Wahai Sesama Millenial, Apakah Kalian Juga Merasa Lebaran Tidak Seasyik Masa Kecil Dulu?

Wahai Sesama Millenial, Apakah Kalian Juga Merasa Lebaran Tidak Seasyik Masa Kecil Dulu?

Setelah berulangkali memikirkannya, aku sampai pada kesimpulan ini: “Ada yang salah dari momen lebaran di masa sekarang.” Aku tidak lagi merasa bahagia, seperti saat dulu diajak orang tua bertemu kakek-nenek dan sepupu jauh sesudah salat Ied. Seiring bertambahnya usia, getaran kegembiraan pada permulaan bulan Syawal seperti menghilang. Rasanya, merayakan lebaran jadi tidak menyenangkan, katakanlah dibanding masa 90’an dulu.

Opornya masih ada. Sungkeman terus berlanjut. Tradisi bagi amplop juga tetap dipertahankan (walaupun aku sudah enggak dapat lagi sesudah lulus kuliah). Apa yang salah ya?

Videos by VICE

Dari tahun ke tahun, momen lebaran justru membuatku jadi lebih sebal pada banyak hal. Memang lebarannya yang salah? Bukankah semestinya lebaran membawa keriaan dan kebahagiaan?

Faktor yang kuduga jadi biang keroknya: merayakan lebaran sebagai orang dewasa rupanya menyebalkan. Apalagi jika kamu mengadopsi nilai yang sudah berbeda dari orang tuamu. Bagaimanapun, aku adalah bagian dari generasi millenial. Kami salah satu generasi yang dibesarkan dengan kemudahan akses teknologi dan informasi, serta sejak kecil dipaksa siap “menghadapi” globalisasi. Tapi harga yang harus kami bayar dengan semua itu adalah stagnasi gaji. Kami generasi pertama di negara ini yang terbiasa dengan sistem kerja outsource (bikin sebagian dari kami tidak menikmati uang lembur ataupun THR layak). Kami juga selalu disalahkan generasi sebelumnya, sebagai anak muda yang boros karena tak becus menabung dan sukanya jalan-jalan sambil ngopi.

Oke. Kalau memang kami semenyedihkan itu dalam hal kemampuan pengelolaan keuangan harusnya generasi millenial diajari untuk berhemat. Rasional membelanjakan uang. Nyatanya? Tiap tahun kami diminta menghormati tradisi buat mudik. Aktivitas yang jelas-jelas menghabiskan uang.

Jujur aja, aku males banget mudik pulang kampung ke rumah kakekku di Purwakarta, yang jaraknya sebetulnya hanya 1,5 jam saja dari Jakarta andai tol tidak macet. Di kota itu aku nebeng tumbuh besar bareng kakek nenekku.

Begini. Aku bukanya malas bertemu keluarga. Tapi selain soal biaya tadi, aku baru menyadari bahwa di balik mudik, muncul segudang ekspektasi yang tercipta dari kepulangan kita ke kampung halaman dari banyak orang. Ya kalian tahu lah, pasti muncul semua pertanyaan klise yang bahkan sekarang memenya tak lucu lagi itu. Ada yang sibuk saling membandingkan. Mulai dari siapa yang paling cepat lulus, yang paling melesat karir dan kemapanan, hingga semua pertanyaan yang diawali “kapan…”

Belum lagi kalau sudah ada famili membawa-bawa debat agama di sela makan opor. Awalnya mungkin cuma nasehat berkedok nasehat, “kapan pakai hijab?”, atau “kapan hijrah?”. Ujung-ujungnya kembali membicarakan perkara dua kubu politik yang tak kunjung berakhir setelah pilpres itu.

Aku mencintai kampung halamanku. Aku suka bertemu keluarga besar. Tapi benarkah harus di momen Idul Fitri saja, dengan semua tekanan sosial itu? Aku justru merasa keluarga dan kawan masa kecil yang kutemui jadi lebih tulus ketika ditemui di luar momen lebaran.

Selain tekanan akibat percakapan basa-basi, aku capek bertemu kenalan yang menganggap semua perantau di kota besar otomatis bergelimang harta dan kesuksesan. Atau minimal dianggap punya lebih banyak duit dibandingkan mereka yang bekerja di desa.

Mendengar keluarga membanggakan anak-anaknya yang merantau ke Jakarta membuatku sedih. Aku membayangkan, cerita tentangku—yang terkesan keren karena sukses bertahan jadi buruh media, padahal realitasnya selalu pusing setelah tengah bulan lewat akibat berbagai cicilan—bisa saja direspons keliru oleh tetangga di kampung. Ada berapa banyak anak muda yang bernasib sama sepertiku? Dianggap panutan hanya karena terpaksa menggadaikan keahlian di Jakarta?

Tugas kami yang sebenarnya adalah jadii trofi di kampung halaman, role model abal-abal, yang akhirnya membuat jumlah pemudik di Tanah Air terus meningkat. Pada 2017, jumlah pemudik meningkat menjadi 18,16 juta orang. Setahun berikutnya, total pemudik berjumlah 19,5 juta orang.

Jujur aja nih. Merantau untuk cari kerja di Jakarta bukan perkara role model. Realitasnya, kami sulit bertahan di kampung halaman. Aliran uang negara ini nyaris semua terserap ke Ibu Kota. Pemerintah pun menyadarinya. Apa yang heroik ketika jutaan sarjana millenial di negara ini harus mengalami nasib yang sama? “Buang cita-cita membangun kampung halaman, jika kau ingin meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Pergi dulu ke Jakarta, pulang setelah sukses, baru kau bangun kampung halaman.”

Ketika kami terserap di industri padat modal, mulai terbiasa menikmati secangkir machiato tiap pulang kerja, gym, tempat nongkrong yang melimpah— di titik itulah kami tercerabut dari tanah kelahiran.

Di tengah rasa frustrasi karena karir gini-gini aja (karena status karyawan selalu diperpanjang sebagai PKWT melulu), kami lantas diminta tidak egois. Baiklah. Maka, selama Ramadan kalian melihat anak muda berdesakan mencari baju diskonan, berburu tiket kereta atau pesawat yang mahalnya enggak ketulungan. Plus, harus menyisihkan uang yang tak seberapa itu untuk ponakan-ponakan. Tidak aneh jika sekarang kita mendapati ada orang yang memilih tidak pulang saat lebaran, karena malu tak bawa uang banyak di kampung.

Aku suka pulang. Tapi aku tak suka diharuskan pulang di saat penuh tekanan macam ini.

Aku membayangkan, kapan ya lebaran bisa menjadi semenyenangkan dulu. Tapi mungkin saja lebaran di mata orang tua kita sejak dulu juga tidak semenyenangkan itu, karena pulang kampung tak semurah itu—baik untuk kantong maupun mental.

Saat masih anak-anak, kita tak paham soal iri dengki, pamer harta, dan semua tekanan sosial. Kita menikmati opor, salam tempel, dan bermain bersama sepupu. Menjadi dewasa, lalu menyadari bermacam konsekuensi dari ritual tahunan ini merenggut semua kepolosan dan rasa naif memandang dunia.