FYI.

This story is over 5 years old.

filosofi sepakbola

Menelaah Sepakbola dengan Kacamata Filsafat

Kami berbicara dengan filsuf Simon Critchley tentang buku barunya, ‘What We Think About When We Think About Football’.
ilustrasi oleh Henry Cooke

Dalam beberapa tahun terakhir, bahasa yang digunakan ketika membicarakan sepakbola terasa sudah sangat usang. Pilihan kata-kata dan frasa ini bisa kita temukan di tabloid, di acara TV, dan percakapan sehari-hari.

Bahasa yang digunakan kuno, malas, tidak berguna, dan repetitif—dan selalu diulang-ulang di setiap percakapan sepak bola setiap musim, membuat olahraga paling populer ini menjadi seperti pesta yang membosankan. Sudah terlalu lama kita begini. Saatnya melakukan perubahan. Di buku barunya What We Think About When We Think About Football, filsuf dan penggemar berat Liverpool, Simon Critchley mencoba menjabarkan sebuah "puisi baru sepakbola", cara membicarakan sepakbola yang tidak lebay atau elitis, tapi keluar dari jebakan bahasa klise dan retorikal yang sudah terlalu kuat menempel di olahraga ini. Mengingat sepakbola adalah olahraga yang sangat populer—serta lintas bahasa dan budaya—kenapa juga kita tidak mencari cara yang lebih baik untuk merefleksikan momen-momen penuh kebahagiaan yang sepakbola bisa berikan? Saya menghubungi Critchley di kediamannya di New York untuk membicarakan pentingnya identitas dalam sepakbola, efek internet terhadap pengalaman kita menikmati pertandingan dan masih banyak lagi. VICE: Udah berapa lama pengen serius menulis buku sepakbola?
Simon Critchley: Saya sudah menghasilkan beberapa tulisan tentang sepakbola dalam beberapa tahun terakhir. Saya menyelenggarakan sebuah art show ketika Piala Dunia 2010 digelar berjudul Men with Balls di New York. Saya juga sempat menulis artikel setelah Brexit terjadi dan timnas Inggris dikalahkan oleh Islandia dalam Piala Eropa untuk New York Review of Books, menjabarkan kedua peristiwa yang terjadi berdekatan itu. Kemudian saya mendapat undangan untuk berbicara di Basel, Swiss. Penontonnya sangat bersahabat jadi saya menggunakan kesempatan itu untuk berbicara banyak. Ucapan saya hari itu kemudian dikembangkan menjadi sebuah buku dengan cepat, berkat editor Profile, Mark Ellingham. Dia memaksa saya untuk bercerita lebih jelas dan jujur. Dalam buku, kamu sering menceritakan pengalaman masa kecil menonton pertandingan sepakbola. Boleh cerita sedikit?
Enggak beda jauh sama pengalaman banyak orang sih. Sebelum bisa berjalan, saya sudah diajari bermain sepakbola, dan semua keluarga saya berasal dari Liverpool. Ayah saya pernah berlatih di Anfield. Ayah sempat bermain di Divisi Kedua Liga Inggris dulu. Saya juga menggeluti olahraga ini secara obsesif. Kebetulan tim yang kami dukung juga sempat mendominasi dunia. Itu adalah periode yang fantastis bagi penggemar Liverpool. Satu-satunya hal yang sering saya bicarakan dengan Ayah adalah sepakbola, dan buku ini sebagian berisi tentang itu, dan juga masalah menurunkan semangat loyalitas yang sama ke generasi berikutnya. Anak saya tinggal di London, dan dia tidak seobsesif saya mendukung Liverpool. Ada elemen sepakbola yang berhubungan dengan masa kecil seseorang. Di buku, saya menceritakan bagaimana ketika masih kecil, Zinedine Zidane selalu mendekatkan wajahnya ke TV demi menonton Telefoot. Dia hanya suka mendengarkan suara komentator sepakbola Perancis, Pierre Cangioni. Ketika Zidane akhirnya bermain di atas lapangan, dia sering mengomentari dirinya sendiri selagi bermain—ini adalah hal yang aneh tentang sepakbola, membuatmu berfantasi, menciptakan diri kita yang lain.

