Views My Own

Renungan dan Harapan Setelah Bangsa Ini Dihajar Pandemi

Kontributor VICE melihat dampak virus Corona pada kita semua di Indonesia seperti episode "Hari Kebalikan" SpongeBob dengan durasi lebih lama. Selain itu, di masa depan kita harus mengubah birokrasi.
Dampak virus corona terhadap bangsa Indonesia di masa depan
Ilustrasi meditasi di rumah, foto via phxere

Dua minggu terakhir merupakan pengalaman yang sepenuhnya baru bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Pandemi virus corona membuat yang tidak biasa menjadi normal serta sebaliknya: menyelamatkan dunia sambil rebahan, kata “positif” yang kini berarti negatif, naik kendaraan sendiri mendadak lebih baik ketimbang naik transportasi umum. Ketika kantor akhirnya menyuruh kita bekerja dari rumah, kita malah rindu sekali bertemu teman kerja.

Iklan

Biasanya “dulu” dan “sekarang” dipisah garis pembatas bernama waktu, nyatanya tidak mesti begitu. Bisa jadi nanti kita punya kosakata “sebelum corona” dan “sesudah corona”, mirip dengan kakek-nenek kita yang membagi masa sebelum dan sesudah Jepang menjajah Indonesia sebagai “jaman normal” dan “jaman edan”. Situasi (di) luar (ke)biasa(an); sebuah krisis besar, ternyata bisa memaksa kita membuat pembedaan bahwa sekarang begini, dulu begitu.

Sebelum kita mengenal nama Covid-19, kita santai saja menghirup udara kotor Jakarta tanpa takut mendadak sesak napas. Saya berani taruhan, dulu tak pernah ada orang yang mencuci tangan sampai 20 detik sambil nyanyi reff lagu “Jablay” sebagai pengukur waktu? Saya yakin semua orang paham bahaya udara kotor dan pentingnya cuci tangan, virus corona hanya memaksa kita paham arti penting dua hal itu lebih cepat daripada yang kita mau.

Akhir tahun lalu, saya merasa cerdas banget karena udah inisiatif beli tiket pesawat pulang ke kampung halaman yang murah untuk lebaran tahun ini. Sekarang, saya kemungkinan besar tidak pulang karena khawatir jadi salah satu pembawa virus tanpa gejala. Untuk manusia dalam perantauan, bertemu langsung dengan orang tua memang sebuah kemewahan, corona memaksa saya merenungi ini lebih dalam daripada yang saya mau.

Banyak dokter dan perawat tinggal di kos saya. Tiap hari mereka hilir mudik, tidak memiliki privilese penggunaan tagar #dirumahaja untuk media sosialnya. Setiap melihat mereka pulang, saya tidak bisa menahan tanda tanya besar dalam hati: apakah mereka sudah bersih dari virus?

Iklan

Apakah dengan kuantitas APD yang serbakekurangan, para garda terdepan ini tidak membawa pandemi ke tempat tinggal kami? Tidak jauh dari kos saya, dokter dan perawat RSUP Persahabatan diusir dari kos karena penghuninya takut ketularan. Di Serpong, warga menolak pemakaman jenazah positif corona karena alasan sama.

Berbaik sangka rupanya sudah jadi kemewahan juga.

Saya tidak memikirkan ini terlalu dalam. Waktu pemerintah Indonesia masih enggak mau mengakui Covid-19 sebagai wabah berbahaya, toh saya sendiri konsisten terpapar kerumunan orang di berbagai tempat. Kalau dipikir lagi, peluang saya menularkan mereka sama besarnya dengan peluang mereka menularkan saya. Buat apa dibikin risau.

Nah, kalau ada yang emang pantas jadi sasaran buruk sangka, jelas itu pemerintah kita. Penanganan amatir oleh jajaran elite pemerintah memaksa saya membuka pintu pemakluman sebesar-besarnya kepada netizen yang marah besar kepada Adamas Belva, Staf Khusus Presiden, yang tiba-tiba datang dari ruang hampa untuk bertanya apa kontribusi hidup kita kepada negara.

Di tengah sistem negara yang hopeless gini, untungnya rakyat Indonesia masih bisa menghibur diri dengan bercanda. Hanya karena video Menkes Terawan berjalan yang diputar terbalik, kita tertawa kencang sekali. Ada pula postingan cerita seorang bapak yang diduga mencukur rambut anaknya kelewat pitak agar si anak malu keluar rumah sehingga mematuhi aturan karantina diri. Kita tidak tahu pasti berita ini benar atau tidak. Yang jelas, kita tertawa kencang sekali. Ternyata bagaimana pun seriusnya situasi, kita selalu punya celah untuk bercanda.

Iklan

Selain posting konten lawak, semua orang juga ramai-ramai mengunggah fotonya meeting via internet. Semua lalu sadar, “Oh, jadi enggak perlu sesering itu ya datang ke kantor?” Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda sampai enggak tahan melangkahi Kemendikbud karena membocorkan hasil rapat pembatalan UN untuk pamer bahwa doi juga meeting online. Setelah corona berakhir, sekarang kita punya alasan kuat mengapa rencana gedung baru DPR dengan ongkos bermiliar-miliar itu enggak terlalu dibutuhkan.

Satu hal paling menyebalkan tentang corona adalah bukti nyata peribahasa bahwa apabila kamu dalam bahaya, sifat aslimu akan kelihatan. Kemarin banget ini, dua ikat kangkung di keranjang belanja teman sekamar saya hilang dicuri pembeli lain di supermarket.

Dalam tingkatan elite, seluruh anggota DPR RI memutuskan patungan tes corona duluan demi menyelamatkan diri dan keluarganya di tengah maraknya penolakan rumah sakit untuk memeriksa masyarakat umum yang gejalanya dianggap belum parah. Sama tidak sensitifnya, pengusaha Jerry Hermawan Lo mendatangkan petugas tes corona langsung ke rumah, merekamnya, dan membagikannya ke media sosial. Isu kelas langsung jadi perbincangan di media sosial.

Doa pamungkas saya di masa-masa pandemi: semoga kebiasaan salaman pakai siku terus dipertahankan setelah corona. Lucu banget ngeliat boomer discover dabbing.