Selamat datang di kolom baru Review Parpol. Dalam kolom ini, redaksi VICE Indonesia mengulas program-program unggulan setiap partai peserta pemilu 2019. Ulasan ini kami anggap penting, supaya calon pemilih ingat, politik bukan cuma perkara capres. Calon anggota legislatif yang bikin berbagai undang-undang tuh berpengaruh lho sama hidup kita kelak.
Ingar bingar tahun politik 2019 di media sosial lebih banyak menyorot pemilihan presiden. Padahal, yang tak boleh dilupakan, 17 April nanti masyarakat berkesempatan memilih wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Videos by VICE
Sakin banyaknya calon anggota legislatif mencoba peruntungan masuk parlemen, kita pasti jadi bingung harus milih siapa. Mending kalau cuma bingung. Ketika ditambah narasi yang lebih banyak berputar soal capres-cawapres, orang pun abai kalau mereka masih perlu memikirkan siapa politikus yang akan mereka dukung masuk parlemen.
Jumlah caleg DPR mencapai 7.968 orang di seluruh Indonesia. Sementara untuk jumlah kursi DPRD di tingkat provinsi serta kabupaten/kota di seluruh Indonesia diperebutkan 19.817 politikus. Dampaknya, tengok saja di berbagai ruas jalan besar. Poster caleg bertebaran. Bagaimana mau menentukan pilihan, kenal mereka aja enggak.
Makanya, supaya tidak melulu pusing, ada baiknya kita mengambil jalan tengah: lebih baik kita simak program partai pengusung para legislator tersebut. Kalau patokannya nilai positif individu, calon legislator dan senator jelas beda-beda. Ada yang aktivis kawakan, ada pemula dengan niat baik bikin RUU progresif, ada yang tujuannya cuma maling anggaran, ada yang mantan koruptor, sampai ada yang pengin cari kerja. Makanya, jika kita fokus sama calon anggota DPR dan DPRD berdasarkan partainya, setidaknya para caleg tadi pasti punya benang merah arah kebijakan andai terpilih kelak (DPD dan para senatornya dalam penulisan artikel ini terpaksa diabaikan, karena emang fungisnya masih dikebiri DPR, sekadar pelengkap doang).
Pemilu serentak tahun ini melibatkan 16 partai politik (selain partai lokal di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam). Kalau begini, pilihannya lumayan sempit, walaupun masih banyak juga sih. Minimal, kita boleh optimis membayangkan caleg akan setia sama arahan partai. Artinya, garis kebijakan partai adalah ideologi yang (mungkin) akan tergambar seandainya mereka masuk parlemen kelak.
Untuk mengawali kolom ini, mari kita mengulas Partai Berkarya yang memulai debutnya di panggung politik nasional pada 2019. Partai Berkarya, didirikan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto pada Juli 2016. Partai ini sejatinya gabungan dari dua parpol Partai Beringin Karya dan Partai Nasional Republik. Nama Tommy tentu saja tak bisa lepas dari rezim Orde Baru. Dia anak bungsu presiden ke-2 RI yang sudah lekat dengan citra diktator.
Tudingan Partai Berkarya hendak mengembalikan kejayaan Orde Baru pun mengalir. Sadar bakal dapat cap macam itu, petinggi partai anyar ini buru-buru membuat slogan: “Kami hadir bukan sebagai nostalgia masa lalu, tapi untuk membawa semangat perubahan.”
Ah masa?
Janji perubahan itu teranulir dengan sendirinya oleh pernyataan pengurus inti. Petinggi partai, misalnya Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, berulangkali mengatakan kerinduan masyarakat terhadap sosok Suharto “sudah tak bisa dibendung.”
“Semangat Orde Baru dalam Partai Berkarya untuk mewujudkan cita-cita Pak Harto menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat,” kata Titiek. Nah, gini dong. Janga ragu mengembalikan OrBa atuh…
Masalahnya jualan nostalgia ‘manis’ OrBa menurut pakar kurang cocok menjangkau pemilih di bawah 25 tahun. Kebanyakan dari mereka lahir selepas Soeharto tumbang dan belajar sejarah Orde Baru dari buku teks. Buat anak-anak muda ataupun pemilih pemula, apa menariknya konsep ‘kebangkitan kembali Orde Baru’? Kalau strateginya cuma itu, sulit membayangkan Partai Berkarya sukses meraih kursi mayoritas di DPR.
Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo mengatakan ide membangkitkan semangat Orde Baru adalah gagasan gila dan tidak akan membawa perubahan. Kalaupun ada yang merindukan kembalinya program-program Suharto, berarti mereka secara ekonomi diuntungkan dari kebijakan selama 32 tahun yang sarat kolusi dan nepotisme.
“Hanya orang gila yang mau kembali ke rezim itu,” kata Hermawan kepada awak media. “Hidup penuh ketakutan setiap hari. Apalagi bikin NGO (LSM), jangan mimpi, besoknya hilang.”
