ruginya. Misalnya aja, waktu sekolah dulu di kelas saya paling dihafal guru. Sering dikasih pertanyaan padahal saya kan enggak bisa jawab,” ujar mahasiswi berdomisili Yogyakarta itu kepada VICE.
“Menurut saya pribadi, mungkin kita masih punya mindset peninggalan kolonialisme yang menganggap kulit putih itu keren, unggul, padahal ya sama aja sih. Mungkin bisa juga karena media-media bilang standar kegantengan atau kecantikan orang itu harus tinggi, putih, mancung, padahal orang Indonesia ya punya standar sendiri dan keren. Menurut saya itu [acara pembuahan masal] udah menyimpang sih.”
Emang udah saatnya keterpukauan ke orang kaukasoid dihentikan. Enggak semua bule, misalnya, nyaman ditodong foto bareng padahal dia ngerasa dia bukan siapa-siapa.
Obsesi punya anak Indo juga bisa menyebabkan risiko inkompabilitas rhesus buat calon anak karena potensi perbedaan rhesus darah antara orang kaukasoid dan mongoloid. Kalau soal gengsi, punya anak dengan kemampuan Avatar pengendali empat elemen kayaknya baru layak disombongkan.