Editor Kesehatan VICE Dipaksa Makan Menu Favorit Trump Nyaris Seminggu
Kolase foto oleh Adam Ignanelli, follow dia di akun instagram @adamignanelli.

FYI.

This story is over 5 years old.

Eksperimen Sosial

Editor Kesehatan VICE Dipaksa Makan Menu Favorit Trump Nyaris Seminggu

Hasilnya... jangan ditanya. Berkat pengorbanan Kate, publik jadi tahu ada yang salah sama menu santapan presiden AS sehari-hari.

Dari semua orang yang bekerja untuk VICE, saya seakan punya beban besar untuk orang paling sehat sekantor. Pasalnya, saya adalah editor-in-chief situs kesehatan Tonic. Alhasil, teman-teman sesama perokok di kantor kerap mencibir saya “ya ampun, kamu kan editor situskesehatan, berenti ngerokok kek.” Di samping itu, kolegaku juga doyan banget ngirim pertanyaan terkait kesehatan mereka. Setelah tahu Tonic membahas kesehatan dari barbagai sudut pandang tak biasa, pertanyaan yang datang ke saya makin unik saja. Suatu hari misalnya, ada yang bertanya tentang herpes gara-gara melakukan oral seks (padahal kemungkinan besar cuma jerawat, tapi kalaupun betulan herpes, tenang! Semua orang pernah kena herpes). Meski kerap bandel, saya punya hubungan yang sehat dengan apa yang saya makan. Setidaknya, saya suka makan dan sepertinya makanan sangat mencinta saya. Saban hari saya tak bosan-bosannya mengonsumsi sayur-sayuran dan bahan makanan dengan kandungan serat, omega-3, phutonutrient. Saking ketatnya saya menjaga asupan makanan, kawan-kawan saya di kantor kalau saya makan seperti “biarawan.” jadi, waktu salah satu dari kami ingin menjalankan eksperimen makan seperti Donald Trump selama seminggu, saya akhirnya jadi calon subyek penelitian paling ideal.

Iklan

Jadi sebenarnya Donald Trump si Presiden AS itu makan apa sih sehari-harinya? Seringnya sih, presiden Amerika Serikat ke-45 tuh menyantap fast food karena, ini berdasarkan pengakuan Trump sendiri lho ya, restoran fast food bisa dipercaya tingkat kebersihannya. Outlet-oulet makanan siap saji harus memenuhi “standar tertentu,” kata Trump seperti yang dikutip CNN. Dia juga mengaku menggemari Burger King, KFC dan McDonald. Makanan kesukaan Trump lainnya adalah Popeye’s Chicken dan Biskuit. Nah, khusus yang dua ini, saya jujur juga suka. Saking doyannya, saya memasukkan keduanya dalam menu sajian pesta pernikahan saya. Lumayanlah, senggaknya, ada sedikit kesamaan antara Trump dan saya.

Semua berita tentang santapakan kesukaan Trump mengindikasikan satu hal: Trump enggak peduli-peduli amat dengat apa dia makan. “Kalau Trump lapar, permintaannya tak jauh-juah dari McDonald,” terang salah ajudan Trump pada New York Times saat menggambarkan kebiasaan majikannya jika perutnya mendadak minta diisi. Trump doyan sekali makan Fillet-O-Fish, yang dijuluki oleh Trump sebagai "Fish Delight," Big Mac, Quarter Pounder dengan tambahan keju, dan tentu saja kentang goreng. Masih ada perdebatan apakah Trump membuang rotinya ketika makan burger. Satu yang pasti, setiap kali makan Pizza, Trump membuang toppingnya dan menghindari menyantap adonan. Trump percaya dengan demikian, dia hanya makan kalori-kalori yang penting saja. Masalahnya cuma satu: kalau makan pizza tapi toppingnya dibuang itu masih bisa disebut makan pizza enggak sih? Trump minum Diet Coke dan ngemil See’ Candies. Dia juga sangat mencinta es krim Vannila Cherry (saya malah enggak suka apapun yang punya rasa cherry vannila, belum pernah minum soda lagi sejak kuliah dan merinding tiap kali mendengar nama See’s Candies). Trump pantang sarapan seperti saya. Bedanya, Trump punya menu sarapan yang spesifik dan terdiri dari telur, daging babi dan cornflake (yang terakhir, kata Trump sih, cuma akal-akalan dia dapat banyak suara Iowa pada pilpres lalu. Trump adalah penggemar berat daging cincang gulung. Kalau sedang bernafsu makan steak, dia selalu meminta pesannya dimasak sampai mata betul. “Bentuknya sampai mirip batu di atas piring,” ujar salah Butler kesayangannya di Mar-a-Lago. Dah oh ya, Trump menyantap Spaghetti dengan saus daging.

