FYI.

This story is over 5 years old.

Pelanggaran HAM

Perang Narkobanya Hendak Diusut Pengadilan Internasional, Duterte Pilih Dihukum Mati Saja

Presiden Filipina itu menantang balik Jaksa ICC, mengaku tak sudi dipenjara atas kebijakannya yang menewaskan lebih dari 12 ribu warga sipil.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengikuti apel pasukan khusus ranger angkatan darat di Kota San Miguel, Provinsi Bulacan. Foto oleh Romeo Ranoco/Reuters

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyerang balik Pengadilan Pidana Internasional (ICC) karena telah berusaha menggelar penyelidikan terhadap kebijakannya mendukung pembunuhan tanpa peradilan terhadap pengguna narkoba. Perang narkoba ala Duterte itu memakan korban hingga belasan ribu orang di seluruh provinsi, selama dua tahun terakhir. Duterte berkata lebih baik mati di tangan regu tembak ketimbang menjalani hukuman penjara, andai dia dinyatakan bersalah oleh ICC.

Iklan

“Saya tidak mau dipenjara. Saya akan meminta dicarikan sebuah negara yang menjatuhkan hukuman mati saja,” kata Duterte pada para reporter dalam konferensi pers yang digelar akhir pekan lalu. “Silakan saja ICC melanjutkan investigasinya. Tetapkan saya bersalah, tentu saja. Silakan saja.”

Sehari sebelum Duterte menggelar konferensi pers, Jaksa Pengadilan Pidana Internasional Fatou Bensouda mengumumkan kalau lembaga hukum di bawah PBB tersebut akan menjalankan “pemeriksaan awal” terhadap tuduhan-tuduhan terkait “tewasnya ribuan orang atas alasan-alasan yang berkaitan dengan tuduhan keterlibatan mereka dalam penggunaan dan perdagangan obat-obatan ilegal.” Pembunuhan terduga pengedar, bandar, maupun pecandu narkoba di Filipina marak setelah Duterte menjabat presiden.

Kepolisian Filipina hanya bersedia mengakui tewasnya sekitar 4.000 “individu terkait aktivitas narkoba” sejak 1 Juli 2016. Duterte sejak masa kampanye sudah berjanji memerangi narkoba secara brutal, baik itu memakai polisi maupun kelompok paramiliter yang didukung pemerintah. Kelompok pembela hak asasi manusia menyampaikan jumlah keseluruhan korban jauh lebih besar dari keterangan resmi pemerintah. Sebagian besar korban yang ditembak mati atau diculik lalu dibuang sebagai mayat adalah pengguna ataupun pengedar narkoba kelas teri. Human Rights Watch memperkirakan lebih dari 12.000 orang telah dibunuh akibat perang narkoba Duterte.

Dalam konferensi pers tersebut, Duterte sekaligus menyampaikan permintaan pribadi pada Bensouda. “Saya meminta hak khusus yang langka untuk berbicara dengan Anda. Sebaiknya hanya kita berdua dalam ruangan,” ujarnya.

Duterte sangsi Pengadilan Pidana Internasional memiliki yuridiksi di Filipina, karena pengumuman resmi mengenai masuknya Statuta Roma Pengadilan Pidana Internasional pada 2011 tidak pernah dicetak dalam surat kabar resmi negara tersebut. Artinya, Filipina tidak terikat pada kerja-kerja ICC, maupun bisa diseret ke Pengadilan yang terdapat di Kota Den Haag belanda tersebut.

Kelompok pembela HAM menyambut baik rencana Pengadilan Pidana Internasional mengusut perang narkoba brutal Filipina. Tindakan-tindakan yang dilakukan selama kepresidenan Duterte “sudah melewati ambang batas definisi kejahatan kemanusiaan,” ujar James Gomez,Direktur Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik untuk Amnesty Internasional.