Kumpulan Foto Bangunan Berdiri Sendirian di Tiongkok Karena Menolak Digusur
Sebuah rumah paku di Tiongkok, menolak digusur untuk proyek jalan tol. Foto via Reuters.
Perlawanan Sosial

Kumpulan Foto Bangunan Berdiri Sendirian di Tiongkok Karena Menolak Digusur

Penduduk Cina menjadikan 'rumah paku'—sebutan bagi properti yang berdiri sendirian ini—sebagai bentuk perlawanan terhadap pengembang dan pemerintah korup.
AN
Diterjemahkan oleh Annisa Nurul Aziza
Jakarta, ID

Dingzihu alias "rumah paku" adalah sebutan untuk bangunan yang berdiri kokoh sendirian di tengah jalan bebas hambatan, pusat perbelanjaan, serta berbagai infrastruktur swasta lain yang disetujui negara. Bangunannya bernasib seperti itu karena sang pemilik menolak digusur atau ganti rugi yang ditawarkan.

Rumahnya mirip seperti “paku” yang sangat sulit dicungkil, seakan sudah terpaku dalam tanah. Pada akhirnya, para pemilik keras kepala ini mau tak mau harus menerima tinggal di sekeliling tempat parkir atau jalan raya.

Iklan
1567141049051-2007-12-03T120000Z_612016840_GF2DWSQFBPAD_RTRMADP_3_CHINA

Foto oleh Reuters/Paul Yeung. Vila enam lantai di lokasi konstruksi Pusat Bisnis Shenzhen pada April 2007. Pemilik vila Choi Chu Cheung dan istrinya Zhang Lian menolak kompensasi yang ditawarkan developer.

"Rumah-rumah semacam ini memperoleh simpati dari rakyat Cina karena menggambarkan perjuangan 'David lawan Goliath,'" kata Steve Hess, Assistant Professor Ilmu Politik di Universitas Transylvania, Kentucky. Hess sejak lama mendalami fenomena menolak digusur di Tiongkok, dan pernah menerbitkan penelitian berjudul Nail-Houses, Land Rights, and Frames of Injustice on China's Protest Landscape pada 2010.

"Fenomena bangunan macam ini pertama kali muncul pada pertengahan 1990-an," imbuh Steve saat kami wawancarai lewat email. "Tepatnya ketika reformasi ekonomi Tiongkok pada 1994 mengalihkan banyak sumber penerimaan pajak dari pemerintah daerah ke pemerintah nasional."

Menurut Steve, kebijakan Beijing itu menyebabkan adanya pengalihan uang ke pemerintah pusat dan membuat pejabat setempat kekurangan uang. Satu-satunya solusi buat pejabat daerah yaitu dengan menjual lahan ke developer yang yurisdiksinya mereka miliki.

Berhubung mereka tidak diwajibkan membayar harga pasar kepada warga yang digusur, pejabat setempat mulai menjual kembali properti tersebut untuk meraup keuntungan. Seiring waktu, celah ini jadi lebih mirip penipuan massal yang terlambat disadari warga.

1567141073724-2016-05-04T120000Z_1061241019_S1BETCEQYHAB_RTRMADP_3_CHINA-HOUSING

Tao Weiren duduk di depan rumah dua lantai di kawasan Guangfuli, Shanghai pada Maret 2016. Menurut surat kabar, Guangfuli adalah lokasi impian investor real estate. Lokasi ini berada di tengah salah satu pasar properti termahal dan cepat naik di dunia. Namun realitanya malah menjadi mimpi buruk developer. Ratusan warga menolak meninggalkan rumah reyot mereka. Foto oleh Reuters/Aly Song

Di satu sisi, orang yang menolak digusur oleh media massa Tiongkok sering dianggap sebagai musuh negara. Di sisi lain, mereka dielu-elukan sebagai pahlawan lokal.

"Aksi protes dalam bentuk rumah paku beresonansi dengan perasaan warga Cina karena adanya persepsi pejabat setempat sangat korup dan bersekongkol dengan pengembang," kata Steve. "Gerakan ini melambangkan ‘kesadaran hak’ yang semakin tumbuh di Cina, di saat masyarakat melawan pejabat lokal yang menyalahgunakan jabatan mereka."

Iklan

Melawan pemerintahan Cina tentu sangat berisiko. Sudah banyak orang yang dijebloskan ke penjara karena tidak mau merelakan rumahnya digusur. Steve mengatakan itulah sebabnya pengunjuk rasa meminta perlindungan dari organisasi berita asing dan media sosial.

