FYI.

This story is over 5 years old.

Buzzer Politik

Memfatwa Haram Buzzer Politik Tidak Ada Gunanya

Wacana Pemuda Muhammadiyah itu bikin (calon) buzzer ketar-ketir. Untungnya pengamat media yang saya temui punya pendapat berbeda. Dia juga bilang, hmm, SBY adalah buzzer politik terbaik saat ini.

Jujur, melakoni profesi sebagai buzzer pernah terlintas di kepala saya. Alasannya sederhana: duitnya kenceng. Sekali mencuit, Rp2 juta otomatis masuk kantong. Selain itu nama pekerjaannya itu lho, kok rasanya sedap betul didengar dalam bahasa Indonesia: pendengung. Menjadi buzzer sejatinya berusaha mempengaruhi persepsi kelas menengah Indonesia. Data 2016 menunjukkan bahwa pengguna twitter di Indonesia mencapai 50 juta orang dan 79 persen di antaranya adalah kelas menengah atas. Plus, ini yang menarik, anda cuma butuh membuat kampanye dalam 140 karakter—bukan puluhan ribu kata seperti novelnya Haruki Murakami. Artinya, saya bisa diam-diam nge-buzz sambil tetap melakoni pekerjaan mulia bagi umat manusia lain semacam pegiat LSM, tukang ojek aplikasi, reviewer musik super obscure, atau mungkin dalang wayang kulit. Pokoknya suka-suka deh. Sayangnya, impian mulia saya—mendulang uang sebagai buzzer dan melakoni kerja-kerja bersifat labour of love—harus segera dipendam dalam-dalam. Bulan lalu tersiar kabar bahwa pemuda Muhammadiyah mengusulkan agar buzzer politik difatwa haram. Bagi underbouw salah satu ormas Islam terbesar kedua di Indonesia itu, buzzer tak lebih dari sekumpulan tuyul media sosial yang doyan bikin gaduh. Dalam keterangan kepada media massa Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan pihaknya bakal, "…menggunakan instrumen agama yang menyatakan buzzer politik haram karena mereka jadi produsen fitnah, menebar kebencian, dan menebar instabilitas." Tak hanya itu, Pemuda Muhammadiyah berusaha menyakinkan Majelis Ulama Indonesia dan rival kulturalnya Nahdlatul Ulama, agar bersama-sama segera mendorong terbitnya fatwa haram kepada buzzer politik.

Iklan

Belum jelas bagaimana perkembangan usaha Pemuda Muhammadiyah menyakinkan NU memusuhi buzzer. Namun, saya yakin sekali jika (Pemuda) Muhammadiyah sampai berniat merangkul NU—sesama ormas Islam besar yang sering gontok-gontokan tentang awal puasa dan penentuan lebaran— berarti perkara buzzer ini sudah sangat meresahkan umat.

Beruntung, sampai tulisan ini disusun, fatwa buzzer politik haram belum juga muncul. Sebelum fatwa itu benar-benar keluar, saya menemui Wisnu Prasetya Utomo. Dia adalah peneliti dan pemerhati media yang bekerja untuk Lembaga Remotivi. Kami berbincang-bincang tentang efektivitas fatwa haram buzzer politik, tak jelasnya definisi buzzer, serta alasan SBY merupakan buzzer politik paling jagoan di Indonesia saat ini.

Menurut kamu usulan fatwa buat buzzer politik ini perlu?
Beralasan tapi lebay. Maksudku, ada (usulan) fatwa seperti itu artinya ada keresahan atas sebuah persoalan. Dalam konteks ini, ada relasinya dengan ramainya buzzer-buzzer politik yang bikin keruh suasana di media sosial. Aku kira orang-orang mulai jenuh dengan propaganda para buzzer. Ini keluhan yang dirasakan banyak orang, tak cuma teman-teman di Pemuda Muhammadiyah.

Kenapa kemudian jadi lebay? Karena kalau kita mau bicara fatwa sebagai sesuatu yang diikuti oleh mereka yang meyakininya, mestinya analisis atas problemnya tuntas dulu. Persoalannya ketika buzzer politik difatwa haram, sudah jelas belum definisi buzzer itu seperti apa? Menurutku analisnya belum selesai. Kita mesti clear, apa sih masalah dengan konten politik di media sosial, baik itu ribut-ribut pilkada atau apapun yang ujung-ujung hoax. Apakah itu persoalan yang ditimbulkan oleh buzzer? Jadi kalau analisis masalahnya belum selesai, tiba-tiba muncul kesimpulan, katakanlah fatwa buzzer haram politik, kan enggak nyambung. Jangan-jangan solusinya bukan itu. Jangan-jangan masalahnya bukan di buzzernya.

