LGBTQ di Indonesia

Podcast Deddy Undang Pasangan Gay Diserang karena Kuatnya Asumsi 'LGBTQ Menular'

Deddy Corbuzier pernah mengundang figur lain dari komunitas LGBT, mengapa kini serangannya dahsyat? Berikut analisis dari pengamat isu yang senantiasa sensitif di Indonesia tersebut.
Deddy Corbuzier turunkan video wawancara lgbt diserang karena maraknya homofobia di indonesia
Unjuk rasa komunitas keagamaan di Kota Bogor, Jawa Barat, menolak LGBTQ pada 9 November 2018. Foto oleh Sandika Fadilah Rusdani / AFP

Video yang memicu kegaduhan itu diunggah di YouTube Deddy Corbuzier pada 7 Mei 2022. Judulnya bombastis, diketik sesuai panduan estetika judul yang ramah algoritma YouTube. “TUTORIAL JADI G4Y DI INDO = PINDAH KE JERMAN (tonton sblm ngamuk) RAGIL AND FRED -Podcast”. Setelah ditonton jutaan kali dan jadi trending topic lebih dari 24 jam, siang kemarin (10/5), Deddy menurunkan video itu dari etalase YouTube-nya. 

Iklan

I'm taking down the video. But I still believe they are human. Hope they will find a better way. Sorry for all,” tulis Deddy di Instagramnya yang dalam tiga hari terakhir kehilangan 8 juta pengikut. Ia juga kehilangan 200 ribu pelanggan di YouTube. Platform yang terakhir ini adalah mata pencaharian utama mantan pesulap dan pembawa acara TV itu. Diperkirakan, Deddy meraup Rp7 miliar tiap bulan hanya dari AdSense akun YouTube-nya. 

Bersamaan dengan diturunkannya video tersebut, Deddy meminta maaf dan mengunggah video klarifikasi bersama pendakwah Gus Miftah. Deddy berulang kali menekankan ia bukan pendukung LGBT dalam video terbaru itu.

Huru-hara ini membuat siapapun yang akrab dengan podcastnya bertanya-tanya, mengapa kali ini podcast Deddy Corbuzier diserang sedemikian rupa. Pasalnya, ini bukan kali pertama ia mengundang figur dari spektrum LGBTQ. Transeksual Lucinta Luna dan Millen Cyrus juga pernah datang ke acara bernama Close the Door. Tak satu pun yang sampai memancing tudingan Deddy pro-LGBT maupun gerakan unsubscribe

Iklan

Jadi, apa yang berbeda dari Ragil? Sama seperti Lucinta dan Millen, ia pesohor di media sosial. TikTok-nya diikuti 3,8 juta akun. Jika kamu aktif di dunia maya, ada 20 persen kemungkinan kamu pernah melihat video ring light challenge Ragil yang menyebar lintas platform. Di medsos pula Ragil terang-terangan dengan identitasnya sebagai homoseksual. Apa dong yang membuat respons kepada Ragil berbeda dari Lucinta dan Millen?

VICE coba menanyakan misteri reaksi kelompok anti-LGBTQ yang besar kali ini kepada Krishna, seorang rekan queer yang berdomisili di Jakarta. Menurutnya, respons negatif tak terjadi sebelumnya, salah satu faktornya lantaran identitas Lucinta dan Millen sudah selesai jadi kontroversi.

“Aku akan jawab dengan asumsi pribadi. Luna dan Milen, mereka lebih familier di televisi dan orang-orang sudah tahu siapa mereka, jadi keributan soal identitas mereka sepertinya sudah lewat. Karena kalau tidak salah, masyarakat sudah sempat meributkan soal identitas mereka. Saat ini mereka sudah berusaha mengubah citra diri sebagai orang yang baik, jadi ketika muncul, masyarakat tidak kaget,” ujar Krishna.

“Di podcast Deddy, menurutku salah satu yang membuat keributan adalah judulnya. Di episode Milen dan Luna, judulnya tidak sebombastis judulnya Ragil. Selain itu, Ragil sendiri di medsos bukan orang yang menjadi darling. dia banyak dihujat karena ekspresi femininnya dan bagaimana dia mengungkapkan penerimaan diri dan mengapa orang lain tidak boleh membenci. Banyak masyarakat menganggap ini sebagai agenda untuk menormalkan dan mengampanyekan LGBT dibandingkan menyebarkan pesan positif,” tambahnya.

Iklan

Menurut Krishna, advokasi yang dilakukan Ragil tak dilakukan Luna dan Millen. Karena itu, masyarakat cenderung kalem menerima keduanya. “Masyarakat menganggapnya mungkin ya sudah, dia seperti itu dan biarkan aja dia kayak gitu, toh dia juga enggak ngajak-ngajak.”

