Game

Game 'Flight Simulator' Simpan Data Zona Konflik dan Kamp Konsentrasi Berbagai Negara

Penyelidik open source mengevaluasi kemampuan Microsoft Flight Simulator dijadikan sumber informasi intelijen tentang kawasan terisolir di dunia, seperti Xinjiang di Cina.
Microsoft Flight Simulator Bisa dipakai meneliti zona konflik dan kamp konsentrasi di dunia
Sumber Foto: Microsoft 

Microsoft Flight Simulator menawarkan pengalaman berkeliling dunia tanpa perlu meninggalkan rumah. Bermodalkan citra satelit dan fotogrametri 3D Bing Maps serta teknologi machine learning, para pemain bisa mengunjungi Menara Eiffel atau menjelajahi pulau pribadi Jeffrey Epstein dari atas pesawat.

Iming-iming Flight Simulator sangat menjanjikan, sampai-sampai penyelidik yang bekerja menggunakan intelijen open source membayangkan potensi game ini sebagai alat pencari informasi baru buat mereka. Seandainya mereka terbang ke Xinjiang, apakah kamp konsentrasi Muslim Uighur akan kelihatan di dalam game?

Iklan

Giancarlo Fiorella adalah jurnalis investigasi yang bekerja untuk kolektif riset dan jurnalis open source Bellingcat. Kemampuan game merender bangunan tiga dimensi sukses menarik perhatian Fiorella. Sebagai seorang gamer, dia bakalan senang banget jika Flight Simulator bisa memudahkan tugas risetnya.

“Jika simulasi dan kemampuan render bangunan 3D-nya memang sebagus itu, maka mungkin saja gamenya bisa membantu pelacakan geolokasi suatu video atau foto,” Fiorella memberi tahu Motherboard lewat telepon.

Bellingcat menggunakan citra satelit, alat pencarian gambar terbalik, log penerbangan dan informasi yang tersedia secara luas untuk melaporkan berita dan menyelidiki kasus kejahatan.

Pada 2017, tim Bellingcat mengumpulkan postingan media sosial komandan militer Libya Mahmoud Mustafa Busayf al-Werfalli untuk membuktikan dia terlibat dalam kejahatan perang. Mahkamah Pidana Internasional menerbitkan surat penangkapan al-Werfalli berdasarkan bukti-bukti yang dipaparkan Bellingcat.

“Google Earth Pro sudah jadi alat geolokasi andalan kami,” tutur Fiorella. Aplikasi canggih ini dapat merender peta topografi 3D bumi. Lanskap pegunungan dan lembah ditampilkan lebih realistis pada Google Earth Pro. “Kekurangannya ada di bangunan. Jika simulasi ini merender bangunan secara akurat, maka kita bisa mengetahui detail-detail suatu tempat karena sudah memahami seperti apa tata kotanya.”

Bangunan-bangunan dalam Flight Simulator ditampilkan secara akurat, bahkan yang ada di zona konflik sekalipun. Peneliti Bellingcat Aric Toler memamerkan di Twitter, lahan berlubang bekas artileri yang ditemukan dekat Donbas di Ukraina. Game ini juga merender bangunan 3D di sekitar lokasi “pangkalan militer Rusia yang masih baru” hanya beberapa kilometer dari perbatasan Ukraina.

Iklan

Fiorella juga mengunggah hasil penjelajahannya ke Twitter. Pesawatnya melintasi zona konflik, pangkalan militer, kamp penahanan dan daerah-daerah kontroversial secara geopolitik. Dia menyaksikan reruntuhan gedung dan beberapa bangunan yang masih berdiri di timur laut Damaskus.

Dia lalu terbang ke Korea Utara. Di sana, Fiorella melihat fasilitas latihan militer yang berada di Semenanjung Hodo. Twitnya menunjukkan sejumlah kamp Uighur juga muncul dalam Flight Simulator.

Hasilnya memang mengesankan, tapi masih kurang akurat buat dipakai investigasi Bellingcat.

“Saya punya dua alasan kenapa tidak mau menggunakan game sebagai alat pencarian geolokasi,” katanya. “Pertama, masih ada yang salah. Saya melihat lapisan dasar sebuah bangunan dari banyak contoh, tapi entah kenapa game tidak mengenalinya sebagai bangunan sehingga tidak dirender.”

“Ada juga bangunan yang dirender tapi tingginya tidak akurat,” imbuhnya.

Ini adalah kejadian umum dalam game, mengingat sebagian besar dilihat dari ketinggian. Di pulau Jeffrey Epstein, banyak detail halus bangunan yang tidak dirender Flight Simulator. Istana Buckingham dalam game lebih mirip komplek perumahan. Untuk bangunan kurang dikenal, banyak yang bentuknya cacat ketika dilihat dari jarak dekat.

Tak jelas kenapa bisa seperti itu, tapi mungkin karena kombinasi greebling AI bukan untuk dilihat dari dekat, kurangnya fotogrametri di lokasi tersebut dan kesalahan data. Di pinggiran Australia, misalnya, monumen obelisk 212 lantai menjulang tinggi di antara gedung-gedung perkotaan. Alasannya? Seorang pelajar tak sengaja mencatat jumlah lantainya “212” ketika mengedit data open source jalanan kota.

Iklan

Fiorella menemukan kesalahan lain dalam game. Konsentrasi kamp di Tiongkok banyak yang masih baru, dan gambar satelit yang tersedia di Bing masih versi lama.

“Kamp pertama yang saya kunjungi sudah dibangun. Tapi ketika saya mengecek dalam game, lahannya kosong. Saya lalu memeriksa Bing [dan] gambarnya sudah lama sekali. Kampnya belum dibangun,” ujarnya. “Bukan berarti Microsoft menyensornya. Saya mengunjungi tempat lain yang sudah ada sejak lama, dan muncul di game.”

Fiorella memperhatikan bahwa Flight Simulator merender beberapa bangunan yang disensor Bing Maps. Dia lalu terbang ke pangkalan Angkatan Laut di Lorient dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Cattenom. Kedua lokasi di Prancis itu agak disensor piksel pada Bing, tapi bangunannya dirender dalam game. “Gamenya mungkin mengambil gambar satelit yang tidak disensor, makanya ada bangunan di sana,” lanjutnya.

Microsoft menolak permintaan Motherboard untuk berkomentar. Mereka hanya mengindikasikan bahwa ketika suatu situs diburamkan atau disensor pada Bing, citra satelit menggunakan teknik prosedural untuk mengisi ruang kosong.

Fiorella menyimpulkan Flight Simulator memang seru, tapi belum cocok dijadikan alat jurnalistik. “Tidak dapat diandalkan,” tegasnya. “Di tempat-tempat yang citra satelitnya masih sangat minim, kita akan membuat kesalahan jika hanya bergantung pada apa yang dilihat dalam Microsoft Flight Simulator dan mengira AI merendernya dengan akurat padahal tidak.”

Mungkin dia akan menggunakan Flight Simulator untuk memahami lanskap suatu kota, tapi tidak untuk membuat analisis intelijen. “Ide game ini keren, tapi tidak cocok buat pekerjaan kami yang mementingkan akurasi.”

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.