Iklan

Trump kelihatan enggak pernah memasukan buah atau sayuran ke dalam mulutnya. Mantan presiden The Trump Organization itu anti mengonsumsi alkoho. Di saat yang sama, dia menghindari teh dan kopi. Nah ini yang bikin saya khawatir begitu saya mulai menjalani eksperimen makan kayak Trump selama seminggu. Saya enggak akan selamat selama seminggu tanpa alkohol, teh atau kopi.

Rencananya selama seminggu saya bakal berpura-pura jadi Trump—setidaknya saya meniru caranya makan selama seminggu. Syukur-syukur, biarpun saya enggak ngarep-ngarep banget, saya bisa menguap kenapa dia sering bersendawa dan kenapa dia kelihatan seperti sekarang. Atas nama kerja jurnalistik, saya bakal makan banyak makanan siap saji. Harusnya ini bakal jadi minggu yang menyenangkan. Malah, ini bakal jadi minggu paling keren sepanjang hidup saya. Ini juga bakal jadi diet paling mantap sepanjang hayat saya. Harusnya sih begitu..tapi mari kita lihat saja hasilnya..

HARI PERTAMA

Jam 10.00

Terinspirasi ketidaksukaan Trump terhadap sarapan dan waktu makan yang kepalang diatur, saya tiba-tiba menyambar krim asam dan keripik kentang dari dapur kantor. Ya ampun, dua makanan ini sedapnya tak terkira. Njing, kenapa enggak dari dulu-dulu saya sarapan kayak gini?

Menu makan siang hari pertama percobaan ini. Sandwich dan ayam goreng

Jam 14.00

Lantaran kantor VICE di Brooklyn terletak jauh dari outlet makanan siapa saji mana pun, saya terpaksa menggunakan layanan pengantaran makanan Seamless. Saya memesan sandwitch ayam goreng dari kios cemilan terpercaya di Williamsburg Pies 'n' Thighs. Kursor komputer saya melayang-layang di bagian salad. Maklumlah, saya terbiasa makan makanan sehat. Untungnya, dalam sekejapm saya sadar bahwa saya sedang meniru pola makan Donald Trump, bukan menjalankan anjuran praktisi diet sehat. Satu paket kentang goreng akhirnya saya pesar. Saya memilih opsi “hold the bacon” sebelum saya teringat bahwa Trump adalah pecandu daging babi asap. Akibatnya, pilihan itu saya anulir. Ternyata, makanan saya pilih belum menemuhi syarat minimal pemesanan. Biar pas, saya nambah pesanan. Pilihan saya jatuh pada hust puppies. Sebenarnya, saya enggak tahu makanan macam apa hush puppies. Lagi-lagi saya ingat, kan saya lagi sok-sok jadi Donald Trump, jadi boleh dong saya asal main order saya. Namanya juga orang kaya.

Iklan

Begitu pesanan sampai, saya langsung menyikatnya dengan Diet Pepsi (maaf ya, persedian Dier Coke di kantor habis. Lagian, saya pikir Diet Pepsi punya efek yang sama pada bakteri dalam perut dan metabolisme tubuh, jadi santai saja ya saudara-saudara). Setelah bertahun-tahun absen mengonsumsi soda, saya terkaget-kaget dengan rasa gula tiruan dalam makanan saya. Saya langsung sedikit teler. Begini kali ya rasanya jadi Presiden?

Jam 20.00

Sosis gede-gede buat makan malam.

Kawan-kawan saya, yang datang ke apartemen, tanpa basa-basi bilang kalau sosis dan choucroute perut babi buatan suami saya adalah santapan yang Trump banget. Bangsat, gara-gara mereka saya kudu melewatkan Taco Bell. Baru sehari jadi Trump, saya rasanya mulai terbiasa makan tanpa jadwal pasti. Hiks.

