Jane Kou pencipta aplikasi jual makanan sisa
Semua foto milik Lliam Milkins
The Year We Woke Up

Perempuan asal Australia Ciptakan Aplikasi Jual Makanan Sisa Layak Dikonsumsi

Perempuan 25 tahun ini berupaya mengerem pemborosan makanan di Australia.
AN
Diterjemahkan oleh Annisa Nurul Aziza
Jakarta, ID

Dalam rubrik “ The Year We Woke Up”, VICE mengangkat kisah sosok-sosok yang tak takut melakukan perubahan sepanjang 2019. Kami merayakan anak muda, seniman, maupun aktivis yang menyadarkan kita semua agar berani memulai langkah mewujudkan perubahan.


Industri perhotelan Australia rata-rata membuang 100 kilogram makanan setiap minggunya. Per tahun, sebanyak 7,3 juta ton limbah makanan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir. Jane Kou berusaha menghentikannya. Perempuan 25 tahun ini pun tergerak mengembangkan Bring Me Home yang menghubungkan pengguna kepada para pedagang yang memiliki kelebihan makanan. Aplikasi ini hampir mirip layanan pesan antar makanan di Indonesia, hanya tanpa jasa antar saja. Bedanya lagi, makanan yang dijual Bring Me Home terancam dibuang.

Iklan

Saya mengajak Jane bertemu di Eclipse Specialty Coffee, salah satu mitra Bring Me Home di pusat kota Melbourne. Sialnya, mobil saya malah bermasalah di tengah jalan. Baru kali ini saya telat datang wawancara. Merasa tak enak dengan Jane, saya mengirim video asap yang mengepul dari mobil dan berlari ke kafe. Bukannya kesal, Jane justru menyambut saya sepenuh hati. “Gapapa, santai! Semoga semuanya baik-baik saja!” katanya. Dia lalu menceritakan pernah mengalami hal serupa.

1576136042045-06

Semua foto milik Lliam Milkins

Setelah ngobrol sebentar dengannya, saya bisa memastikan kalau Jane orang yang baik. Dia bilang dibesarkan di Macau oleh keluarga imigran Cina daratan yang menanamkan budaya kerja keras dari kecil. Konsep Bring Me Home bahkan sudah terbentuk di otaknya sejak dia masih remaja.

“Saya bekerja di kafe saat masih 16 tahun dan belum lulus SMA. Di situ, saya enggak habis pikir kenapa makanan layak dikonsumsi malah dibuang,” terangnya.

Dia lalu menanyakannya kepada kepala koki. Ternyata meski kondisi makanannya masih bagus, sudah enggak oke kalau dijual kembali keesokan harinya.

“Melihat makanan yang dibuang enggak sedikit, saya menjadi penasaran seberapa besar permasalahan ini,” lanjut Jane.

Pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya selama bertahun-tahun. Pada umur 18, Jane merantau ke Australia untuk berkuliah S1 Bisnis di Universitas Melbourne. Jane mengetahui soal Too Good To Go, perusahaan Inggris yang melawan pemborosan makanan, ketika sedang melanjutkan S2. Konsep usahanya sederhana. Siapapun yang mendaftar di aplikasi akan dihubungkan kepada pelaku usaha yang kelebihan makanan. Harganya sudah didiskon. Tertarik, Jane menghubungi CEO Too Good To Go lewat LinkedIn.

Iklan

“Saya mendorong mereka mengembangkan bisnisnya ke Australia. Mungkin karena dulu saya masih muda dan belum berpengalaman, jadi nekat banget mengirim pesan seperti itu,” ungkapnya sambil tertawa. “Idenya sangat brilian, dan saya merasa tolol enggak pernah kepikiran usaha semacam ini. Mudah dilakukan dan ada potensi berkembang di seluruh dunia.”

1576136067365-03

Jane mulai bekerja sebagai asisten di kantor cabang Too Good To Go Australia. Sayang sekali, usahanya enggak bertahan lama di sana.

“Mereka akhirnya mengundurkan diri. Walaupun begitu, saya sudah belajar mana-mana saja yang bisa dilakukan dan enggak. Saya pun memutuskan melakukannya sendiri. Saya yakin kalau pakai caraku sendiri, bisnis ini enggak akan berakhir seperti sebelumnya.”

