Menelusuri Penyebab Harga Tanaman Hias Kelas ‘Sultan’ Tembus Belasan Juta Rupiah

Tanaman Variegata

Sepanjang tahun ini, hampir semua orang di seluruh dunia sering terserang demam. Tapi demam yang dimaksud bukanlah gejala penyakit, melainkan keranjingan mengikuti tren-tren yang ada saat ini. Kalian pasti sudah akrab dengan kopi dalgona yang menghiasi Instastory awal tahun kemarin, atau atlet sepeda dadakan yang meramaikan jalanan. Mengoleksi tanaman hias pun kembali menjadi aktivitas favorit.

Awalnya mungkin hanya satu dua saja yang suka menanam, tapi sekarang pot-pot bunga dan dedaunan cantik bisa ditemukan di setiap rumah. Animo masyarakat semakin menggila begitu melihat koleksi “plantfluencer” di Instagram. Permintaan yang melonjak secara signifikan pada akhirnya membuat pedagang menaikkan harganya, atau lebih buruk lagi menyebabkan pencurian tanaman marak terjadi di sejumlah daerah.

Videos by VICE

Tren ini sebenarnya sudah ada sejak dulu kala, tapi jenis tanaman yang digandrungi berubah-ubah seiring pergantian waktu. Puluhan tahun lalu, jurnalis Susan Orlean menyoroti demam anggrek yang melanda Amerika Serikat. Banyak orang pada masa itu menghalalkan segala cara untuk mendapatkan bunga yang jadi primadona. Kurang lebih mirip seperti yang terjadi di sini.

Masihkah kalian ingat dengan gelombang cinta? Harga emas tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tanaman yang booming 13 tahun silam. Tak sedikit orang memburu gelombang cinta untuk kemudian dijual lagi. Kalian bisa jadi miliarder instan.

“Kegiatan mengoleksi bagaikan mabuk cinta,” tulisnya. “Begitu kalian mulai mengumpulkan makhluk hidup, kalian mengejar ketidaksempurnaan. Kalaupun kalian berhasil memilikinya, tidak ada jaminan benda itu akan abadi dan tetap sama seperti saat pertama kali ditemukan.”

Orang-orang rela menunggu lama dan merogoh kocek lebih dalam ketika tanaman yang diincar sulit ditemukan. Beberapa bahkan tak ragu memasang bid tinggi dalam acara lelang. Pekan lalu, Monstera deliciosa ‘Thai Constellation’ dilelang seharga Rp6 juta dari toko tanaman hias online @urbanlittlegarden. Ogah rebutan sama orang lain? Kalian hanya perlu mengeluarkan Rp18 juta untuk membelinya.

Monstera populer sejak beberapa tahun lalu, tapi namanya naik daun setelah pencurian aglonema ramai diberitakan. Dari ke-48 spesies, jenis yang paling diminati di Indonesia adalah Monstera adansonii, Monstera deliciosa dan variegated Monstera (semua jenis Monstera yang variegata). Monstera adansonii sering dijuluki janda bolong karena bentuknya yang unik.

Berasal dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah, tanaman hias ini memiliki daun berwarna hijau dengan lubang-lubang oval di bagian tengahnya. Lalu ada juga variegata. Variasi ini muncul pada banyak tanaman lain, tapi Monstera variegata punya daya tariknya sendiri.

Tanaman variegata umumnya ditandai oleh warna daun belang hijau dengan kuning, putih atau pink. Situs berita Wadena Pioneer Journal menjelaskan selain karena kekurangan klorofil, perubahan warna juga disebabkan oleh mutasi pada sel-sel tanaman. Tak ada jaminan anakannya akan memiliki kelainan genetik yang sama. Sungguh sangat tidak disangka-sangka bahwa daun cacat inilah yang telah menaikkan status Monstera variegata jadi “tanaman sultan”.

Pencinta dan penjual tanaman hias Andriani Tangku Mas’urai mengungkapkan harga janda bolong biasa masih cukup terjangkau. Apabila sebelum pandemi laku Rp10-50 ribu per pot, tanamannya sekarang dibanderol mulai dari Rp15 ribu per daun. Lain ceritanya dengan janda bolong variegata. Harganya fantastis—bisa mencapai belasan hingga puluhan juta per daun. Selain karena coraknya yang tidak biasa, Andriani mengatakan tanaman ini langka dan susah-susah gampang perawatannya.

