Kegelapan menyelimuti lorong tempat saya berpijak, tapi badan tetap memaksakan diri ini maju demi mengejar kapal-kapal mirip hantu di perairan utara Pulau Jawa. Dari luar samar-samar terdengar kecipak air laut menghantam lambung kapal. Mata saya belum sepenuhnya beradaptasi dengan kegelapan meski saya mencoba memicingkannya.
Dengan penuh kehati-hatian saya memaksakan langkah menyusuri lorong gelap tersebut. Setelah menaiki anak tangga susah payah, akhirnya saya tiba di anjungan kapal ‘Rainbow Warrior’ milik organisasi nirlaba Greenpeace.
Anjungan tersebut tak kalah gelap dengan lorong yang saya lewati sebelumnya. Namun dua layar monitor yang menyala cukup membantu menerangi ruangan berukuran lima meter tersebut. Satu layar menampilkan proyeksi jalur kapal, sementara layar lainnya menampilkan sistem navigasi radar. Terdapat dua buah kursi nahkoda yang mengapit roda kemudi kapal. Di bagian belakang anjungan terdapat peralatan radio yang tertutup tirai putih.
Videos by VICE
Salah seorang awak kapal, Yogi Tujuliarto, bersama relawan Lestari asal Payakumbuh, malam itu kebagian tugas jaga malam. Jarum jam merangkak pelan ke angka 4 subuh. Sambil menyesap kopinya, Yogi menatap alat navigasi radar seksama. Sementara Lestari bersandar ke kursi dan dua kaki di atas dasbor, mengecek kecepatan angin sambil melihat keadaan sekitar. Kapal tersebut sedang berlayar pelan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa.
“Tango bravo, tango bravo!” suara cempreng seorang pria dari radio kapal tiba-tiba memecah keheningan. “Yang dari utara ambil haluan kiri. Kita dari selatan ambil kanan.”
Tango bravo adalah sebuah kode menyebut tug boat yang biasa menarik tongkang berisi batu bara dan minyak. Ada dua buah kapal yang melintas dari arah Cirebon dan Banjarmasin subuh itu. Yogi segera beranjak dari kursinya, melihat ke arah layar sistem navigasi. Di layar ada dua titik berkedip menandakan posisi kapal. Jarak mereka dengan kapal kami hanya sekira lima mil.
Hari itu kapal Rainbow Warrior dalam misi memantau aktivitas kapal tongkang batu bara dan minyak yang tanpa izin membuang sauh di perairan Taman Nasional Karimunjawa. Menurut laporan yang didapat Yogi, banyak kapal tongkang terindikasi mematikan pelacak alias automatic identification system (AIS) ketika memasuki perairan Karimunjawa. Diduga kuat, alasannya untuk menghindari otoritas laut. Pasalnya, kapal besar seperti tongkang batu bara dilarang membuang sauh di sekitar perairan Karimunjawa. Disinyalir, banyak kapal tongkang yang terlibat jual beli bahan bakar ilegal di perairan Karimunjawa.
Sistem pelacak AIS awalnya dirancang mencegah kecelakaan lalu lintas laut dan menyiarkan titik lokasi akurat sebuah kapal. Kini publik leluasa melacak posisi sebuah kapal secara real time lewat situs macam ini.
Rupanya beberapa kapal berkeras tak ingin letak posisinya diketahui. Hal tersebut sebenarnya jamak terjadi dalam industri kelautan. Organisasi nirlaba SkyTruth dan Oceana, contohnya, mendedikasikan waktunya untuk memantau pergerakan kapal demi memerangi pencurian ikan. Organisasi tersebut mencatat sepanjang kurun 2014-2016 ada lima kapal yang secara mencurigakan mematikan AIS-nya.
Sepanjang pagi itu Yogi menemukan lima kapal yang hilir mudik dalam jarak 10 mil. Namun semuanya tidak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Kapal-kapal tersebut hanya melintas tanpa membuang sauh. Dari pantauan radio, salah satu kapal tunda malah curiga bahwa mereka sedang dimata-matai oleh kami. Kapal Rainbow Warrior pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta.
“Kebanyakan kapal tersebut mengantar batu bara ke Cirebon dan Jepara dari Kalimantan,” kata Yogi. “Tapi selebihnya tidak ada aktivitas yang aneh. Mungkin sedang tidak banyak kapal yang melempar jangkar.”
Di Jakarta, juru kampanye iklim Greenpeace Indonesia Didit Haryo masih yakin bahwa Rainbow Warrior saat itu cuma berada di waktu dan tempat yang salah. Dari laporan masyarakat di Karimunjawa, puluhan kapal tongkang kerap membuang sauh dalam satu bulan, memicu kerusakan lingkungan masif dan mengancam potensi perikanan sekitar.