HARI KEDUA

Jam 08.00

OK, entah kenapa, saya merasa kena basian pagi ini. Padahal yang mabuk juga kawan-kawan saya. Saya sendiri cuma nonton belaka. Sorry ya, saya mah alim kayak Trump kalau urusan alkohol (setidaknya minggu ini). Anehnya, saya merasa mual dan kepala ini kok baru saja seperti baru saja dijedotin alat penggiling daging.

Jam 10.00

Untuk sarapan hari kedua: hush puppies

Selama menjalani eksperimen, saya dilarang ngopi di kantor. Celakanya, otak kok rasanya butek bener. Nyolong-nyolong minum kopi di pojok ruangan kayaknya okay nih. Lagian itu kan Donald Trump banget, iya gak sih? Sayang, belum apa-apa saya sudah ketahuan. Seorang kawan melaporkan kecurangan saya. Mumpung, lagi sok-sok jadi Donald Trump, saya sebut saja dia “nasti person!” mamam tuh. Oh iya, Hush puppies sisa kemarin kelihatan mirip seperti cornmeal goreng yang enak disantap dengan kopi, walau ternyata, kopi enggak membantu sama sekali mengatasi basian enggak jelas yang sedang saya hadapi. Kalau pun Trump sarapan, dia pasti makan Hush puppies. Seharian dia nggak makan lagi karena Hush puppies bikin begah.

Iklan

Jam 20.00

Beberapa gigitan pertama makan malam saya di Popeye terasa begitu maknyus, penuh dengan cita rasa Americana. Padahal, beberapa bulan lalu, saya ngerasa itu biasa saja. Tapi, tiba-tiba saya nafsu saya hilang dan enggak bisa melanjutkan makan malam. Malam itu saya tidur dengan keringat dingin. Saya khawatir banget kalau saya enggak bisa meneruskan eksperimen ini.

HARI KETIGA

Jam 07.00

Saya terbangun dari mimpi. Dalam mimpi itu, saya menggragot buah pir yang segar. Lumayanlah, mimpi ini bisa jadi modal untuk menghadapi hari-hari penuh daging kesukaan Trump. Hari itu, gerakan saya mulai lamban sementara otak mulai lemot. Saya bahkan keluar rumah tanpa sikat gigi. Asal kalian tahu, saya sebelumnya engga pernah alfa gosok gigi. Nafas saya ngos-ngosan saat naik tangga subway. Saya benci hidup saya (padahal ini baru hari ketiga) yang kayaknya ngulang-ngulang doang. Buah-buahan di dapur kantor makin menggoda saja. Bajingan!

Jam 14.00

Kawan yang saya ajak makan siang di McDonald ogah memenuhi undangan saya. Sekali lagi, saya harus berburu junk food sendirian. Ujung-ujungnya, saya memesan ayam gorang dan waffle dari restoran terdekat. Trump juga bakal berpikir sama, pikir saya. Dia malah bakal memotret pesanannya, mengunggahnya ke Twitter dan mendaku sangat menyayangi orang kulit hitam. Sebenarnya, saya enggak lapar sama sekali seakan-akan semua potongan daging dan lemak sudah merampas nafsu makan saya. Yang bisa saya lakukan adalah menelan dengan terpaksa makanan yang saya pesan dan benar-benar menangis melihat aurugula salad yang disantap orang di depan saya. (yakin deh, itu salad pasti seger banget di mulut).

Iklan

Jam 20.00

Sepulang kerja, saya berencana pergi ke nge-gym karena hal itu enggak disebut dalam aturan eksperimen ini. Sayang, rencana itu cuma tinggal rencana. Sesampai di apartemen, saya cuma bisa teronggok di sofa, kecapean. Suami saya, bukannya menolong, malah menyuguhkan sisa sosis semalam sambil tersenyum. Dalam percakapan dengan suami, saya sadar beginilah cara Trump berolah raga. Ingat untuk orang sekaliber Trump, terlibat dalam obrolan yang penuh empati saja sudah bikin keringat. Ini baru kalian pahami setelah menjalankan pola makan ala Trump.

