Kopi Wadas: Secangkir Simbol Perlawanan Warga Menghalau Tambang dari Tanah Surga

Pameran Kopi Wadas digelar enam kota solidaritas seni

Setelah hari yang lelah dan panjang, Cecilia Elma akhirnya bisa menyandarkan punggungnya ke sofa. Secangkir kopi ia genggam di tangan. Hitam, sepekat langit malam di jendela rumahnya hari itu. Sambil meniup-niup kecil, perempuan 20 tahun itu menyeruput kopi di ujung bibirnya. Dua rasa mendominasi indra pencecapnya, asam dan pahit.

Kopi yang diminum Cecilia tak begitu jauh asalnya, hanya 60 km dari Yogyakarta, tempatnya tinggal. Asal kopi tersebut adalah pemukiman yang bersanding dengan hutan produktif di lereng bukit Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sayangnya rasa asam dan pahit secangkir kopi itu setara realitas yang sedang dihadapi warga Desa Wadas.

Videos by VICE

Semua bermula dari rencana pemerintah membangun Bendungan Bener yang akan menampung aliran Sungai Bogowonto yang melintasi Purworejo. Bendungan berdiri di ketinggian 160 meter ini bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), diklaim akan jadi bendungan tertinggi di Indonesia. Yang jadi masalah, material batu pembangunan bendungan hendak diambil dengan cara menambang batu andesit dari lahan seluas 114 hektar di kawasan bukit Wadas, ruang hidup warga desa yang mayoritasnya bertani.

Sejak rencana proyek tambang ini berembus pada 2013, warga Wadas langsung melakukan berbagai aksi penolakan, berujung serangan dari aparat. Insiden terbaru, pada 8 Februari 2022, ribuan aparat mengepung dan melakukan kekerasan pada warga Wadas, dengan dalih pengamanan kegiatan pengukuran lahan. Warga yang kalah jumlah berkumpul di masjid desa, beberapa gas air mata ditembakkan, 67 warga ditangkap, di antaranya ada perempuan dan anak di bawah umur. Setelah insiden itu viral dan dikecam banyak pihak, Polri melepaskan warga dan meminta maaf atas tindakan aparat di lapangan.

Dipicu simpati terhadap perlawanan warga Wadas, sekelompok seniman yang bergabung dalam Jaringan Solidaritas menginisiasi pameran kopi bertajuk Kepada Tanah: Hidup dan Masa Depan Wadas.

Pameran ini diadakan beruntun di enam kota: Bali, Batu, Semarang, Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta selama 8-28 Februari 2022. Sebanyak 22 seniman terlibat membuat karya di kemasan berisi bubuk kopi robusta Wadas ukuran 250 gram. Beberapa di antaranya Farid Stevy, Gegerboyo, Agugn, Takusno, Chrisna Fernand, Bambang Nurdiansyah, Ruth Marbun, Amenkcoy, Uji Hahan, dan lainnya. Kopi yang jadi suguhan utama adalah hasil bumi Wadas dan diolah seutuhnya oleh warga.

Di Yogyakarta, pameran Kopi Wadas diadakan di Kedai Kebun Forum (KKF), selama 20-28 Februari. Banyak karya seniman didominasi gambar petani, kopi, dan jargon-jargon perjuangan warga. Karya milik Bambang Nurdiansyah, contohnya, menggambarkan bagaimana manusia dan tumbuhan bagai satu individu yang tak mungkin dipisahkan. Sementara, karya Chrisna Fernand nampak mencolok, sebab kemasan kopi Wadas ia gambar serupa beberapa kemasan merk semen populer di Indonesia. Sebuah sindiran jitu soal konflik pembangunan lain di Kendeng, Jawa Tengah yang juga memicu penolakan warga.