Aku merenungkan jawaban Khrisna dan sepakat. Di Indonesia, masih umum anggapan bahwa seorang gay bisa mengajak seorang straight agar ikutan jadi gay. Kadang orang memakai istilah “jadi ngondek” atau “jadi belok” untuk menggambarkannya. Anggapan ini secara ilmiah sebetulnya keliru. Sejak setengah abad lalu, dimulai oleh American Psychiatric Association pada 1973, dunia kesehatan sudah menyatakan homoseksualitas bukan gangguan maupun penyakit. 

Pandangan bahwa gay itu menular juga menyederhanakan perbedaan-perbedaan antara orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik seks. Fokusnya selalu memukul rata LGBTQI sebagai pelaku seks sesama jenis. Fokusnya bukan pada identitas diri, melainkan semata hubungan kelamin.

Bayangan tentang homoseksualitas menular itu bahkan ditunjukkan Deddy sendiri. “Bisa enggak lu jadiin gue gay?” tanya Deddy kepada Ragil dalam video yang kini sudah dihapus. Di video klarifikasinya bersama Gus Miftah, ia menjelaskan alasannya bertanya demikian. Alasan yang tidak simpatik. “Makanya pertanyaan gua pertama ke mereka adalah lu bisa ga bikin gua jadi gay. Kenapa? Karena gua ga mau,” ujar Deddy.

Iklan

Deddy jelas tidak sendiri. Hingga 2019 lalu, pejabat lapas di Jabar masih meyakini napi bisa jadi gay karena tidur dempet-dempetan, dan Seksi Pemberantasan Penyakit Menular Dinkes Tulungagung sempat-sempatnya menuding ada banyak remaja gay di kabupaten itu karena ortu mereka melarang pacaran.

Aku kembali bertanya kepada Krishna. “Sopan enggak sih bertanya ‘Bisa enggak lu jadiin gue gay?’ ke seorang gay?” Ia memberi jawaban panjang yang jernih.

“Seksualitas adalah hal yang fluid. Seksualitas manusia tidak hanya berdiri di salah satu kutub. Manusia memiliki hasrat untuk memuaskan rasa penasaran dan menjelajahi siapa diri mereka. Kejadian-kejadian di mana seseorang menyadari bahwa seksualitas mereka ternyata tidak sesuai dengan yang mereka yakini, adalah orang-orang yang sudah menjelajahi dirinya sendiri.

“Pengalaman menjelajahi ini bisa terjadi karena ada rasa penasaran sehingga seseorang tergerak untuk mencari tahu, atau karena mereka berinteraksi dengan seseorang dari komunitas LGBT yang menyadarkan suatu hal dalam diri mereka. Nah, ini menurutku jadi senjata untuk orang-orang untuk menyerang komunitas LGBT.

Iklan

“Jika pertanyaan ini ditanyakan ke seseorang yang belum menerima dirinya sendiri, mungkin yang terjadi mereka akan makin tertekan karena teringat bahwa masyarakat melabeli mereka sebagai orang penyakitan yang dapat menularkan virus LGBT.

“Jika pertanyaan ini ditanyakan ke saya, seseorang yang sudah menerima diri sendiri meskipun belum terbuka ke orang lain, maka jawabannya adalah tidak bisa. Tapi, aku bisa membantumu untuk belajar tentang keragaman gender dan seksualitas yang dapat mengajakmu menjelajahi spektrum gender, di perjalanan ini kamu mungkin akan tahu siapa dirimu sebenarnya.”

Prihatin rasanya melihat kebencian pada komunitas LGBT tampaknya bersumber dari pengetahuan yang kurang. Aktivis queer Nurdiyansah Dalidjo mengatakan kepadaku, akses pengetahuan terhadap keberagaman seks, identitas, dan HAM memang privilese. Tapi kurangnya pengetahuan itu tak harus dihakimi. Memakai pendekatan inklusif, kata Nurdiyansah, yang harus dilakukan adalah edukasi dan promosi nilai dan prinsip HAM agar publik bisa menghargai keberagaman.

Di Instagram, Deddy Corbuzier menjelaskan dirinya tidak “mendukung kegiatan LGBT”, tiadak jelas apa artinya, serta menyebut “mereka menyimpang”. Ia lalu menutup permintaan maaf dengan doa agar orang LGBT “will find a better way”. Tampaknya ini doa agar komunitas LGBTQ kembali ke “jalan yang benar”. Aku kembali bertanya kepada Krishna bagaimana rasanya jika didoakan seperti itu. 

“Mungkin yang harus kembali ke jalan yang benar, adalah mereka yang berpura-pura menjadi bagian dari komunitas LGBT demi konten alias queer-baiting,” tutupnya.