Kebangkitan komunis menjadi topik andalan sejumlah organisasi masyarakat untuk tetap relevan. Rabu (24/6) kemarin, Aliansi Nasional Anti-Komunis (Anak NKRI) menginisiasi demonstrasi menentang RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di depan gedung MPR/DPR. Anak NKRI terdiri dari perwakilan ormas yang mengklaim konsisten mencegah Komunisme menguasai Indonesia, yakni Front Pembela Islam (FPI), Persaudaraan Alumni (PA) 212, dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF).
Demonstrasi menolak RUU HIP itu lantas diwarnai drama, karena berujung pada tuduhan komunis bangkit lagi. Selain membakar bendera palu arit yang sulit diketahui demonstran mendapatkannya dari mana, massa juga terekam membakar bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sambil berteriak, “Bakar, bakar, bakar PKI, bakar PKI sekarang juga.”
Videos by VICE
Ketua Media Center PA 212 Novel Bamukmin membenarkan pembakaran bendera PDIP. Ia menilai aksi tersebut sebagai bentuk kemarahan demonstran terhadap PDIP yang mereka sebut jadi insiator RUU HIP. Namun, ia membantah kalau yang membakar bendera adalah anggota PA 212.
“Saya melihat dari video yang tersebar, umat Islam sudah marah kepada PDIP berkaitan yang diduga kuat PDIP yang menginisiasi RUU HIP. Jangankan mereka bakar bendera, yang kami minta tangkap yang menginisiasi RUU HIP dan bubarkan PDIP yang telah melanggar konstitusi negara Indonesia,” kata Novel kepada Tempo.
Ketua Umum PA 212 Slamet Ma’arif lantas menyebut seharusnya PDIP-lah, sebagai inisiator RUU HIP, yang meminta maaf karena membuat masyarakat marah karena menginisiasi beleid tersebut. Muatan komunis dalam RUU HIP sendiri lebih banyak muncul dari pihak yang kontra. Misalnya Fraksi PKS dan Majelis Ulama Indonesia.
Beleid ini mulai jadi perhatian karena beberapa pihak menganggap RUU HIP sebagai upaya mengubah ideologi Pancasila. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas merasa penyederhanaan Pancasila ke dalam konsep Trisila dan Ekasila (yang tercantum dalam RUU) merupakan bentuk pengkhianatan terhadap negara. Apalagi kemudian ditemukan, konsep Trisila dan Ekasila juga tercantum dalam visi-misi PDIP. Belakangan Hasto menyatakan PDIP sepakat poin Trisila dan Ekasila dihapuskan dari RUU HIP.
Pemicu lain demonstrasi dan penolakan besar-besaran atas RUU HIP adalah tidak dimuatnya kandungan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1996 yang mengatur larangan ajaran Komunisme/Marxisme dalam RUU HIP. Dari sini, isu kebangkitan komunis mengudara. Ujung-ujungnya, pemerintah memutuskan menunda pembahasan RUU ini lebih jauh.
Tidak ingin dihina simbol banteng bermoncong putihnya, Sekjen Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Hasto Kristiyanto akan memperpanjang masalah pembakaran bendera ini dengan menempuh jalur hukum.
“Meskipun ada pihak yang sengaja memancing di air keruh, termasuk aksi provokasi dengan membakar bendera partai, kami percaya rakyat tidak akan mudah terprovokasi. Jalan hukum inilah yang dilakukan PDI pada tahun 1996, ketika pemerintah yang otoriter mematikan demokrasi,” ujar Hasto dilansir Tirto.
Terkait RUU HIP, Hasto minta masyarakat percaya bahwa partainya selalu mendengarkan aspirasi dan mengedepankan dialog. RUU HIP, menurutnya, selalu terbuka terhadap koreksi dan perubahan agar sesuai kemauan masyarakat. Namun, musyawarah adalah caranya, bukan bakar-bakar bendera.