Jejeran kopi yang kemasannya terdapat karya seniman dibanderol dengan harga Rp400 ribu, sedangkan kopi Wadas tanpa artwork dihargai Rp50 ribu per bungkus. Seluruh hasil penjualan diserahkan pada warga Wadas. Di pameran ini jugalah Cecilia kemudian membeli sebungkus kopi yang menjadi simbol konflik lahan sengit tersebut.

“Pengin kubawa ke tempat temanku brewer kopi, supaya dia cobain kopi Wadas, lalu tahu cerita warga di sana,” ujar Cecilia pada VICE.

Pengunjung pameran Kepada Tanah mengabadikan momen untuk dibagikan ulang di sosial media, tujuan pameran ini adalah untuk amplifikasi isu penolakan tambang di Desa Wadas (photo by Alfian Widi).jpg
Pengunjung pameran Kepada Tanah mengabadikan momen untuk dibagikan ulang di sosial media, tujuan pameran ini adalah untuk amplifikasi isu penolakan tambang di Desa Wadas. Foto oleh Alfian Widi

Pameran Kepada Tanah sengaja mengangkat kopi Wadas sebagai “alat propaganda” yang dianggap sedang punya pasar luas, sembari menceritakan perjuangan warga Wadas, sekaligus membantu perekonomian warga setempat.

Farid Stevy, salah satu seniman yang terlibat, menceritakan proses inisiasi awal pameran ini. “September 2021 lalu, kami [seniman Jaringan Solidaritas] ke Wadas untuk mural, sekaligus kami ingin dengar cerita dari dari warga langsung. Lalu ternyata di sana potensi alamnya banyak sekali dan diolah dengan baik, salah satunya kopi,” ujarnya pada VICE. Kopi, pisang, dan rambutan hasil alam desa Wadas disajikan selama diskusi berlangsung.

Menurut Farid, pameran Kopi Wadas ini adalah bentuk melawan dengan rasa. “Bayangkan, gimana rasanya punya tanah, punya sejarah, punya mbah buyut, punya ibu, tiba-tiba mau ditukar uang?,” kata Farid sembari menggelengkan kepala. “Ini bukan soal uang, ini soal rasa. Kami melawan, kalau mereka [pemerintah] pakai cara kekerasan, kami melawan dengan cara lembut. Mereka merusak, kami merawat”.

Perjuangan warga Wadas penolak tambang dari tahun ke tahun memang semakin intens. Namun suara warga tak digubris pemerintah. Amdal pembangunan Bendungan Bener yang mencangkup penambangan batu andesit lolos Maret 2018. Di tahun yang sama, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, mengeluarkan Keputusan No. 590/41 tahun 2018 tentang persetujuan Izin Penatapan Lokasi (IPL) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo. Penolakan 90 persen warga Wadas yang merupakan petani dan menggantungkan hidup di lahan yang akan ditambang, diabaikan.



Selama memperjuangkan tanah mereka, warga Wadas membentuk tiga organisasi yang bergerak dalam kapasitas masing-masing: Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa), Kawula Muda Desa Wadas (Kamu Dewa), dan Wadon Wadas yang beranggotakan perempuan.

Wadon Wadas, mayoritas sehari-hari bekerja sebagai perajin besek (wadah dari anyaman bambu), merasa perlu turun tangan melawan tambang. Seperti perempuan di Kendeng, Mollo, dan daerah konflik agraria lain, Wadon Wadas berada di garda depan perjuangan warga. Pada 23 April 2021 lalu, saat terjadi kericuhan antara warga dan aparat Wadon Wadas berada di garis depan.

Arofah (23), salah satu anggota Wadon Wadas yang hadir di pameran Kepada Tanah di Yogyakarta, mengaku teriris hatinya, menghadapi fakta bahwa ibunya berkali-kali berhadapan langsung dengan aparat bersenjata. “Trauma dari kekerasan tahun lalu (23/4) aja belum sembuh, ada kericuhan lagi. Saya sedang di Yogya, Ibu menelepon saya sambil menangis-nangis, matanya perih kena gas air mata,” ceritanya. 