“Biasanya tanaman itu semakin lambat pertumbuhannya (maksudnya tidak mudah dikembangbiakkan) dan semakin susah perawatannya, akan semakin mahal harganya,” jelas Andriani.

Berdasarkan penelusuran VICE di berbagai marketplace online, satu pot Monstera adansonii variegata menyentuh angka Rp100 juta. Namun, Klara Sonia selaku Plants Operational Manager untuk kafe dan toko tanaman Living with LOF mengatakan harganya cukup tidak masuk akal.

“[Monstera adansonii variegata] memang rare plant,” ujarnya, “dan masih jarang banget [ditemukan]. Kalau segitu [ukurannya], aku bilang masih kemahalan.”

Pada hakikatnya manusia mudah iri dan tidak mau ketinggalan dari orang lain. Ketika melihat ada yang memiliki sesuatu, kebanyakan dari kita mempunyai keinginan untuk memilikinya juga. Sebagaimana dikatakan “urban gardener” Ida Amal yang menggerakkan komunitas Indonesia Berkebun, jika “ditelusuri terkait dengan gaya hidup dan status sosial mulai dari WhatsApp sampai Facebook, muncul tren bangga dengan tanaman yang dimiliki. Kondisi sosial ini yang membuat orang lapar mata dan terlihat wah serta mengikuti tren, [lalu] memburu tanaman-tanaman tersebut.”

Luqman Tifa Perwira merasakan sekali efeknya. Lelaki yang tinggal di Yogyakarta telah bercocok tanam sejak 2007 ketika dia masih di bangku SMA. Luqman merawat tanaman hias bukan untuk mengikuti tren, meski pada saat itu orang sedang ramai-ramainya memburu Anthurium. Tahun demi tahun berganti dan akhirnya dia lulus kuliah.

Dia tak lagi sempat mengurus tanaman di tengah kesibukan kerja yang menyita waktu. Baru pada akhir 2017 dia memutuskan untuk menekuni kembali dunianya. Kepada VICE, Luqman mengaku “suka melihat dekor-dekor rumah yang simple namun selalu ada unsur alami, yaitu tanaman di sana”. Muncul keinginan untuk mempercantik rumah dengan tanaman hias.

Luqman mengelola akun Instagram @folia.houseplant yang dibuat pada September 2018. Dia mendokumentasikan aktivitas berkebun serta berbagai macam tanaman yang dimilikinya—mulai dari Sansevieria (Dracaena trifasciata), Philodendron hingga Monstera deliciosa. Saat pertama kali menggunakan Instagram, pengunjung akun @folia.houseplant tidak ramai tapi tidak juga sepi.

Follower barunya mulai berdatangan di awal pandemi, baik untuk sekadar melihat-lihat koleksi Luqman maupun meminta saran mengurus tanaman. Akun yang tadinya diikuti 1.000 orang pada Maret, sekarang memiliki lebih dari 36.000 pengikut. Lelaki itu menjadi lebih aktif mengedukasi para pekebun baru seputar tanaman dan tata cara perawatannya.

Semakin lama, dia semakin sering menerima curhatan dari pengguna lain. Beberapa merasa minder karena melihat koleksi teman atau tetangga lebih keren. Mereka akhirnya terdorong membeli tanaman yang sama, tak peduli harganya selangit. Itulah mengapa Luqman berulang kali mengingatkan para pengikutnya untuk membeli tanaman yang mereka sukai saja dan sesuai dengan kemampuan ekonomi.

“Membeli tanaman karena kita memang suka dan sesuai kemampuan lebih menenangkan. Kalau membeli tanaman hanya semata mengikuti tren, dan karena panas melihat postingan teman arisan, sungguh akan melelahkan,” tulisnya dalam postingan tentang Monstera yang sedang ngetren.

Media sosial berperan besar dalam menentukan tren tanaman hias. Hal ini bisa dibuktikan oleh tagar-tagar nama tanaman dalam bahasa lokal, seperti janda bolong dan keladi putih, yang sekarang memiliki ribuan hingga puluhan ribu postingan di Instagram. Alhasil, penjual pun mengikuti harga pasar. Tanaman yang harga awalnya terjangkau juga ikutan naik. 