Iklan

Memangnya buzzer politik masih relevan sampai-sampai Pemuda Muhamadiyah mengusulkan fatwa haram?
Menurutku di zaman sekarang, buzzer itu berpengaruh sekaligus engga berpengaruh. Sekarang inikan kecenderungannya buzzer itu mempengaruhi orang yang sudah punya keyakinan yang sama dengan mereka sendiri karena mereka ini buzzer yang sudah fanatik. Padahal fungsi buzzer kan mestinya untuk mempengaruhi orang yang pendapat yang berbeda dengan mereka. Misalnya, buzzer Ahok pengen suporternya Anies dukung Ahok. tapi yang dilakukan buzzer Ahok malah insinuatif terhadap Anies. Nah bagaimana buzzer menyakinkan orang memilih yang dia yakini? Kan fungsi Buzzer itu tugasnya mempengaruhi orang. Sekarang aku lihat buzzer cenderung ingin mempengaruhi orang sudah yakin dengan pilihannya. Kan enggak nyambung?

Kalau begitu buzzer sudah kehilangan kemampuan mereka?
Menurutku Buzzer masih relevan. Cuma persoalannya metode. Metodenya yang salah. Contohlah, sekarang orang yang menyebarkan hoax bukan lagi mereka yang dianggap literasi medianya rendah. Sekarang yang menyebarkan hoax kan kaum intelektual. GM (Goenawan Mohamad) ikut menyebarkan hoax. Aa Gym menyebarkan hoax dan tidak maaf atas apa yang dilakukan. Jadi Buzzer masih relevan, tapi permasalahnya metodenya saja.

AA Gym dan GM memangnya masuk kategori Buzzer?
Makanya, kan tadi saya bilang. Defenisi Buzzer belum jelas. Apakah Buzzer itu orang yang dibayar. Kalau dibayar, oke kita bisa clear, itu buzzer sebagai profesi atau orang hanya sekadar punya simpati terus ingin mengeluarkan pendapatnya. Misalnya, ada ada artis yang mendukung Ahok—dan engga dibayar—ingin menyuarakan pendapatnya, apa dia juga buzzer?  SBY, misalnya. Dia punya follower jutaan. Ketika dia meng-endorse satu dua calon, itu bagaimana? Kalau cara (buzzer didefenisikan) kayak gitu, buzzer jadi meluas. Nantinya (Kalau begitu cuitan) GM, Aa Gym dan SBY juga haram dong.

Iklan

Daripada difatwa haram, kenapa pemerintah tidak membuat code of conduct, apakah itu akan membantu mengatasi masalah buzzer?
Menurutku tetap saja enggak akan membantu, karena pada akhirnya bakal ada orang-orang yang punya tendensi untuk mendukung (calon tertentu) dan tetap tidak mendaku dirinya sebagai buzzer. Tetapi secara konsepnya dia buzzer. Misalnya SBY. Dia potensial jadi buzzer. Beliau punya jutaan follower. Apakah kita akan mengenakan code of conduct pada SBY? Kan engga. Menurutku buzzer engga perlu dibuatkan code of conduct.

Tidak perlu, atau memang sulit dilakukan?
Sepertinya enggak bisa kalau melihat kondisi kita sekarang, ketika semua orang bisa upload apapun di media sosialnya, otomatis secara konsep mereka sudah jadi buzzer. Buzzer itu antara ada dan tiada.

Intinya kalau dibikin code of conduct, kebebasan bicara atau ngetweet bakal terganggu?
Konsekuensinya seperti itu. Karena artinya kalau ada code of conduct yang dibikin kan bukan cuma buzzer-buzzer berbayar dong. Buzzer sukarelawan tadi juga mesti ada code of conductnya. Kalau engga kan, engga fair. Masa yang berbayar saja (yang diatur code of conduct), sementara bisa saja yang berbayar itu pengaruhnya lebih kecil dari yang berbayar.

