Video Erum dibuka dengan alunan musik lembut dan gambar kolase kegiatannya hari itu. Kontennya tak jauh berbeda dari video-video YouTube di kanal “homemaking” yang berfokus pada kehidupan ibu rumah tangga. Namun, begitu Erum mulai berbicara, penonton bisa merasakan ada yang hilang dari video. Perempuan Pakistan itu tidak pernah menunjukkan wajahnya.
Dengan kanal YouTube Home Vlogs with Erum, ibu rumah tangga tersebut menawarkan pemandangan ke rutinitasnya sehari-hari seperti memasak dan bersih-bersih. Erum juga bisa jadi beauty guru tanpa menampilkan wajah.
Videos by VICE
Vlogger Muslimah mengambil bagian yang cukup besar pada platform tersebut. Walaupun kebanyakan hanya merekam dari leher ke bawah seperti Erum, beberapa menggunakan foto profil mereka sendiri atau memamerkan sebagian kecil dari anggota tubuh — misalnya mata — di gambar thumbnail.
Sama seperti banyak vlogger Muslimah lain, kanal Erum memiliki ribuan subscriber yang mendukungnya habis-habisan.
“Saya tidak menjadi diri sendiri ketika pindah ke Inggris,” bunyi komentar seorang perempuan Muslim pada video yang diunggah oleh Sobia, bintang YouTube dari Inggris yang mengelola kanal gaya hidup. “Saya kembali menyayangi diri sendiri berkat kamu.”
Vlogger umumnya bikin video sehari-hari karena ingin memamerkan diri mereka dan kehidupannya. Tapi, vlogger-vlogger Muslimah ini justru “tak terlihat”. Mereka menemukan jati diri melalui tangan, suara dan kisahnya. Menurut penelitian yang mengeksplor keterlibatan emosional multi-level dalam vlog, homofilia (keinginan untuk menjadi sama) berperan besar di sini.
Erum hobi menonton vlog sejak 2011, jauh sebelum genre video ini populer di Pakistan. AprilJustinTV dan itsJudysLife adalah kanal YouTube favorit Erum. Dia mengikuti keseharian dua vlogger ini meski mereka tinggal jauh darinya di Amerika Serikat. Dia merasa konten yang disuguhkan relevan dengan hidupnya.
“Waktu itu YouTube masih diblokir di Pakistan, jadi saya nonton video mereka pakai VPN sebelum tidur,” Erum memberi tahu VICE. Dia mulai mengunggah video ulasan dalam kanal kecantikan dan gaya hidupnya sendiri pada 2018. “Saya nge-swatch produk (seperti krim pagi/malam atau foundation) di tangan.” Setelah itu, dia mulai merambah ke dunia vlog.
Dia menyangga ponsel untuk menampilkan area kerjanya yang lebih luas. Kontennya berbeda dari mayoritas video tutorial dan Get Ready With Me (GRWM) yang ada di YouTube. Alih-alih menunjukkan wajah yang disorot lampu halo/ring, dia memanfaatkan editan dan pemilihan konten yang cermat. Matanya yang awas memastikan wajahnya tak masuk ke video.
“Saya akan memburamkan wajah kalau misalnya muncul di depan kamera saat bikin video bersih-bersih,” tutur Zunaira Bint Waqar, perempuan asal ibu kota Ajman, Uni Emirat Arab, yang menjalankan kanal Zuni and Family.
Sejumlah vlogger menutupi pantulan pada permukaan stainless steel dengan stiker, atau menempatkan barang di depan wajah mereka ketika sedang mirror selfie. Sedangkan yang lainnya mengambil langkah lebih praktis dengan mengenakan burqa ketika membersihkan rumah. Shaista, pemilik kanal HHCraft and Design dan H&H Vlogs UK, menyebut penting baginya memilih genre yang mewakili dirinya yakni video tanpa wajah.
Shaista punya 100.000 subscriber lebih berkat video menjahit dan membuat pakaian DIY. Dia sudah tidak sabar memegang Silver Play Button dari YouTube. Sementara itu, Huma dari Kanada memilih untuk menyembunyikan wajah hingga kanal memasaknya menyentuh jutaan subscriber.
Para konten kreator ini sama sekali tak menemukan kesulitan menjangkau dan menarik penonton. Pertanyaannya adalah kenapa mereka menyembunyikan wajah? Yang pasti, bukan karena mereka tidak cantik atau minder dengan penampilannya.
“Saya rajin merawat diri, kok,” ujar Erum sembari tertawa. Subscriber sering memuji tangan dan kakinya. Artikel di situs babe.net menjelaskan kita bisa menambah jumlah pengikut di Instagram dengan trik menyembunyikan wajah. Tapi bagi perempuan-perempuan ini, keputusan mereka tak sebatas panjat sosial. Itu masih menjadi bagian dari keputusan spiritual mereka, serta norma budaya dan gender yang melekat. Dalam banyak kasus, mereka tidak memamerkan wajah atas keinginan pribadi.
Sebagai guru sekolah Islam, Zunaira menjalankan prinsip sesuai spiritualitasnya. Dia percaya dengan pentingnya menjalankan “purdah”, praktik ajaran Islam yang memisahkan perempuan dari laki-laki.