Blogger Titi Akmar yang merupakan pencinta tanaman setuju bahwa media sosial, khususnya Instagram, dapat meningkatkan permintaan akan suatu tanaman terlebih setelah publik figur memamerkan tanaman mereka. Perempuan yang akrab disapa Titiw menerangkan, “ sangat memengaruhi di kedua belah pihak, dari pihak penjual dan juga pembeli. Kalau dari penjual, mereka jadi tahu tanaman-tanaman tertentu permintaannya banyak sehingga mereka akan mencari tanaman itu lebih banyak lagi.”

Menurutnya, suatu tanaman bisa menjadi mahal apalagi kalau bukan karena media sosial. Tanaman semacam Caladium yang dulunya hanya berapa belas ribu saja, sekarang bisa dijual ratusan ribu atau bahkan hampir jutaan karena orang-orang terkadang menginginkan apa yang selebgram atau influencer punya.

Pemilik akun Instagram @kebunnya_bro kaget mengetahui tanaman liar yang mudah ditemukan kini dijual mahal. “Yang tidak diduga harga untuk tanaman-tanaman yang masuk kategori ekonomis kini malah mahal, naik kasta. Syok juga sih, tapi ya mau gimana, hukum ekonomi berlaku,” tutur lelaki bernama Nova YP. “Saya termasuk yang beruntung sudah koleksi jenis-jenis tanaman ‘sultan’ sebelum pandemi. Jadi sempat shock juga kalau ingat dulu beli seharga X sekarang harganya 10 kali lipat.”

Walaupun satu tanaman bisa seharga rumah atau mobil mewah, kenyataannya masih ada saja yang tertarik memilikinya. Banyak hal mendasari keputusan seseorang mengeluarkan puluhan—kalau tidak ratusan—juta untuk satu pot tanaman.

Pertama, mereka adalah kolektor yang sudah terbiasa merawat tanaman. Saking cintanya dengan tanaman itu, harga tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Yang terpenting adalah mereka bisa mendapatkan tanaman langka tersebut. Mereka akan menabung kalau memang perlu.

“Kolektor, apalagi yang tajir, akan mengejar tanaman yang menjadi wishlist. Mereka akan rela mengeluarkan duit jutaan untuk dapat tanaman yang mereka suka,” ujar Andriani.

Kemudian ada yang ingin pamer, padahal mereka bisa saja tidak begitu cinta tanaman. Ida berpendapat, “Orang yang mau membeli mahal biasanya karena status sosial […] yang beli hanya yang punya duit jika harganya tidak masuk akal.”

Sisanya adalah mereka-mereka yang melihat peluang bisnis pada tren tanaman hias. Selama ada kesempatan, mereka akan memanfaatkan momen sebaik-baiknya.

Dua kali terbawa arus, Ida mengutarakan tak mau lagi terjerumus dalam fenomena ini. Dia menyadari suatu saat nanti tanaman hias bisa menjadi tak berharga setelah pamornya meredup dan jumlahnya diperbanyak. Dia tidak mempermasalahkan apabila orang ingin mencoba bercocok tanam, mengingat aktivitas ini memiliki nilai positif yaitu membuat rumah lebih asri. Ida paham mereka berkecimpung di dunia pertanaman sebagian besar untuk mengusir kejenuhan dan membutuhkan aktivitas baru selama di rumah saja. Yang kurang dia sukai adalah ketika penjual mematok harga yang tidak wajar.

Intinya, siapa saja bebas mengoleksi tanaman hias apa pun motivasi mereka. Mengikuti tren bukanlah masalah asalkan mereka serius merawat tanaman yang sudah dibeli. Silakan jika ingin membeli tanaman langka dengan harga selangit, tidak ada yang melarang. Namun, pastikan kalian memang mampu membelinya. Jangan sampai tanaman hias itu menjadi sumber masalah baru atau ditelantarkan begitu popularitasnya mulai padam.

“Yang saya khawatirkan, mereka menelantarkan tanaman kalau nanti kondisi sudah normal. Semoga kalau sudah telanjur cinta, mereka bisa tetap merawat tanaman-tanamannya biarpun nanti sudah pada sibuk,” Andriani menyimpulkan penuh harap.