HARI KEEMPAT

Lewat jam 12.00

Setiap kali saya bersendawa, saya merasa kayak ada rasa Whopper di mulut saya dan was-was jangan-jangan rekan kerja saya mencium baunya. Kata-kata yang terpampang di layar komputer saya kayak enggak ada artinya. Saya sampai bolak-balik baca tulian tentang integrasi psikedelik sebelum mengembalikannya ke penulis dengan beberapa catatan ngaco di dalamnya. Semua email saya tandai Unread karena tak punya tenaga untuk membalasnya. otak saya seperti kopong saat harus ikut dua meeting hari itu. Anehnya, saya masih punya cukup tenaga untuk mengurusi media sosial. Baiklah, ini harus dimanfaatkan. Beberapa pekerjaan yang ada hubungannya dengan Twitter saya bereskan hari itu. Habis itu pulang. titik.

Jam 20.00

Burger ini dipanggang pakai caranya Trump. Udah kayak batu kali ditaruh di atas piring.

Saya jadi sasaran rundungan malam harinya. Seorang kawan yang saya ajak m menertawai menu makan malam saya: Trump Grille. Saya memang memesan burger karena tak ada taco bowl di sana. Tenggorokan saya seperti susah diajak berdamai. Setiap gigitan makanan adalah siksaan. Saya enggak bisa mencerna obrolan kami malam itu. Topiknya terlalu nyeleneh untung orang yang sedang menjalani diet ala Trump: apakah kecurangan selama menjalani eksperimen ini bakal terhapus kalau keculasannya standar banget seperti minum bir misalnya?

Iklan

HARI KELIMA

Jam 10.00

Bodo amat sama eksperimen ini. Trump tai kucinglah pokoknya. Suami saya cengar-cengir saat memotret saya tengah menyemil hash brown dan Egg McMuffin yang saya pesan dari McDonald. Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah ibu saya untuk merayakan Natal. Sepanjang perjalanan, saya gatel ingin melanggar peraturan. Tanpa sadar, saya sudah menyambar anggur milik suami dan bersiap menerkamnya. Melihat ini, suami saya cuma pasang muka galak. Alisnya diangkat untuk memperlihatkan kalau saya sudah kelewat nakal. Saya bilang dia keji. Sebel dah. Sore harinya, saya langgar banyak larangan eskperimen ini. “Katanya kamu lagi ngejalanin Trump Diet,” tanya pasangan ibu saya begitu saya ngemil pisang. “Ah itu mah boong banget,” jawab saya sambil menjelaskan kalau rekan-rekan sekantor saya berkonspirasi menjebak saya. “Aku enggak pernah ngomong begitu kok. sumpah!”

Jam 18.00

Sajian makanan hari libur ala Trump tentunya.

Dalam suasana makan malam—semua orang makan sup vegetarian kecuali saya, saya bilang bahwa berencana jadi vegetarian tahun depan. Sembari mengunyah potongan terakhir fish fillet (harus saya akui rotinya empuk banget), saya juga melakukan sedikit olahraga (itu kalau ngomong songong bisa dianggap olahraga.) Tentu saja, saya memang dijebak jadi subyek percobaan ini, namun selama lima hari ini, diet model Trump ini sudah saya jadikan alasan untuk bolos gym, malas-malasan, bersingkap congkak atau gampagnya jadi orang yang nyebelin. Ini bikin saya gatel menarik kesimpulan yang lebih luas: Trump beberapa hari ini jadi kambing hitam sikap saya yang mungkin bikin banyak orang bete. Kasusnya mirip seperti naiknya Trump sebagai presiden AS yang menginspirasi insiden bernuansa rasisme, misogini, dan xenofobia.

Kini, saya paham betapa seramnya kekuatan jahat yang dibawa Trump. Saya juga jadi tahu kalau keringat di dahi Trump adalah keringat karena kebanyakan makan daging. Namun, yang paling penting, saya benar tahu rasanya (pemerintahan) Trump—dan mengingat cobaan ini bakal terus terjadi sampai empat tahun ke depan, saya jadi kebelet muntah.

Follow Kate Lowenstein di Twitter.