Iklan

Fans Skotlandia pada sebuah pertandingan di 2016. Foto: Mike Egerton/PA Archive/PA Images

Waktu adalah sesuatu yang banyak kamu bahas dalam buku. Melihat dari sisi yang paling ekstrem, apa mungkin sepakbola bisa memicu perjalanan waktu?
Secara membosankan, mungkin bisa dibilang begitu. Kita mengenal waktu sebagai sekuens linear yang didefinisikan oleh masa kini. Dalam pengertian linear ini, masa depan belum terjadi, dan masa lalu sudah bukan lagi bagian dari masa kini. Dan waktu dipecah menjadi beberapa unit reguler—detik, menit, jam—dan ini adalah pengertian waktu secara fundamental. Namun, ketika menonton sepakbola, waktu terasa bertambah cepat dan lambat, seakan intensitas waktu bergeser-geser. Kita tidak mengalami waktu sebagai sebuah kontinum, tapi rangkaian intensitas yang berubah-ubah bentuk dan berkembang. Kadang ada periode penuh kebosanan total, kadang ada momen waktu seakan berjalan lebih cepat. Secara aneh, sepakbola menunjukkan bentuk waktu yang cair. Selain waktu, alasan saya mencintai sepakbola dibanding olahraga lain adalah adanya kekacauan ruang. Semua bisa terjadi di atas lapangan, kapanpun dan di manapun. Tidak semua olahraga memiliki kualitas ini.
Kamu bisa menggunakan konsep yang sama antara ruang dengan waktu; mereka sama-sama cair. Pemain yang hebat—contohnya Thomas Muller dari Jerman, yang biasa dipanggil "Raumdeuter", atau "penjelajah ruang"—bisa menguasai ruang dan membuka area di sekitarnya. Kalau kamu bermain sepakbola, kamu akan menyadari hal ini—ini adalah seni yang sangat subtil, untuk membuka dan menutup ruang, menciptakan ruang, dan menginterpretasikannya. Satu poin yang saya terus sebut dalam buku karena penting, sepakbola adalah olahraga yang beroperasi dalam ruang dan waktu, tapi bukan di dalam kepala. Sepakbola terjadi di luar sana, di dalam pengalaman bersama yang ditangkap oleh panca indera. Dan ketika kita membicarakan sepakbola, kita bertanya ke atlet sepakbola dan mengharapkan jawaban menarik, tapi ini tidak pernah kita dapatkan, karena mereka adalah penjelajah ruang dan waktu dan kesulitan mengartikulasikan hal ini—kitalah yang harus mencoba mengartikannya. Seru kali ya ngebayangin pemain melakukan wawancara setelah pertandingan dan mengatakan hattrick yang dia cetak adalah artefak dari pengalamannya menjelajahi waktu dan ruang.
Ya dan bukan berarti pemain bola tidak cerdas juga—biarpun banyak dari mereka tidak memiliki edukasi tinggi—tapi pengalaman kita menikmati aksi merekalah yang harus diterjemahkan ke dalam kata-kata. Sayangnya ini sulit terjadi. Di sebuah bab buku ini, saya menjelaskan bagi pemain bahwa bolanya sendiri—yang sesungguhnya hanya gumpalan plastik dan karet—seperti memiliki nyawa, hidup, dan memiliki kehendak bebas. Seperti inilah rasanya ketika kamu bermain di atas lapangan—semuanya terasa hidup dan menjadi bagian dari pengalaman secara keseluruhan. Apa pendapatmu tentang generasi muda yang menggunakan beberapa layar untuk menonton pertandingan—kadang streaming dua atau tiga pertandingan yang berbeda di laptop, sambil menyalakan TV, mengecek Twitter, Facebook, dan WhatsApp di ponsel secara sekaligus? Bagaimana ini akan mempengaruhi cara mereka menginterpretasi pertandingan?
Pertanyaan bagus. Perbedaan generasi macam ini jelas terlihat antara saya dan anak saya. Saya akan membuka beberapa situs di laptop untuk memantau keadaan, tapi hanya berfokus menonton pertandingan di TV. Sementara anak saya menonton tiga atau empat hal sekaligus. Apa ini mengubah pengalaman menonton bola secara fundamental? Saya tidak tahu.