Geliat bermusyawarah untuk mufakat ala Hasto tak diterima dengan baik oleh kadernya sendiri. DPC PDIP Jakarta Timur malah melakukan long march menuju Polres Jakarta Timur sebagai bentuk protes pembakaran bendera PDIP.
“Aksi pembakaran bendera partai itu adalah aksi yang sangat tidak layak. Sehingga, kita meminta kepada Kapolres aspirasi kita ini untuk diteruskan ke Pak Kapolda supaya kemudian pelaku dan antek-anteknya ditangkap karena itu perbuatan tidak senonoh,” ujar Korlap Aksi DPC PDIP Jaktim Pilian kepada Detik.
RUU HIP sendiri awalnya dibahas secepat kilat. Pada Desember 2019 DPR baru mengusulkan pembahasan. Menurut Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas, inisiatornya emang PDIP. Tapi, anggota Baleg asal PDIP Arteria Dahlan membantahnya. Tirto mencatat rapat pertama pembahasan RUU HIP baru dilakukan 11-12 Februari 2020. RUU ini juga masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Apakah kaitan PDIP dan PKI memang murni aksi politis buat-buatan lawan politik PDIP untuk mendiskreditkan partai ini? VICE bertanya kepada pengarsip sejarah Muhidin M. Dahlan untuk mendapatkan jawabannya. Menurut Muhidin, yang mengumpulkan kronik pemberitaan politik era pra kemerdekaan hingga kontemporer di Yayasan Indonesia Buku, unsur politik dari tuduhan pada PDIP tersebut kental sekali.
Muhidin menjelaskan, cap PKI telah lama disematkan kepada pemimpin (saat itu masih) PDI, Megawati Soekarnoputri, sejak ia mulai mendominasi partai banteng ini pada 1993. Di masa itu, Mega adalah tokoh sekaligus simbol politik paling kuat bagi kelompok penentang rezim Orde Baru. Peralihan panjang kepemimpinan PDI dari ketua lama yang dianggap boneka pemerintah ke Megawati terus coba dijegal, seperti lewat Kongres Luar Biasa Medan 1996, dan mencapai kulminasinya di peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996.
“Bisa dibayangkan, di tahun pertama kepemimpinan Megawati pada Desember 1993, tuduhan dari musuh politiknya memelihara 300 kader yang terlibat G30S/PKI secara tak langsung. Tuduhan itu ‘dilegitimasi’ ABRI. PKI emang jimat setan yang selalu ditempelkan di jidat Bu Mega,” ujar Muhidin kepada VICE.
Tudingan ini, tambah Muhidin, tadinya dimulai dari konflik internal yang berkepanjangan antara pengurus PDI dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Namun, melihat sudah terlampau seringnya PDIP dituduh komunis, Muhidin menilai harusnya PDIP sans aja gitu.
“Mestinya, Bu Mega sudah kebal dengan lagu lama. Isu ini isu lama di mana PDIP mestinya sudah tahu bagaimana meredamnya. Salah satu [cara menghadapinya] dengan beramal baik kepada para wong cilik.”
Bukan sekali ini saja PDIP kerap dikaitkan dengan PKI dan Komunisme. Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Kivlan Zen pernah mengatakan PDIP banyak menampung pihak yang terkait dengan PKI. Kivlan menyebut nama Eva Kusuma Sundari, Rieke Dyah Pitaloka, dan Budiman Sudjatmiko sebagai contoh.
Bahkan, Kivlan menyebut PDIP mengirimkan kadernya menemui Partai Komunis Tiongkok untuk belajar ilmu politik dan pemerintahan. Untuk tudingan yang terakhir ini, Hasto mengatakan pengiriman kader itu dilakukan untuk studi banding.
Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat menganggap tuduhan komunis pada PDIP sebagai intrik politik. Ia menyebut tudingan ini selalu datang menjelang pemilu.