FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Kecewa Pada Debut Luis Milla Membuktikan Cinta Kita Pada Timnas Cenderung Masokis

Mari mengakui satu fakta penting: dengan kontrak cuma dua tahun, alumnus La Masia itu (seperti biasa) bukan juru selamat sepakbola Indonesia.

"I fell in love with football as I was later to fall in love with women: suddenly, inexplicably, uncritically, giving no thought to the pain or disruption it would bring with it." – Nick Hornby. Setiap kali hasil buruk dialami tim nasional Indonesia (santapan kita sehari-hari), kutipan buku Fever Pitch ini selalu terngiang di kepala. Jatuh cinta dengan sepakbola, terutama dengan tim nasional sendiri, adalah sebuah pengalaman yang menyakitkan namun sama sekali tidak bisa dihindari. Saya ingat salah satu pengalaman paling menyesakkan di Piala AFF 2014. Saat itu, Indonesia bermain di Vietnam, pada laga kedua fase grup menghadapi Filipina. Pesawat saya dan sekelompok rekan lainnya baru mendarat siang hari, dan harus langsung mengejar laga yang kick off sore hari di stadion Ibu Kota Hanoi yang rute ke sana saja kami tidak paham. Berkat bantuan staf KBRI Hanoi, kami sampai di lokasi tepat waktu—hanya untuk menyaksikan tim tercinta dibantai 0-4 oleh tim yang biasanya jadi bulan-bulanan timnas di masa lalu. Menyakitkan? Jelas. Percepat waktu hingga tahun 2017, kemarin menjadi laga perdana tim nasional Indonesia di bawah sang pelatih baru yang reputasinya cukup menjanjikan: Luis Milla. Dengan segala pengalamannya di Spanyol, sosok ini digadang-gadang akan menjadi penyelamat baru untuk sepakbola kita yang sudah jalan di tempat untuk waktu yang begitu lama. Fajar baru, istilah kerennya. Sambutan publik pun tinggi, dan harapan pun meningkat pesat. Namun seperti yang sudah-sudah, harapan adalah kata yang begitu berbahaya dalam dunia sepakbola. Terutama cinta terhadap timnas Indonesia. Satu kata sederhana yang bisa merusak segalanya. Meletakkan harapan ke timnas hampir sama saja seperti menyalakan bom waktu. Soal debut Milla sebagai pelatih, ledakan kecil yang menghancurkan harapan ini langsung terjadi di laga perdana. Menghadapi Myanmar, Indonesia yang menurunkan tim U-22 harus rela takluk telak 1-3 di kandang sendiri. Hantaman yang cukup terasa untuk tim yang dia anggap siap bersinar. Cercaan segera muncul terhadap sang pelatih asal Spanyol itu. Tapi mari mendinginkan kepala sejanak. Coba kita lihat dahulu bagaimana pertandingan kemarin berjalan. Yang perlu diingat, walaupun lawan kita 'hanya' Myanmar, ini bukanlah Myanmar yang merupakan tim medioker Asia Tenggara seperti satu dekade lalu. Mereka adalah tim peserta Piala Dunia U-20 dan juga semifinalis Piala AFF terakhir. Jadi, sama sekali bukan lawan yang mudah untuk punggawa tim Merah Putih. Awal pertandingan berjalan dengan cukup baik. Indonesia mencoba bermain pressing di setiap sudut lapangan. Membuat Myanmar kesulitan untuk menguasai bola. Ditambah dengan dua sayap, Febri di kanan dan Saadil di kiri, yang melaju begitu kencang, serangan kita tampak sulit dihentikan. Satu-satu masalah adalah, seperti biasa, penyelesaian akhir. Tidak ada umpan matang, dan tidak ada penyelesaian akhir yang bagus. Dan di satu waktu umpan matang itu datang, Indonesia berhasil menciptakan gol. Sebuah crossingh dari Saadil diselesaikan sundulan manis dari Nur Hadianto. 1-0 untuk Indonesia. Masa depan cerah mulai terlihat. Harapan tinggal harapan. Setelah gol itu, Indonesia kembali menjadi Timnas Indonesia. Bencana muncul di babak kedua. Dengan berbagai pergantian pemain yang dilakukan Milla, termasuk memasukkan Evan Dimas dan sang striker Jong Ajax, Ezra Milian, justru memperburuk permainan Indonesia. Tidak ada lagi tekanan-tekanan penuh kerja keras yang ada di babak pertama. Justru Myanmar dengan begitu mudahnya menguasai bola nyaris di setiap sudut lapangan. Lalu di sedikit waktu di mana kita punya peluang menyerang, pengambilan keputusan anak-anak muda ini pun begitu menyedihkan dan akhirnya segalanya terbuang sia-sia. Lini belakang Indonesia yang berantakan akhirnya memberikan hadiah penalti untuk Myanmar, diselesaikan dengan begitu dingin dan sempurna. 