Keakraban fans Inggris dan Belanda. Foto: Jos van Zetten, via

Ada yang mengatakan orang-orang membuka banyak situs sekaligus ketika menonton pertandingan untuk terus menerima pasokan kecil dopamin. Menurutmu, apakah industri sepakbola sengaja mengeksploitasi perilaku kompulsif seperti ini?
Menurutku, internet secara keseluruhan berdampak positif bagi sepakbola. Dulu di Inggris, sepakbola hanya bisa ditemukan di halaman belakang tabloid, dan isinya sampah. Dalam 20 tahun terakhir, kita menyaksikan meningkatnya jurnalisme sepakbola yang serius, dan perkembangan teknologi membuat pengalaman menonton sepakbola semakin mutakhir. Maka dari itu, saya sangat optimis. Jurnalisme sepakbola adalah area yang sangat menarik—bisa ditemukan di media seperti The Guardian dan The Blizzard. Namun di saat yang sama ada semacam keletihan yang menimpa sepak bola, yang banyak saya bahas di akhir buku. Sebagai penggemar, kita sadar akan kehadiran negatif uang dalam industri, dan fakta bahwa struktur industri ini penuh korupsi, terutama FIFA. Jadi sepakbola bagi saya semacam cerminan hal-hal terbaik dan terburuk di dunia. Saya pikir semua penggemar sadar akan hal ini. Satu poin yang saya berusaha utarakan adalah kecerdasan yang dimiliki penggemar sepakbola. Diskusi sepakbola adalah aktivitas yang sangat menarik secara filosofis. Mereka harus dianggap serius. Penggemar sepakbola itu tidak bodoh, mereka sadar apa yang terjadi. Kita semua tahu sepakbola penuh dengan kompromi. Semua orang harus berkompromi dengan kadar kecintaan mereka terhadap klub atau olahraga itu sendiri karena sadar industri ini didukung oleh uang yang sumbernya tidak jelas, dan organisasi yang seharusnya mengatur sama sekali tidak berguna. Kamu sering menyebutkan dalam buku bahwa sepakbola esensinya bersifat sosialis—kalau begitu mungkinkah ada sosok yang bermain menggunakan peraturannnya sendiri? Seakan-akan dia bermain di luar sistem?
Kayak Cristiano Ronaldo gitu? Iya, mungkin. Tapi poin saya tentang sosialisme itu sebetulnya memang sengaja dilebay-lebaykan; separuhnya adalah kepercayaan saya sendiri dan sisanya berhubungan dengan sejarah sepakbola yang kental dengan asosiasi kelas pekerja, kultur bar dan sebagainya. Tidak seperti olahraga di AS—baseball, american football dan sebagainya—sepakbola itu jauh lebih tidak individualis dan bersifat tim. Jadi struktur tim lebih bersifat egalitarian atau sosialis, sama seperti hubungan tim dengan penggemar. Tapi memang ada juga pemain-pemain yang sangat individualis dan menginginkan tim bermain untuknya, mungkin seperti kasusnya Ronaldo dalam beberapa musim terakhir. Apa sih tujuan kamu menulis buku ini?
Buku ini tidak dimaksudkan sebagai tulisan sepakbola yang lebay, biarpun pasti nanti dianggap begitu. Saya berusaha menggunakan kata-kata untuk menyusun puisi yang bisa mendekati pengalaman bermain sepakbola. Dan ini akan menaikkan derajat pengalaman itu sendiri. Menurut saya banyak pemain dan penggemar yang cerdas, dan buku ini mencari cara untuk menghargai sepakbola tanpa bersikap delusional. Itu yang saya berusaha lakukan. Buat saya, yang terpenting adalah kesadaran mengetahui hal-hal yang salah dengan industri sepakbola saat ini—dan banyak yang salah—tapi tetap bisa mengakses dan menikmati momen-momen luar biasa yang dihadirkan sepakbola. Saya bisa berargumen, biarpun mungkin tidak masuk akal sama sekali, bahwa sepakbola bukanlah sebuah olahraga—tapi sebuah tempat di mana hubungan orang dengan masa lalu dan identitasnya sekarang, sosok ideal diri, ditampilkan dalam bentuk yang paling kuat. Dalam sepakbola, kerap rasanya kita tidak bisa mengontrol nasib sendiri—semua sudah ada takdirnya.