Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Berikut Panduan Bersikap dari Pakar Pidana, Andai Kalian Jadi Saksi KDRT

Umumnya orang Indonesia bingung dan memilih pura-pura tak tahu saat terjadi KDRT. Video kekerasan domestik viral di Twitter menyadarkan kita, peran aktif saksi amat dibutuhkan korban.
Peran Saksi KDRT Menurut Ahli Hukum Pidana Indonesia
Foto ilustrasi KDRT oleh Sydney Sims/ via Unsplash

Apa yang pertama kali Anda lakukan saat mengetahui ada kekerasan antarmanusia terjadi di hadapan Anda? Kalau Anda tidak bisa langsung menjawab, kita sama.

Sebuah unggahan video berisi dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) viral di Twitter, Senin (31/8) kemarin. Dalam video yang diambil dari akun TikTok @zeivira tersebut, terekam pengunggah melihat dan mendengar kasus kekerasan terjadi di salah satu hotel. Bingung harus gimana, ia menelepon satpam hotel.

Iklan

Pengunggah video menduga ada seorang perempuan dicekik leher dan dibenturkan kepalanya di dinding oleh orang lain yang bersamanya. Pada satu momen, korban sampai berteriak “Tolong, Pak, saya disiksa” kepada satpam yang mencoba masuk ke kamar hotel.

Video tersebut segera jadi perbincangan. Per 1 September petang, video sudah dibagikan hampir 50 ribu kali. Setelah viral, @zeivira melakukan klarifikasi bahwa sampai sekarang dia enggak tahu pasti apa yang terjadi di kamar hotel tersebut. Salah satu spekulasi liar netizen, pelaku kekerasan menyiksa perempuan untuk meningkatkan gairah seksual.

Terlepas dari apa pun alasan kekerasan tersebut, ada poin yang patut dibahas lebih lanjut. Dalam videonya, saksi terlihat bingung saat mendapati ada kekerasan terjadi di hadapannya. Saksi punya waktu sempit untuk bertindak atau tidak bertindak. Bagaimana kita menghadapi situasi ini biar enggak bikin masalah tambah runyam? Apa yang sebaiknya kita lakukan kalau mendadak jadi saksi kekerasan, khususnya KDRT?

VICE bertanya kepada Kepala Advokasi Lembaga Bantuan hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus Simamora terkait panduan menjadi saksi tindak kekerasan. Nelson menegaskan, kepentingan pertama dan utama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan korban.

“Pertama, kita harus mengungsikan korban. Sama kayak kecelakaan, yang pertama dilakukan saat melihat kejadian adalah bawa korban ke rumah sakit, bukan gebukin yang nabrak. Kalau dalam konteks video viral itu, kita baiknya datang ke sana, ngecek. Bikin alasan supaya bisa masuk selamatkan korban,” ujar Nelson kepada VICE.

Iklan

Saran dari Nelson, sebisa mungkin jangan pukul balik pelaku seberapa pun kita kesal agar terhindar dari kriminalisasi. “Di negara demokrasi, enggak ada tampol (tampar) dibalas tampol. Kalau ditampol, ya ke kantor polisi, lapor, pelaku dihukum. Jadi, hukumannya memang merampas kemerdekaan pelaku, bukan lantas disiksa gantian. Makanya, jangan pukul balik pelaku, sering kan kasus dipukul balas mukul, malah korban yang jadi tersangka,” tambah Nelson.

Kalau terlalu takut untuk konfrontasi langsung, saksi bisa menghentikan kekerasan dengan menghubungi penjaga ketertiban umum setempat. Nelson berujar, sudah kewajiban kita sebagai warga negara untuk melaporkan pelaku agar ditindak secara hukum. Jadi, keputusan @zeivina melaporkan dugaan penganiayaan kepada satpam hotel sudah tepat.

Ada pula mekanisme perlindungan saksi yang diatur pada UU Perlindungan Saksi dan Korban. Apabila merasa terancam, saksi bisa dijaga di tempat perlindungan seperti rumah aman. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ditunjuk untuk menjalankan tugas ini.

Sayang, mekanisme pelaporan warga agar aparat bertindak cepat menindak kekerasan punya masalah krusial: kita enggak punya hotline aparat yang siap sedia 24 jam. Padahal idealnya kita punya jaringan telepon darurat macam 911 di luar negeri kalau-kalau mau menghubungi polisi, melaporkan tindak kriminal di depan mata. Ada sih nomor panggilan darurat 110. Namun, ya kerap tidak berfungsi.

“Saya pernah berniat melaporkan kecelakaan tunggal di depan saya dengan menelepon polisi jam satu pagi, itu enggak nyambung. Mau Polres Jakarta Barat, Polsek Kalideres, Polres Tangerang, enggak ada yang nyaut. Negara tuh harusnya hadir dalam kasus-kasus kayak gini. Mengapa tidak [ada]? Banyak alasan, salah satunya korupsi,” beber Nelson.

Tapi, itu tidak membuat kita jadi gentar memanggul peran sebagai saksi aktif KDRT. Percayalah bantuan sekecil apapun amat penting bagi korban kekerasan domestik. Kita perlu berhenti menganggapnya urusan rumah tangga orang lain.