2-1. Awan gelap mulai datang ke era baru Luis Milla. Setelah kebobolan, Indonesia tampak menyadari bahwa mereka masih punya waktu untuk bertanding di lapangan dan sempat sedikit membaik. Ezra menunjukkan sedikit kualitas yang ia miliki, namun tetap terlihat jelas masih butuh waktu lebih banyak untuk beradaptasi dan, yang lebih penting lagi, dukungan yang lebih bagus dari pemain-pemain lain di belakangnya.
Mimpi buruk Milla pun berakhir sempurna saat serangan balik Myanmar di menit-menit akhir menemukan celah raksasa di lini belakang Indonesia, menutup pertandingan dengan skor 3-1 untuk tim tamu. Awal buruk untuk Luis Milla dan harapan para pecinta sepakbola Indonesia pun tercoreng dengan begitu cepat. Lalu, apakah dengan hasil ini berarti tidak ada artinya memiliki nama seperti Milla di bangku pelatih? Bisa iya, dan bisa juga tidak. Ini masih laga pertama, menilai sepenuhnya hanya dengan satu laga saja akan sangat naif dan tidak adil untuk anak-anak muda ini dan pelatih mereka. Tapi yang jelas alarm bahaya sudah berbunyi dan Milla butuh sesuatu yang positif untuk mengembalikan kepercayaan publik. Dari sisi strategi, tidak terlalu banyak kesalahan yang dilakukan oleh sang pelatih. Hanya saja memang, pemain-pemain kita tampak masih sama saja seperti sebelumnya. Tidak terlalu istimewa, dan kadang terlihat berada beberapa level di bawah lawan. Belum lagi stamina yang terkuras secara drastis hingga memutuskan untuk menghentikan taktik pressing yang jelas diinginkan Milla bisa berjalan di sepanjang pertandingan. Di pertandingan kemarin, komentator sempat bercerita bahwa Bima Sakti datang dua jam lebih awal dari semua orang untuk mempersiapkan lapangan dan segalanya (sebenarnya ini pekerjaan pengurus lapangan dan kit-man sih, tapi way to go, Bima!), ini menunjukkan bahwa persiapan tim ini betul-betul serius. Dan agak menyedihkan sebenarnya jika persiapan yang begitu serius hanya menghasilkan penampilan sekedarnya di lapangan. Harapan (see, kata ini muncul lagi) kita sekarang adalah semoga saja pertandingan kemarin hanyalah sebuah glitch belaka dari sistem yang sudah diciptakan oleh Milla. Glitch yang untungnya sudah muncul dari awal sehingga bisa segera diperbaiki dan jika bisa malah dihilangkan sama sekali di masa-masa selanjutnya nanti. Milla dan tim ini butuh waktu untuk saling beradaptasi satu sama lain. Dan kita sebagai pendukung tim nasional Indonesia hanya bisa memberikan hal ini, sambil bersabar dan tidak terlalu menuntut banyak. Rasanya, ini menjadi kunci penting dalam hal mendukung timnas Indonesia. Salah satu buktinya adalah saat tidak ada harapan apapun untuk tim milik Riedl di AFF terakhir, kita entah bagaimana malah bisa lolos ke Final. Masalahnya, mengingat PSSI hanya memberi kontrak dua tahun untuk Milla, sebaiknya memang mimpi pendukung timnas tak usah ketinggian. Menyitir analisis jeli pengamat sepakbola Darmanto Simaepa, hanya ada dua pelatih asing yang mewariskan medali buat PSSI. Keduanya pelatih Eropa Timur, yakni Tony Pogacnik dan Anatoly Polosin. Apa kesamaan mereka berdua? Sama-sama punya waktu mempersiapkan fisik atlet-atlet timnas karena disodori kontrak lebih dari tiga tahun. Sementara Milla seperti deretan pelatih asing lain, cuma memiliki kesempatan dua turnamen (tak sampai tiga tahun) untuk membuktikan sentuhan dan visi bermainnya. Jika gagal, hampir pasti Milla langsung ditendang. Apapun itu, mayoritas rakyat Indonesia terlanjur jatuh cinta dengan tim nasional. Kalau boleh menyarankan, sebaiknya kutipan Hornby di awal artikel tadi wajib menjadi pegangan. Cinta terkadang memang tak hanya buta, namun juga bikin kita tuli sekaligus bisu.

Iklan