Taktik menggalang simpati publik cukup baru di Cina, karena dulu pada masa 1990-an dan awal 2000-an, pemilik rumah melakukan protes dengan memasang spanduk di depan rumahnya. Beberapa bahkan merantaikan tubuhnya ke properti guna menghentikan aksi penggusuran.

1567141113588-2010-02-10T120000Z_1960809973_GM1E62A174C01_RTRMADP_3_CHINA

Sebagian rumah ini sudah hancur di lokasi konstruksi Hefei, Provinsi Anhui pada 2 Februari 2010. Pemilik Nail House sepakat rumahnya digusur pada 9 Februari. Foto oleh Reuters/Stringer

"Parahnya lagi, sampai ada warga yang menyerang atau melempar bom Molotov ke arah tukang bangunan," ujar Steve, mengutip kasus pada 2008 ketika seorang perempuan di Distrik Minhang, Kota Shanghai, melempar bahan peledak dari botol anggur dan bensin ke petugas dan aparat yang menggusur. Perempuan itu dibekuk dan dipenjarakan, tetapi dia menjadi pahlawan lokal di internet.

Apa sebenarnya yang membuat pemilik bangunan nekat mengambil risiko besar seperti itu, hanya untuk mempertahankan rumah yang tak seberap luas? Alasannya tentu karena faktor ekonomi sekaligus emosional. Pertama, pejabat lokal seringkali memberikan kompensasi yang tidak setimpal untuk membeli rumah berukuran serupa di daerah yang sama. Selain itu, warga menyadari bisa mendapat biaya ganti rugi lebih tinggi dengan menggelar protes.

Steve segera mengklarifikasi bahwa rumah paku bukan sebuah gerakan sosial massif. Meski begitu, maraknya kasus macam ini menunjukkan bahwa penduduk di Cina telah menyadari ada banyak protes yang bisa sukses berkat dukungan medsos lokal macam Weibo dan WeChat. Selain itu, undang-undang yang disahkan pada 2007 memperkuat hak warga atas lahan mereka. Hal ini memotivasi orang melakukan “perlawanan yang sah.” Karena faktor-faktor ini, rumah paku semakin sering ditemukan di berbagai wilayah Cina.

Iklan
1567141137255-2008-10-31T120000Z_140204247_GM1E4AV1D4P01_RTRMADP_3_CHINA

Nail house di pinggiran kota Nanjing, Provinsi Jiangsu pada Oktober 2008. Pemiliknya baru mau digusur apabila mendapat kompensasi lebih besar. Foto oleh Reuters/Sean Yong

"Fenomena rumah paku masih sangat relevan dibahas sampai sekarang," katanya. "Harga rumah di Tiongkok makin mahal, terutama di pusat kota yang warganya sinis terhadap pemerintah lokal—terutama di tengah kampanye anti-korupsi Presiden Xi Jinping."

Steve berujar di tempat-tempat inilah semakin banyak orang menolak rumahnya digusur.

Follow Talia di Instagram.

1567141164324-2007-11-05T120000Z_1629256266_GM1DWNJWJPAA_RTRMADP_3_CHINA-ECONOMY-PROPERTY

Seorang buruh mengambil batu bata di depan nail house di pusat lokasi konstruksi yang nantinya dijadikan komplek apartemen di Hefei. Foto oleh Reuters/Jianan Yu

1567141180417-2008-01-03T120000Z_2050803663_GM1DWYNWTAAA_RTRMADP_3_CHINA-ROADS

Nail house di lokasi konstruksi yang akan dijadikan komplek apartemen di Hefei, Provinsi Anhui pada Januari 2008. Ada spanduk bertuliskan “Pemerintah harus menghukum developer yang menggusur rumahku. Kembalikan rumahku.” Foto oleh Reuters/Jianan Yu

1567141199370-2008-01-09T120000Z_2040247967_GM1DWZQRPGAA_RTRMADP_3_CHINA

Nail house di lokasi konstruksi dekat Guangzhou. Fotonya diambil pada 8 Januari 2008, tepat sebelum rumahnya dihancurkan. Foto oleh Reuters/Joe Tan

1567141227166-2012-11-24T120000Z_1898643744_GM1E8BO1C7501_RTRMADP_3_CHINA

Pasangan lansia menolak rumahnya digusur, sehingga rumah mereka menjadi satu-satunya bangungan di tengah jalanan desa mereka di provinsi Zhejiang. Rumahnya digusur pada 2012. Foto oleh Reuters/Aly Song

Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.