Romantisme dan nostalgia Orde Baru terus saja tampak dalam setiap kampanye dan iklan politik Partai Berkarya. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Panduwinata Arifin kerap menggunakan jargon ampuh seperti ‘Macan Asia’, swasembada pangan, serta stabilitas ekonomi dalam kampanyenya.
“Kami jelaskan pada suatu masa negara kita ini pernah swasembada pangan, punya stabilitas ekonomi politik yang baik. Ayo sama-sama kembali sebagai Macan Asia seperti yang dibilang pak Harto dulu,” kata Panduwinata.
Dan ketika partai politik membicarakan program pembangunan, maka Papua sudah pasti tak luput dari wacana. Tommy Soeharto, dalam pidatonya, bermimpi membangun Universitas Antariksa di Biak.
“Mendirikan Universitas Antariksa di Biak menjadi salah satu Program Partai Berkarya agar putra–putri asli Papua juga mempunyai keahlian di bidang Antariksa,” ujar Tommy. “Partai Berkarya jika kelak dipercaya menjadi pemenang pada Pemilu 2019 bertekad akan mewujudkan Biak memiliki Universitas Antariksa pertama di Indonesia.”
Ide Tommy membangun universitas macam itu sekilas tidak terlalu buruk. Kalau niatnya tidak sekadar buat kampanye, maka agenda Tommy selaras dengan visi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Lembaga ini berniat membangun stasiun peluncuran satelit di Biak pada 2040. LAPAN saat ini hanya memiliki stasiun pemantau satelit bumi yang beroperasi sejak 2010.
Tentu saja, ada yang harus diperhatikan. Membangun universitas saja tidak bakal cukup selama segudang permasalahan di Papua belum juga diselesaikan. Pemerataan infrastruktur dan kualitas pendidikan yang bebas diskriminasi, kesejahteraan masyarakat, dan pemenuhan hak asasi manusia masih jauh dari kata layak.
Tonton dokumenter VICE yang ngobrol bareng ratusan anak muda dari berbagai kota Indonesia, membahasa cinta, ekonomi, hingga cita-cita mereka:
Selebihnya, visi dan misi Partai Berkarya masih jauh dari kata progresif dan membuat gebrakan baru. Redaksi VICE berusaha membongkar paparan visi dan misi, tapi Partai Berkarya seperti tak memiliki sesuatu yang baru dan cemerlang. Selain mengandalkan program-program Soeharto seperti Trilogi Pembangunan, nyaris tidak ada lagi sesuatu yang ditawarkan.
Lantas, apa sih Trilogi Pembangunan? Intinya ada tiga janji. Pertama partai berusaha menjaga stabilitas nasional (tidak dijabarkan sedikitpun apa langkah konkretnya). Tapi bisa kita bayangkan berarti Partai Berkarya tidak suka kegaduhan politik. Apakah kebebasan pers aman? Entahlah. Ketua DPP-ya, Andi Badarudin Picunang, siap mengajak ribut semua elemen yang dulu menurunkan Suharto dalam momen Reformasi 1998. “Semua aktivis, akademisi, dan profesional yang turun demonstrasi menurunkan Pak Harto adalah komunis,” ujarnya dikutip media, merespons sindiran Partai Solidaritas Indonesia yang sempat menganggap janji-janji Tommy Suharto tak masuk akal. Janji pertama agak sulit dipenuhi nih dari gelagatnya.
Kemudian janji kedua adalah mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi (seberapa tinggi? Apakah tujuh persen? Caranya gimana? pakai insentif pajak? Ga ada penjelasan sama sekali nih). Pokoknya, kalau Berkarya masuk parlemen—atau malah berkuasa—bahan pangan, sandang, dan rumah bakal murah. Kalau kalian bertanya duit untuk mendorong pertumbuhan dari mana? Kembali ke janji pertama.
Janji ketiga adalah meratakan (dampak) pembangunan. Rujukan dari Priyo Budi Santoso selaku Sekjen Partai Berkarya, lagi-lagi meniru kebijakan Suharto menjalankan rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Gagasannya sih menarik. Ketimpangan ekonomi di Indonesia memang masih tinggi. Namun kalau bau-baunya hendak mengembalikan mantra trickle down effect (yang sudah dikritik banyak ekonom), ya sami mawon.
Pokoknya semua akan serba sejahtera, sejauh ini, pakai mantra Enak Zamanku toh. Itu bukan VICE yang nyinyir lho, sekjennya sendiri yang bilang begitu kok.
Makanya para petinggi partai terus mereproduksi jargon Macan Asia yang sempat didengung-dengungkan OrBa. Sampai akhirnya macan tadi harus ompong karena krisis keuangan 1997 menghajar Indonesia sampai KO, memaksa keluarga Cendana keluar dari panggung politik nasional.
Jika kalian pemilih yang doyan sama program jualan jargon tanpa penjabaran konkret, dan sangat merindukan kejayaan otoritarianisme Orde Baru, kayaknya Partai Berkarya dan caleg-calegnya patut kalian dukung.