Pendidikan Tinggi

Bantuan Kuliah Nadiem Belum Mengatasi Ketimpangan PTN dan PTS di Indonesia

UKT mahasiswa kampus swasta akan tetap mahal karena banyak PTS minim biaya operasional. Perlu solusi jangka panjang dari Kemendikbud, berupa merger kampus swasta kecil.
Penyebab UKT Mahal Dipicu Ketimpangan Mutu PTN dan PTS di Indonesia
Ilustrasi unjuk rasa gabungan mahasiswa PTN dan PTS di Jakarta pada September 2019. Foto oleh Muhammad Ishomuddin/VICE

Seiring dengan berlanjutnya pandemi COVID-19, sektor pendidikan tinggi mengalami guncangan akibat banyaknya mahasiswa yang kesulitan membayar uang kuliah. Untuk mengatasinya, pemerintah sudah menyiapkan berbagai bantuan dalam bentuk keringanan biaya kuliah.

Pemerintah telah memberikan keringanan biaya kuliah bagi mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) dengan mengeluarkan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020.

Iklan

Tidak hanya, itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim juga mengalokasikan tambahan dana Rp1 triliun untuk bantuan uang kuliah bagi 410.000 mahasiswa baik PTN dan perguruan tinggi swasta (PTS) yang terdampak pandemi COVID-19. Pemerintah mengatakan bahwa dana tersebut dapat menghapus ‘pembeda-bedaan’ antara PTN dan PTS.

Namun, beberapa akademisi seperti Astadi Pangarso, dosen manajemen di Universitas Telkom di Bandung, Jawa Barat mengatakan meskipun kebijakan tersebut merupakan langkah awal yang baik, namun apa yang ditawarkan pemerintah tersebut adalah solusi jangka pendek.

Menurutnya, langkah pemerintah tersebut belum mampu mengatasi ketimpangan antara perguruan tinggi swasta dan negeri. Padahal, data terkini dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan bahwa dari 3.293 perguruan tinggi di Indonesia, PTS menyumbang 3.171 (96 persen) lembaga dan merupakan tempat belajar bagi hampir 4,5 juta mahasiswa—atau 64 persen dari jumlah nasional.

Meskipun demikian, pemerintah tampaknya lebih fokus memberikan perhatian pada pengembangan PTN, menyisakan banyak PTS—tempat mayoritas mahasiswa Indonesia kuliah—dalam kualitas rendah.

Mayoritas PTS dalam kondisi buruk

Kesenjangan antara PTN dan PTS di Indonesia sudah berlangsung lama dan belum ada upaya efektif dari pemerintah untuk membenahinya. Pada tahun 2019, hanya 7 persen anggaran pendidikan tinggi atau sekitar Rp 2,8 triliun dialokasikan untuk PTS.

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa akibatnya PTS kecil di Indonesia tidak memiliki dana riset dan pengembangan teknologi, ataupun kemampuan untuk mengangkat dosen berkualitas tinggi. Hal tersebut menyebabkan kehadiran banyak PTS ini hanya sebagai tempat menyerap mahasiswa baru tanpa diikuti adanya peningkatan kualitas institusi.

Iklan

Patrisius Djiwandono, Wakil Rektor Universitas Ma Chung di Malang, Jawa Timur mengatakan bahwa salah satu alasan mayoritas PTS berkualitas buruk adalah selama ini mereka memiliki dana operasional yang minim. "PTS diasumsikan punya sumber dana tersendiri misal dari yayasan dengan kekuatan finansial tinggi, kemudian di situ timbul pola di mana PTS kurang diperhatikan," ujarnya.

"Tapi pada perkembangannya, kebanyakan PTS terutama yang kecil di daerah, kepayahan karena minimnya dana operasional mereka, yang sebagian besar didapat dari biaya kuliah [tuition fee] mahasiswa. Padahal, mereka juga turut berkontribusi pada pendidikan bangsa."

Rendahnya kualitas pendidikan PTS ditunjukkan dengan fakta bahwa tidak ada satu pun PTS yang masuk di Klaster 1 (terbaik) dalam data terakhir tentang penggolongan Pendidikan Tinggi Tahun 2019 berdasarkan kualitasnya. Hanya beberapa masuk ke dalam Klaster 2, namun ribuan lainnya tersebar di Klaster 3, 4 dan 5.

Data dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) juga menunjukkan bahwa jumlah PTS yang memiliki akreditasi A baru hanya 39 (0,01 persen), dengan 1,668—atau sekitar 50 persen—memiliki akreditasi B dan C. Artinya, sisa setengah PTS di Indonesiaat—au sekitar 1600 institusi—kualitasnya lebih buruk dari akreditasi C.

Selain harus menghadapi persaingan dengan PTN untuk mendapatkan mahasiswa baru yang selama ini menjadi semakin ketat, PTS kecil di daerah saat ini juga terpukul kondisi keuangannya akibat COVID-19.

Iklan

Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI), misalnya, mencatat bahwa 70 persen dari PTS tersebut—terutama PTS kecil di daerah rural—terancam semakin mengalami kesulitan pendanaan yang serius di semester depan dikarenakan banyak mahasiswanya terdampak pandemi dan kesulitan membayar.

Perlu solusi jangka panjang

Menurut Astadi, sejauh ini solusi terbaik untuk mengatasi masalah banyaknya PTS kecil dengan kemampuan finansial lemah, adalah menggencarkan program penggabungan PTS yang waktu itu diusulkan oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada tahun 2018. Sayangnya, proses merger tersebut masih berjalan lambat.

"Apakah tidak lebih baik jika yg kecil-kecil ini dengan syarat tertentu jadi satu saja?" katanya.

"Harapan saya Kemendikbud sebagai regulator bisa mempercepat merger dan akuisisi, sehingga PTS yang ada itu organisasinya baik dan bisa bertahan jangka panjang."

Analisis kebijakan dari tim peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), misalnya, menemukan bahwa penggabungan PTS dapat menghemat anggaran dan meningkatkan efisiensi manajemen.

"Tapi tentu merger ini harus memperhatikan bahwa di baliknya ada yayasan yang kuat, sehingga negosiasi antara Kemendikbud dengan tiap yayasan ini harus ada aturannya apabila bergabung, bagaimana kepemimpinan dan skema pengelolaan dananya memang nanti tantangan tersendiri."

Sembari menggencarkan proses merger PTS, Patrisius mengingatkan pemerintah juga harus melakukan upaya lain untuk meringankan beban PTS kecil yang kesulitan, utamanya terkait infrastruktur teknologi.

Iklan

“Juga perlu pemikiran lebih lanjut bagaimana kalau pandemi ini berkepanjangan. Misalnya, penyusunan modul digital yang dikelola negara yang bisa diakses berbagai PT,” katanya.

Menurutnya, hal ini akan sangat membantu PTS di daerah rural yang kesulitan menyediakan sumber pembelajaran daring akibatnya minimnya sumber daya teknologi maupun dana untuk mengaksesnya.

The Conversation

Luthfi T. Dzulfikar adalah Associate Editor The Conversation

Patrisius Djiwandono Wakil Rektor Bidang akademik Universitas Ma Chung Malang, dan Astadi Pangarso Dosen Manajemen di School of Communications and Business Telkom University diwawancarai untuk penulisan artikel ini.

Artikel ini dipublikasi ulang dari The Conversation berdasarkan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.