“Saya takkan menggunakan musik dan menunjukkan wajah di kanalku,” ungkapnya. Bukan hanya wajah Zunaira saja yang disembunyikan, dia tak pernah menampilkan wajah orang lain dalam videonya. Menurut Zunaira, sudah menjadi kewajibannya untuk menghargai privasi mereka.
Keputusan Erum tidak dipengaruhi oleh agama dan budaya. “Saya lebih nyaman tidak menunjukkan wajah (saat bikin video). Saya menyukai anonimitas,” terang perempuan itu. Tak sedikit vlogger yang memiliki alasan serupa dengannya. Semua adalah preferensi pribadi. Tak ada pula yang namanya tunduk pada perintah laki-laki untuk menyembunyikan wajah.
Faktanya, banyak vlogger Muslimah bersikeras suami mendukung penuh untuk membuat video. Suami Erum sering mengajak penonton berkeliling kamar hotel saat dia melakukan perjalanan bisnis atas permintaan subscriber.
Suaminya mendorong para lelaki di luar sana untuk bersikap suportif kepada istri mereka, sama seperti yang dilakukan suami Shaista dan Sobia. “Saya beruntung punya suami yang memahamiku dan mertua yang mendukungku,” kata Zunaira. “Keputusan saya tak ada hubungannya dengan mereka.”
Bukannya mengikuti alur konten ibu rumah tangga yang sudah ada, perempuan-perempuan ini justru mendefinisikan ulang konsep pilihan dalam pembuatan konten. “Saya tahu kontenku sudah cukup kuat meski tanpa wajah,” Sobia menegaskan. “Ada kepercayaan bahwa kalian harus menunjukkan dirimu sendiri untuk sukses di media sosial. Saya ingin mematahkan mitos tersebut.”
Melalui kanalnya, dia menjalin pertemanan yang erat dengan vlogger Muslim lainnya, dari Inggris sampai Dubai. “Tak ada satupun dari kami yang menunjukkan wajah,” tuturnya. “Tapi kami saling memotivasi satu sama lain untuk menciptakan konten berkualitas.”
Gulnaz Anjum, associate professor jurusan psikologi Institute of Business Administration di Karachi, telah memperhatikan tren ini. “Ada ledakan perempuan Pakistan berusia 30 dan 40-an yang mengambil alih ruang digital,” terang Anjum.
Menurutnya, ruang digital sebelumnya didominasi oleh milenial, yang kebanyakan memiliki lebih banyak akses kepada ruang publik. “Segmen demografis yang terlibat di platform terus berkembang berkat ponsel pintar dan paket internet.”
Engagement adalah hal yang penting bagi konten kreator dan subscriber. Seorang vlogger baru bisa berhasil jika membangun interaksi dengan penonton.
Tanpa wajah, subscriber bisa merasakan seolah-olah mereka hidup seperti vlogger. Dalam kasus ini, mereka dapat membayangkan gimana rasanya jadi ibu rumah tangga.
“Perempuan paruh baya adalah contoh yang sangat menarik. Identitas mereka diatur banyak orang,” Anjum melanjutkan. Berdasarkan hasil penelitiannya—yang menelusuri kecenderungan ibu rumah tangga Muslim bermain peran di Facebook secara anonim—suami dan anak laki-laki memiliki peran sebagai pembuat aturan dalam kehidupan online ibu rumah tangga.
Perempuan juga menghadapi banyak pihak lain, seperti mertua, yang menentukan bagaimana sebaiknya mereka bersikap. “Menyembunyikan wajah atau merahasiakan identitas memberikan semacam keamanan kepada mereka,” ujarnya.
Dia menelusuri jejak identitas ini — khususnya preferensi yang kuat untuk menyebut kanal mereka sebagai “Mom vlog” atau “home vlog” — hingga era 1970 dan 1980-an di Pakistan (periode Islamisasi yang menitikberatkan pentingnya norma gender dan peran Ibu). Para perempuan dari kelompok usia tersebut mungkin mengalami lanskap politik ini ketika mereka masih remaja.
“Keluarga mungkin lebih menghargainya jika mereka memenuhi identitasnya sebagai ibu rumah tangga tanpa wajah,” Anjum menyimpulkan. Dengan demikian, kebangkitan vlogger Muslimah tanpa wajah mungkin tak seradikal kelihatannya.
Apa pun itu, para vlogger ini menemukan validasi, komunitas dan perlahan-lahan menuju kebebasan finansial begitu kanal mereka mulai dimonetisasi. Dalam dunia mereka, “face-reveal” atau tindakan mengungkapkan wajah adalah suatu hal yang spesial. Beberapa menunjukkan wajah untuk merayakan jumlah subscriber atau pencapaian tertentu dalam hidup, sedangkan lainnya memilih untuk tetap bersembunyi di balik layar.
Erum sendiri belum tergoda menunjukkan wajahnya kepada subscriber. “Mungkin suatu saat nanti,” pikirnya setelah ditanyakan ketertarikannya untuk face-reveal. “Tapi sekarang saya belum kepengin melakukannya.”