Apakah hiruk pikuk buzzer yang menyebalkan ini cuma perkara pelanggaran etika berinternet?
Sebenarnya menurutku bukan persoalan etika. Ini konsekuensi dari media sosial kan kayak gitu. Etika bersama sudah tak relevan ketika bicara media sosial karena orang punya standarnya masing-masing. Bahkan, kalau menurutku ya, orang mau ngomong apapun terserah. Meski tetap ada batasan-batasan.  Tapi ini bukan etika dalam pengertian satu dua orang tak boleh melanggar batas itu. Misalnya, orang boleh menghina orang tapi tak boleh memprovokasi kekerasan. Orang boleh bikin meme yang menghina tapi tak boleh bikin meme yang ada gambar-gambar pedofil. (Aturannya) seperti itu lho. Kita memang tidak bisa membuat etika bersama buzzer harus sopan dan santun.

Jadi buzzer benar-benar tak bisa ditertibkan dong?
Menurutku engga bisa. Yang bisa ditertibkan isi konten-kontennya. Hoax apa engga. Nah kalau hoax kan itu sudah masuk ke wilayah lain, undang-undang ITE misalnya. Jadi, kita perlu membuat aturan (tentang buzzer) sendiri karena Indonesia sudah jadi negeri yang penuh aturan.

Kalau buzzer benar-benar difatwa haram, sebaiknya mereka ganti profesi engga?
Enggak ada sih orang mengaku buzzer, nggak banyak orang mengaku buzzer. Nah tapi kan kita berandai-andai itu pekerjaan yang saklek ada gitu, ya udah jadi anggota partai politik aja. itu paling memungkinkan. Ini sekalian untuk membuktikan (apakah) mereka punya pengaruh. Coba yang kemarin nyinyir sama AHY tuh. Bisa engga mereka nyalonin gubernur DKI dan dapat suara lebih dari 17 persen?

Di internet, kita cuma bisa bilang (berkat buzzer) orang opininya berubah. Tapi, itu kan engga mewujud dalam sikapnya. Misalnya dalam pilkada, sikap paling riil orang (itu) nyoblos. Jadi, buzzer engga bisa diukur efektivitasnya. Sekarang bagaimana sih ngukur efektivitas buzzer? Opini di sosial media? Oke (jadi) trending topic, tapi kan itu ukuran di media sosial, apakah trending topic itu jadi suara ketika hari coblosan?

Bisa disimpulkan merugikan juga ya nyewa buzzer?
Iya dong, kita keluar puluhan juta, ratusan juta buat buzzer buat trending topic engga ada ukurannya. Mestinya kalau buzzer dibikin profesi yang saklek, ada standar ukuran keberhasilan kerjanya dong. Sekarang ini kan orang-orang parpol dibegoin buzzer. Apa sih ukuran buzzer? Trending topic. Tapi kan itu bisa diakali. Misalnya, AHY tuh yang kampanye ke mana-mana kemarin. Tiap hari trending topic lho, Agus kampanye apa, pilih Agus Mpok Sylvi, tapi dapetnya cuma 17 persen. Artinya buzzernya gagal dong. Kalau kaya gitu malah mending (nyewa) model-model SBY aja. Dia sekali ngomong pasti jadi trending topic kok. SBY itu kan pinter bikin istilah yang jadi trending topic seperti "Lebaran kuda" atau "saya bertanya". Jadi timnya Agus kemarin nggak perlu nyewa-nyewa buzzer. Udah minta SBY aja, 'Pak ngetwit dong' Jadi, menurutmu SBY buzzer politik paling keren di Indonesia?
Iya lah, coba kemarin di kasus pilkada Jakarta, nggak ada lho yang seberpengaruh dia. Dia bikin orang-orang langsung ngetwit 'Ya Allah YME' misalnya. Itu kan konsep-konsep buzzing, omongannya bisa ditiru orang dan itu berpengaruh. Lebih mengesalkan mana buzzer atau selebtwit?
Sepertinya selebtwit. Selebtwit itu jadi pakar segala macam isu. Hari ini ada (pernyataan) SBY, dia komentari SBY. Besok pagi ada kebakaran hutan, dia komentari kebakaran hutan. Sesekali dia modus ke followersnya, itu banyak lho. Itu kan ngeselin ya. Kalau buzzer kan (beda kasus). Meskipun engga ada etikanya tapi  sasarannya jelas. Tapi kalau selebtwit ini perpindahan pendulum/ isunya itu banyak banget. Belakangan kecenderungannya buzzer diambil dari selebtwit karena banyak yang sejak awal sebenarnya engga berniat jadi buzzer, tapi karena dia punya follower banyak, menurutku kaya gitu sih.