Setelah Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung (MA) Burhan Dahlan dua bulan lalu meminta hakim militer melakukan segala cara untuk memusnahkan prajurit gay, persekusi terhadap tentara LGBTQ menguat.
Minggu (20/12) lalu, Dahlan memimpin langsung sidang putusan kasasi Lettu AB, tentara dari kesatuan Pembekalan Angkutan Komando Daerah Militer (Bekangdam) I Bukit Barisan, yang dikriminalisasi setelah ketahuan berhubungan seksual dengan sesama jenis. Hasil sidang memvonis Lettu AB dengan vonis 8 bulan penjara disertai pemecatan.
Videos by VICE
“Menjatuhkan pidana berupa pidana pokok penjara selama 8 bulan. Pidana tambahan dipecat dari dinas militer TNI AD,” demikian keputusan hakim.
Sebelumnya pada 5 Maret 2020, Lettu AB sempat divonis tidak bersalah oleh Pengadilan Militer I-02 Medan dan dibebaskan dari dakwaan. Namun, pada 22 Maret 2020, oditur militer (jaksa dalam peradilan militer) mengajukan kasasi ke MA dan minta Apollonius dihukum.
Majelis sidang kasasi yang dipimpin Burhan mengabulkan permintaan dan lantas memutuskan Lettu AB terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) Pasal 103 ayat 1 karena melakukan tindak pidana dengan sengaja berupa “tidak menaati suatu perintah dinas”.
Kasus Lettu AB adalah kasus kedua tentara dipenjara karena orientasi seksual. Pada Oktober kemarin, tentara bernama Praka P dihukum satu tahun penjara dan pemecatan oleh Pengadilan Militer II-10 Semarang dengan pidana sama: tidak taat pada perintah atasan secara sengaja.
Sidang Praka dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Eddy Susanto dengan anggota Joko Trianto dan Victor Virganthara. Menurut majelis, terdakwa seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat, sedangkan menjadi prajurit gay dianggap “menyimpang”.
“Sehingga perbuatan terdakwa sangat bertentangan dengan aturan hukum dan perundang-undangan serta ketentuan norma agama, sehingga harus diberikan tindakan tegas,” tulis putusan sidang.
Perintah atasan yang dijadikan landasan vonis dua kasus di atas adalah Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1648/2019 tanggal 22 Oktober 2019 tentang Larangan terhadap Prajurit TNI dan PNS serta keluarganya untuk melakukan hubungan sesama jenis. Karena tak ada pasal langsung untuk menghukum, perilaku LGBTQI dikategorikan sebagai pelanggaran perintah atasan menggunakan KUHPM Pasal 103.
Jika anggota korps militer bisa langsung dihukum karena homoseksualitasnya, memakai dalih “melanggar perintah atasan”, di ranah sipil UU Pornografi yang jadi andalan polisi, terutama pasal pornoaksi. Itulah mengapa homoseksualitas di kalangan sipil umumnya menyasar tindakan yang bisa dituduh “pesta seks”.
Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu menyebut penghakiman pidana atas orientasi seksual bertentangan dengan hukum dan konstitusi. KUHPM Pasal 103 yang dipakai jadi dasar hakim bermasalah, karena menerapkan standar ganda.
“Ini jadi persoalan, berapa banyak tentara yang harus dipecat kalau pimpinannya kasih arahan untuk hidup sehat misalnya? Harus dikaji, pasal 103 itu apakah untuk perintah dinas atau umum? Kalau dinas, apakah termasuk urusan privasi?” kata Erasmus kepada VICE. Menurut Erasmus, diskriminasi terhadap tentara gay menjadi isu tersendiri sebab urusannya sama stigma sehingga butuh political will dari negara untuk membenahinya.
Soal apakah kemudian vonis jenis ini berpotensi melebar ke sipil, Erasmus menyebut kondisi militer, yang punya pengadilan sendiri, agak berbeda. “Agak berbeda dengan sipil ya karena tidak ada tanggung jawab etik atau disiplin profesi. Jadi, untuk sipil sepertinya arahnya masih [pakai] UU Pornografi [untuk menjerat komunitas LGBTIQ],” tutup Erasmus.
Meski tidak sampai dipenjara, setidaknya sudah ada 15 anggota TNI dan Polri yang dipecat karena menyukai sesama jenis. Sama kayak TNI, Polri juga memakai pasal tak langsung untuk menghukum anggota yang homoseks.
Karopenmas Mabes Polri Dedi Prasetyo menyebut polisi yang menjadi homoseksual berarti melanggar UU 2/2002 tentang Kepolisian Pasal 19 yang mengatur norma hukum, norma agama, kesopanan, kesusilaan, dan (ironisnya) hak asasi manusia.