DSC06869_edit1mb.jpg
Arofah [kiri], salah satu anggota Wadon Wadas yang menolak tambang andesit, menceritakan pengalamannya pada pengunjung pameran Kepada Tanah. Foto oleh Alfian Widi

Setahun terakhir, kegiatannya sebagai mahasiswi semester akhir di Universitas Nadhatul Ulama (UNU) Yogyakarta terganggu. Energi mengerjakan skripsi ia bagi dengan rasa khawatir terhadap rumah dan keselamatan orang tuanya.

“Orang bilang kami menolak [tambang andesit] karena terprovokasi, tidak benar itu. Kami, Wadon Wadas dan warga dengan sadar menolak tambang. Selama ini kami mengandalkan 27 sumber mata air tidak pernah kering, hasil alam juga menghidupi kami, cukup semuanya,” nada cerita Arofah memelan.

Ia mengaku lelah menceritakan kekerasan yang terjadi berulang-ulang, “Sampai hari ini ponakan saya takut sekali tiap ayahnya keluar rumah. Takut ayahnya digebuki lagi.”

Penolakan warga Wadas terhadap rencana tambang didasari alasan kuat. Tanah yang mereka pertahankan adalah kebun multikultur produktif yang selama ini menghidupi. Berbagai hasil alam, seperti durian, kemukus, petai, cengkeh, temulawak, kopi, aren, kelapa, dan vanili dapat dipanen berkala. Berbagai komoditas yang berbeda-beda itu menjadi penghasilan harian, mingguan, tahunan, bahkan saban dekade bagi warga. Sistem multikultur atau tumpangsari juga berjalan turun temurun, berkelanjutan, dan terbukti mencukupi penduduk Wadas.

Dilansir dari Project Multatuli, survei potensi ekonomi oleh berbagai lembaga swadaya menyebut tanaman di bukit yang akan ditambang punya nilai akumulasi tinggi per tahun: petai (Rp 241 juta), kayu sengon (Rp2 miliar), Kemukus (Rp1,35 miliar), Vanili (Rp266 juta), dan Durian (Rp1,24 miliar). Semua potensi bisa musnah akibat tambang andesit. Tak hanya itu, keragaman satwa di bukit Wadas juga terancam.

Siswanto (31), petani dan pengelola kopi Wadas menyayangkan betul rencana tambang andesit yang dipaksakan pemerintah Jawa Tengah. “Desa kami ini daerah subur, enggak kering seperti yang dinarasikan pemerintah”,

Saat dihubungi VICE via telepon, Siswanto baru saja kembali dari alas yang hanya berjarak beberapa meter di belakang rumahnya. Beberapa tahun terakhir, ia mengurus 2 hektar lahan milik bapaknya yang berisi aneka macam tumbuhan, salah satunya kopi.

“Dulu panenan kopi bapak banyak sekali, tapi sejak sakit saya yang mengurus. Ya memang turun temurun begini mengelola tanahnya kalau di Wadas,” ujarnya.

Siswanto bercerita, sekali setahun panenan kopi di kebunnya bisa mencapai 2 ton. Citarasa kopi Wadas juga menarik. “Di Wadas kan tidak ada khusus kebun kopi. Jadi pohon kopi dekat pohon cengkeh dan kemukus, karena kopi butuh naungan tumbuhan lain. Jadi ada rasa cengkeh sedikit, ada rasa lain sedikit.”

Kini Siswanto was-was pada masa depan alasnya, sebab lahan yang menghidupi keluarganya itu masuk dalam skema tambang andesit seluas 114 hektar. “Harusnya bisa cari alternatif, kalau memang untuk irigasi enggak harus pakai bendungan setinggi itu. Bikin aja irigasi kecil-kecil yang nggak berdampak banyak ke masyarakat. Bendungan itu bukan kebutuhan masyarakat, itu kebutuhan elit, atau entah siapa,” Siswanto tertawa sinis.