Keyakinan Didit terbayar, selang beberapa hari kemudian Rainbow Warrior memutuskan kembali ke Taman Nasional Karimunjawa dan menemukan target pertamanya: sebuah kapal tongkang batu bara bernama Safinatur Rozzaq 09 yang ditarik kapal tunda Kahar V asal Berau yang membuang jangkar saat menuju Cirebon. Kapal dengan muatan batu bara 2.700 m3 tersebut tak memiliki izin melintas kawasan konservasi, apalagi izin untuk bersandar.
Tonton dokumenter VICE, bukan soal laut melainkan gunungan sampah raksasa yang ‘meletus’ ketika terbakar. Gunung itu memicu kerusakan lingkungan parah:
Didit langsung menuju ke anjungan dan meraih radio dan segera menyuruh kapal tunda tersebut untuk keluar dari Taman Nasional Karimunjawa. “Kahar V anda berada di kawasan terlarang untuk dilewati.” teriak Didit lewat radio. “Kapal tongkang batubara telah membuat kerusakan di Karimunjawa.”
“Siap Pak, siap Pak, saya lapor dulu sama kapten,” ujar salah seorang ABK Kahar V dari ujung radio.”
Beberapa saat kemudian, kapal tunda tersebut akhirnya mengangkat jangkar dan menyalakan mesin. Tapi tidak sebelum beberapa orang kru Greenpeace mendekati kapal tongkang dengan enam buah kapal motor kecil dan mengecat lambung kapal dengan warna kuning terang bertuliskan “Coral Not Coal”.
Beberapa hari kemudian kru Greenpeace kembali menemukan kapal tongkang Bloro 7 yang membuang sauh di sebelah barat Pulau Karimunjawa. Nasib kapal tongkang tersebut juga sama: diusir.
“Alasan yang dipakai para kru kapal tongkang tersebut selalu sama, kalau enggak mesin rusak, kehabisan logistik, atau cuaca buruk,” kata Didit. “Tapi semuanya cuma alasan. Dua kapal yang kami temukan tak mengalami masalah apapun.”
Didit menyayangkan pihak Balai Taman Nasional yang tak pernah melakukan patroli di sekitar perairan tersebut. Padahal, hal tersebut penting untuk memperingatkan para pengusaha batu bara bahwa apa yang dilakukan para awak kapal tersebut mempertaruhkan masa depan banyak hal: lingkungan dan masa depan warga.
Letak Kepulauan Karimunjawa yang strategis tampaknya menjadi berkah sekaligus bencana. Lalu lintas di perairan utara Jawa memang tergolong sibuk. Dalam sehari, lebih dari 60 kapal asing dan lokal hilir mudik di perairan tersebut merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan. Aktivitas tongkang batu bara di perairan Taman Nasional Karimunjawa tersebut memicu pencemaran dan kerusakan lingkungan parah terutama pada gugusan terumbu karang sejak bertahun-tahun lalu.
Kepulauan Karimunjawa termasuk wilayah administrasi Kabupaten Jepara telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak 2002. Luas total kepulauan tersebut adalah 111.625 hektare yang terdiri dari 27 pulau. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, nelayan, dan mereka yang menawarkan jasa pariwisata. Sektor pariwisata adalah penyumbang kedua terbesar pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Jepara setelah perdagangan. Pendapatan dari sektor pariwisata pada 2016 mencapai Rp3,7 miliar. Sepanjang kurun lima tahun terakhir, menurut data Dinas Pariwisata Jepara, 138.176 wisatawan lokal dan asing menikmati keindahan alam di Karimunjawa.
Kerusakan lingkungan dan hancurnya terumbu karang akibat aktivitas kapal-kapal tongkang dikhawatirkan dapat mengancam pendapatan nelayan dan industri pariwisata di Karimunjawa. Padahal menurut data BPS, sekira 2.230 orang menggantungkan hidupnya pada industri pariwisata. Sementara menurut penelitian Universitas Diponegoro, potensi perikanan di Kepulauan Karimunjawa mencapai 240 ton per tahun.
Tak ayal, aktivitas ilegal kapal tongkang memicu kemarahan warga Kepulauan Karimunjawa. Abdul Rahim, pegiat lingkungan dan pemandu wisata, mengatakan aktivitas liar tongkang batu bara dan minyak di sekitar Kepulauan Karimunjawa sudah marak terjadi sejak 2011. Menurutnya, selama ini warga tidak bisa berbuat banyak selain melapor kepada otoritas setempat. Namun, warga kini akan mengambil tindakan tegas seandainya menemukan kapal tongkang yang sengaja memasuki perairan dangkal di pulau-pulau sekitar.
