Tren Video Parodi Adalah Rekaman Sosiologis Anak Muda Terhadap Indonesia

Video parodi tuh mirip puisi dalam hal ringkas tapi representatif. Curhat dalam 10 postingan Tumblr bisa diwakili puisi dua larik delapan bait yang terus di-quote lalu jadi postingan Tumblr ke-11. Kalau video parodi, pengamatan etnografis satu buku bisa disingkat jadi video 10 detik. Enggak percaya?

Saya mau pakai contoh yang rada tua. Sekitaran empat tahun lalu saya kecanduan video-video Instagramnya Sakayuv. Akun ini kepunyaan bocah SMA di Jogja yang nama aslinya Ivo Saka Yuvens.

Sayang banget Instagram Sakayuv dari sekitar 2017 udah mati suri. Kabarnya doi mau fokus sekolah. Sakayuv ini lucu gara-gara ekspresionis yang udah menjurus jadi hiperbol. Kalau Jim Carrey tinggal di Wirobrajan, paling bocahnya ya kayak gini.

Tapi lucu doang enggak cukup, bagian menarik atau malah menu utamanya, video-video parodi Sakayuv emang mewakili banget kehidupan sekolah dari SD sampai SMA yang pernah saya rasakan. Misalnya nih, ketika guru enggak masuk, kitanya hampir seneng terus batal karena dikasih tugas ngisi LKS segambreng.

Ada lagi, pas kita punya hape baru, dipinjemin temen yang sibuk selfie sampe galeri isinya foto doi doang. Part ini sih bikin saya merasa nostalgik banget karena pernah ngerasain seharian minjem Motorola E358 temen yang emang keluaran terbaru demi dengerin “You’re Beautiful” James Blunt berulang-ulang. Ya Allah.

Video iklan Ramayana Sakayuv menjelang doi off dari medsos.

Kalau yang ini kompilasi video-video kocak Sakayuv.

Ketika akun Sakayuv “ilang”, akun parodi lain malah lahir dengan kecepatan eksponensial. Dari yang rada obscure kayak yang bikin parodi MotoGP ini, sampai seleb-seleb remaja baru macam Kristo Immanuel atau Fadlan Holao.

Saya ngerasa, ketawa pas video parodi sebenarnya bonus doang. Di masa depan, video model beginian bakal jadi resume atau bookmark dari satu buku kehidupan masa lalu kita gitu. Katakanlah 2045 nanti Indonesia jadi negara dunia pertama terus kita pengin inget-inget jaman kita ngeluhin UMR Jogja atau privilesenya Jessica Tanoesoedibjo dan Putri Tanjung, shortcut-nya dengan nonton video parodi jadul. Ini lebih ringkes daripada baca penelitian, novel, atau nonton film yang emang sama-sama produk budaya pop dengan kemampuan merekam sosiologi masyarakat.

Kalau mau nyari manfaat yang sifatnya sekarang, hari ini, ya ada juga. Apa yang lagi rame, kayak apa perilakunya, serta gimana anak-anak yang lebih muda 10-15 tahun dari saya memandang dunia di sekeliling mereka, saya tahunya dari video parodi. Bacain teks (twit, status, stories) emang juga bisa, tapi tetap enggak sekomprehensif video yang notabene audiovisual.

Di tulisan ini saya mau contohin konten-konten dari dua akun Kristo Immanuel dan Fadlan Holao yang lagi intens saya ikuti. Dua-duanya mewakili remaja urban kelas menengah. Menariknya, Kristo Immanuel konsisten mengangkat tema soal stereotip cowok di tengah gundukan video parodi lain yang suka mengobjektifikasi perempuan. Kristo juga frontal memasukkan kritik ke topik yang dia parodiin, berbeda dari Fadlan yang lebih murni sebagai parodi.

Enggak satu pun teman saya sekarang yang pernah make kata “cogan”. Asli, jadi ngerasa tua. Cogan tuh singkatan cowok ganteng bukan sih? Tapi saya nangkepnya di video-video Kristo, cogan lebih ke cowok sok ganteng dan sok cool sih.

Jadi gimana para mahasiswa yang sedang berjuang lulus? Ada yang tertarik skripsiin tema ini?