Bermodal restu Too Good To Go, Jane menciptakan Bring Me Home di Australia. Dia sempat ragu awalnya, tetapi acara Shark Tank menginspirasi Jane untuk mendaftar Nomor Bisnis Australia (ABN) dan melanjutkannya pada akhir 2017.

“Saya harus stabil secara finansial untuk menjalani bisnis itu, jadi saya mencari pemasukan sebagai asisten peneliti di Universitas Melbourne,” terangnya.

Aplikasinya sudah siap digunakan pada awal 2018, tetapi dia ingin memastikan terlebih dulu Bring Me Home enggak akan gagal total.

“Saya ingin memvalidasi pandanganku. Kira-kira pada kuartal kedua 2018, saya menguji coba aplikasinya di kampus. Saya pikir mahasiswa bakalan suka makanan diskon, jadi saya mencetak kupon dan bermitra dengan kafe-kafe di beberapa fakultas Universitas Melbourne. Saya bilang, ‘saya bisa lho jual makanan sisa kalian kalau mau bermitra.’”

Iklan

Eksperimen Jane sukses berat, lebih besar daripada yang diharapkan. “Saya menjual kuponnya ke mahasiswa hampir setiap hari. Saya kewalahan ketika akhirnya bertambah jadi 40 tester pilot, maka saya membatasinya tak lebih dari 40 orang. Lama-kelamaan, saya menerima pesan dari mahasiswa Monash. Mereka kepingin Bring Me Home ada di kampus mereka juga.”

Jane pun mengunjungi Clayton untuk bermitra dengan kafe-kafe di sana. Banyak sekali mahasiswa Monash yang tertarik dengan Bring Me Home. Jane melihat orang-orang sangat menyukai konsep ini. “Saya mengakhiri uji cobanya setelah enam minggu,” tuturnya.

1576136090773-07

Selama masa uji coba, dia berhasil “menyelamatkan” 200 makanan lebih. Ini meyakinkan Jane benar-benar ada permintaan di sana. Dia mengekspresikan keterkejutannya, “Saya sempat mengira kuponnya dibeli tapi enggak dipakai. Saya siap mengembalikan semua uang mereka. Ternyata saya salah.”

Kedengarannya mungkin mudah, tapi Jane mengaku sering meragukan keputusannya. “Saya rasa ini hal yang wajar di dunia startup, dan saya punya trik sendiri untuk menghentikannya. Saya biasanya mencari konten motivasi di internet, dan belajar memahami apa yang terjadi di dalam otakku. Kenapa saya merasa seperti ini? Apa karena kelelahan dan butuh istirahat? Saya sering mendiagnosis sendiri, dan baru meminta pertolongan tergantung masalahnya apa,” ujarnya.

Jane selalu minta saran ke mentor atau berolahraga kalau menghadapi masalah terkait pekerjaan. “Kalau ada hubungannya dengan kurang percaya diri, saya akan meningkatkan rutinitas olahraga agar tubuh lebih sehat dan bisa melewati rintangannya… Saya baru konsultasi ke psikolog kalau sudah berurusan dengan kesehatan mental. Saya rasa orang jarang membahas ini karena masih tabu, tapi enggak ada yang salah lho kalau kamu punya terapis,” kata Jane.

“Setiap kali kepingin berhenti, saya langsung menanyakan diri sendiri kenapa berpikiran seperti itu. Saya lalu mencari solusinya—dan itu kebanyakan bergantung pada kemauan keras. Buat saya pribadi, meyakinkan diri apa yang saya lakukan dapat membuat dunia lebih baik selalu berhasil menyemangatiku.”

Sebelum berpisah, saya meminta saran dari Jane buat para pembaca yang merasa tak mampu melakukan perubahan. “Saya pernah dengar kutipan,” katanya setelah beberapa menit berpikir. “ If you think you’re too small to make a difference, try sleeping in a room with a mosquito.”

Follow David di Twitter atau Instagram

Artikel ini pertama kali tayang di VICE AU.