“Kerusakan sejak tahun 2011 hingga sekarang kondisinya semakin parah,” kata Rahim. “Kami akan melakukan pengusiran. Karena dari pihak pemerintah sampai saat ini tidak ada kejelasan.”
Rahim mengatakan saat ini para warga secara rutin melakukan transplantasi terumbu karang di perairan dangkal sekitar pulau. Namun, hal tersebut belum mendapat dukungan dari pemerintah. Selama ini warga melakukan kegiatan tersebut secara swadaya dibantu oleh LSM lingkungan.
“Kami mengandalkan wisata laut, namun jika terumbu karang telah rusak, apa yang dapat kami tawarkan kepada wisatawan?” tutur Rahim.
Pada 2017 terjadi lima insiden perusakan terumbu karang yang diakibatkan kapal tongkang. Luas terumbu karang yang rusak mencapai 1.660 meter persegi. Lima kapal tongkang tersebut adalah milik PT Sindu Mulia, Jakarta; PT Pancamerak Samudera, Surabaya; PT Pancaran Samudera Transport, Jakarta; PT Nasional Bina Buana, Bintan; dan PT Peti Samudera Adi Jaya, Samarinda.
Sayangnya, pemberitaan mengenai rusaknya terumbu karang di Karimunjawa hanya sayup-sayup terdengar, kalah dari pemberitaan kerusakan terumbu karang di Selat Dampier, Raja Ampat. Aparat kepolisian mengklaim sudah mengantongi nama tersangka, namun hingga kini tidak jelas proses hukum yang berlangsung.
Disinyalir, kapal-kapal tongkang tersebut kerap membuang sauh di perairan dangkal Kepulauan Karimunjawa untuk mengisi BBM atau menghindari gelombang tinggi. Padahal, kegiatan buang sauh atau bersandar tersebut dilarang oleh pemerintah setempat.
Perairan di kepulauan tersebut terkenal memiliki dua jenis angin yang memicu gelombang tinggi. Saat musim angin barat yang terjadi sepanjang Januari hingga Maret dan musim angin timur pada Oktober hingga Desember, gelombang di perairan Karimunjawa bisa mencapai 2.5 hingga 3 meter. Gelombang setinggi itu berbahaya bagi keselamatan transportasi laut. Hal tersebut kadang memaksa kapal-kapal tongkang untuk berlabuh, atau berlindung di pulau-pulau yang tersebar di Karimunjawa. Pulau Gosong Cilik dan Tengah, misalnya, merupakan dua pulau yang kerap dijadikan sasaran ketika kapal tongkang berlabuh.
Warga Karimunjawa, Jarhanudin, mengatakan banyak kapal tongkang memaksa masuk ke perairan dangkal Karimunjawa. Padahal sudah jelas pantai di pulau-pulau tersebut tidak diperuntukkan untuk kapal-kapal ukuran besar. Aktivitas sandar tersebut, menurutnya, juga memicu kerusakan lingkungan akibat limbah batu bara yang terjatuh ke laut.
“Kerusakan terumbu karang di Karimunjawa sudah berulang kali kami adukan, tapi jarang ditanggapi oleh pemerintah,” ujarnya.
Meski terdapat larangan bersandar bagi kapal tongkang, menurut kesaksian Jarhanudin kebanyakan awak kapal tidak mengindahkan peraturan tersebut saat terjebak cuaca buruk. Lebih parahnya lagi, beberapa warga lokal justru memfasilitasi dengan memberi panduan agar kapal-kapal tersebut dapat bersandar.
“Di sana terdapat masyarakat pemilik jaringan radio yang memfasilitasi pemandu tongkang secara ilegal,” kata Jarhanudin. “Kemungkinan mereka memang bekerja untuk swasta.”
Organisasi nirlaba Indonesia Coral Reef Network (I-CAN) yang telah meneliti kerusakan terumbu karang di Karimunjawa akibat kapal tongkang mencatat kerugian yang jika ditotal mencapai Rp28 miliar. Menurut Amiruddin dari I-CAN, pemulihan terumbu karang bisa memakan waktu hingga 30 tahun, sehingga ganti rugi materi sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. Terutama jika pemilik kapal tongkang tidak pernah memerhatikan arah mata angin saat menyandarkan kapalnya.
“Selama ini pengusutan terhadap insiden kapal tongkang yang merusak terumbu karang tidak pernah tuntas, sehingga ada kesan pembiaran,” kata Amiruddin. “Padahal untuk mengembalikan kondisi terumbu karang perlu waktu lama. Luas terumbu karang yang rusak dipastikan akan terus bertambah.”