Artikel ini pertama kali tayang di Amuse.
“Tokyo adalah lapangan bermain yang fotografis,” ujar Kamila K Stanley. “Bulan lalu ketika saya berada di sana, saya kewalahan menyesuaikan diri dengan 9 jam perbedaan waktu dengan tempat saya berhasi. Saya melek dari senja sampai subuh. Pada jam-jam inilah, saya jalan-jalan keliling kota sambil memotret.”
Videos by VICE
Seri foto terbaru Stanley, Tokyo Insomnia, adalah kumpulan jepretannya yang diambil pada “jam-jam larut malam, ketika cahaya jadi lebih sensitif dan kamu bisa menemukan banyak obyek foto menarik. Kamu sekaligus merasakan sensasi ngambang antara keadaan sadar dan bermimpi.”
Selama di Tokyo, Stanley tinggal di kawasan perumahan di daerah Tokyo Midtown, namun di siang dan malam hari dirinya berkeliaran di sekitar Shibuya dan Akihabara. Fotografer independen berdarah campuran Inggris dan Polandia itu “dibuat terpaku oleh lalu lintas di Tokyo, aliran manusia, kilauan love hotel dan cahaya lampu neon.” Stanley juga nongkrong di kawasan Nakameguro dan pasar ikan besar Tsujuki sebelum matahari terbit. Foto-foto Stanley sepintas tampak seperti versi lebih modern dari jepretan Saul Leiter lengkap dengan tetesan hujan, lampu-lampu neon dan orang yang lalu lalang.”
“Sepertinya yang membuat say tertarik adalah realisasi segala hal bisa sangat berbeda di dalam kebudayaan Jepang: dari cara sebuah kota di bangun, cara arsitektur dan ruang umum digunakan, bahasa dan alfabet jepang serta fotografi khas Jepang. Bahkan cara buah-buahan dibungkus di supermarket Jepang juga berbeda, semua dilakukan berbeda di Jepang. Ini adalah harta karun bagi seorang fotografer karena artinya setiap inchi kota ini selalu memiliki kejutan.”
“Bisa dibilang Tokyo adalah pemandangan warna-warni skala raksasa. Kapanpun itu, siang atau malam, kamu bakal tersesat di antara mesin dingdong, kasino, bar penuh neon kerlap-kerlip, atau pemandangan ganjil lainnya. Listrik dan cahaya ada di mana-mana. Kadang di tokyo kamu akan merasa seperti anak kecil lagi.”