DSC06904_edit1mb.jpg
Seorang pengunjung memotret bungkus kopi Wadas yang menampilkan politikus nasional yang terlibat proyek bendungan dan tambang yang mengancam Wadas. Foto oleh Alfian Widi

Kecurigaan Siswanto punya dasar. Sebab menurut dokumen Rencana Induk Pariwisata Terpadu Borobudur-Yogyakarta-Prambanan tertanggal 31 Maret 2020, sebagian calon debit air Bendungan Bener akan khusus dialirkan untuk YIA (Yogyakarta International Airport). Pada 2018 lalu, proyek YIA juga menimbulkan konflik dengan warga pesisir Temon Kulonprogo. Sementara YIA sendiri disiapkan sebagai pendukung pemajuan pariwisata dan ekonomi Yogyakarta-Jawa Tengah. 

Lokasi tambang di atas bukit juga membuat ancaman bencana lain bagi warga. “Nanti kalau longsor, paling-paling solusi pemerintah cuma kasih mi instan sama tenda. Kami enggak butuh itu.”

Di tengah kegamangan akan proyek ini, Siswanto intens menjalin kontak dan jejaring memasarkan kopi serta hasil bumi Wadas lain. Dari waktu ke waktu, ia menyiapkan strategi bersama warga untuk terus mempertahankan tanah yang menghidupinya.

Ia mengaku senang kopi Wadas akhirnya bisa didistribusikan ke publik luas melalui pameran Kepada Tanah. Selama pameran di enam kota, respons publik sangat baik, meski diskusi pameran di Semarang sempat dilarang oleh kepolisian. Selain itu, pameran Kepada Tanah cukup berhasil dalam upayanya menyebarluaskan isu konflik Wadas.

“Bali dan Malang menarik responnya. Di Bali, karena tempat pameran di Seminyak, audiensnya beragam. Sementara di Malang, pameran justru populer di kalangan anak TikTok. Senang sekali bisa menjangkau publik yang bukan itu-itu saja,” kata Bintang Hanggono, salah satu inisiator pameran Kepada Tanah yang juga mengelola koperasi Asta Dipa Lestari yang memasarkan produk lokal hasil tani atau kerajinan komunitas warga dari berbagai daerah, salah satunya Wadas.

Akibat insiden awal Februari lalu, warga selalu was-was akan terjadi kericuhan kembali. Pemasaran Kopi Wadas seperti yang dilakukan pameran Kepada Tanah ini adalah strategi warga melawan tanpa kekerasan.

“Segelas Kopi Wadas itu memberi harapan bagi perjuangan kami, itu salah satu yang kami perjuangkan. Semoga bisa ngopi sambil diskusi soal konflik Wadas ya,” tutup Siswanto yang lalu mengakhiri cerita dengan doa agar tanah leluhur yang memberinya hidup tetap utuh dan lestari.

Foto-foto kebun dan pengolahan Kopi Wadas yang turut dipamerkan dalam pameran Kepada Tanah_ Hidup dan Masa Depan Wadas (Photo by_ Alfian Widi).jpg
Arsip foto kondisi kebun dan proses pengolahan kopi Wadas di salah satu instalasi pameran. Foto oleh Alfian Widi

Kopi di cangkir Cecilia separo habis. Ia mengingat lawatannya ke pameran Kepada Tanah beberapa hari lalu. Ia ingat tuturan Arofah, jargon-jargon di bungkus kopi, besek-besek yang dibuat Wadon Wadas, dan bayangan dinamit yang meledakkan sebuah bukit hijau yang subur. Cerita soal Wadas menyisipkan kekhawatiran dan rasa tidak aman di hatinya.

Sambil menyesap sisa kopi di cangkirnya, Cecliia mengaku bisa memahami alasan warga melawan. Meski 60 km jauhnya, ancaman yang sedang dihadapi warga Wadas sesungguhnya bisa terjadi pada siapa saja, termasuk dirinya.