Sulit Nikahi Kekasihnya yang Beda Agama, Lelaki Papua Gugat UU Perkawinan ke MK

UU Perkawinan digugat ke MK lelaki Papua beragama katolik sulit nikahi kekasihnya yang islam

Untuk kali kedua, judicial review UU 1/1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Penggugatnya adalah Ramos Petege, warga Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Provinsi papua. Ia menggugat pasal tersebut karena membuatnya yang seorang Katolik tak bisa menikahi kekasihnya yang muslim.

UU Perkawinan 1974 Pasal 2 ayat 1 berbunyi, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Selama bertahun-tahun, pasal ini menimbulkan kekosongan hukum mengenai pernikahan beda agama. Pasal ini mewajibkan bahwa pernikahan sah di mata hukum jika sudah sah di mata agama.

Videos by VICE

Masalahnya dalam kasus pasangan beda agama, tak ada keterangan dengan agama apakah pernikahan dilangsungkan, salah satu atau keduanya? Ditambah ada perbedaan pencatatan pernikahan oleh negara, yakni pernikahan Islam di Kantor Urusan Agama dan selain Islam di Catatan Sipil. Ketika UU Perkawinan 1974 direvisi, lewat UU 16/2019, aturan nanggung tersebut tak diperbaiki. 

Dalam gugatannya, Ramos mengatakan ketidakjelasan hukum tersebut membuatnya tak bisa menikahi kekasih yang sudah berhubungan dengannya selama 3 tahun. Perbedaan agama membuat keduanya batal menikah. 

“Ketidakpastian tersebut secara actual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki pemohon sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinannya karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodir negara,” bunyi gugatan Ramos, yang diwakili 8 kuasa hukum, dilansir Detik. Gugatan itu menyebut UU Perkawinan Pasal 2 ayat 1 bertentangan dengan UUD Pasal 29 ayat 1 dan 2 tentang kebebasan beragama dan beribadat sesuai agama dan kepercayaan, serta bertentangan dengan UU 39/1999 Pasal 10 tentang hak asasi manusia.

Lewat gugatan tersebut, Ramos mengajukan agar pasal direvisi sehingga isinya membolehkan pernikahan beda agama.

Meski hukum tak melarang, pernikahan beda agama memang sulit dilakukan dan kerap jadi alasan bubarnya cinta pasangan-pasangan beda keyakinan. Alhasil, muncul sejumlah trik mengakali kendala ini. Dikutip dari Hukum Online, Guru Besar Hukum Perdata UI Prof. Wahyono Darmabrata menyebutkan 4 cara yang biasa dipakai dalam pernikahan beda agama, yaitu meminta izin pengadilan, menggelar pernikahan menurut agama masing-masing pihak, menggelar pernikahan menurut agama salah satu pihak, dan menikah di luar negeri. Praktik lain yang tidak disebut Wahyono, namun tak kalah populer, adalah dengan berpura-pura pindah agama

“Secara konstitusi, [nikah beda agama] sangat memungkinkan. Misalnya dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974, itu kan tidak ada pelarangan soal pernikahan beda agama,” aktivis Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Ahmad Nurcholish mengatakan kepada VICE.

“Di sana [UU Perkawinan 1974] hanya diatur soal bagaimana pernikahan itu dilaksanakan, yakni harus sesuai dengan hukum agamanya masing-masing,” tambah Ahmad yang diwawancarai, sudah membantu 827 pasangan beda agama agar bisa menikah secara resmi di Indonesia. Sebanyak kesemua pernikahan beda agama yang ia fasilitasi, 99 persen memilih menikah dengan prosesi dua agama.

Kekosongan hukum itu, sebut Ahmad, membuat muncul tafsir berbeda-beda tentang boleh-tidaknya pernikahan beda agama. Misalnya, ia menyebut, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dibuat berdasarkan Inpres 1/1990 yang menganggap nikah beda agama tidak sah. 

Selain itu, tidak semua kantor Dukcapil mau mencatat pernikahan pasangan beda agama karena kadung menganggap tidak boleh. “Ini persoalan ketidaktahuan aparat hukum. Mereka sendiri sebagai penyelenggara negara tidak memahami konstitusinya sendiri. Sehingga mereka tidak mengakomodasi pernikahan beda agama,” kata Ahmad kepada VICE. “Hal itu diimplementasikan olehnya ketika melayani pelayanan publik.” 

Sebelum Ramos, pasal yang sama di UU Perkawinan juga pernah diajukan judicial review-nya oleh 5 mahasiswa dan alumni FH UI pada 2014. Gugatan ini bermaksud meminta hakim memberi tafsir atas legalitas pernikahan beda agama di Indonesia. Namun, hakim MK menolaknya.

Walau begitu, Komnas HAM mendukung substansi gugatan tersebut. “Masalah apakah kawinnya sah secara agama, itu bukan domainnya negara. Itu haknya para tokoh agama,” kata Komisioner Komnas HAM M. Imdadun Rahmat kepada Hukum Online. “Jangan malah negara menghambat dan mendorong orang melakukan penipuan-penipuan [demi bisa menikah beda agama],” tambah komisioner lain, Dianto Bachriadi. Ia menambahkan, hak asasi untuk bebas memilih pasangan dan menikah dijamin oleh UU 39/1999 tentang HAM Pasal 10 ayat 1 dan 2. 

Gugatan Ramos mengingatkan kami pada geger nikah beda agama aktris Lydia Kandou dan penyanyi Jamal Mirdad pada 1986, dua belas tahun setelah UU Perkawinan terbit. Di tahun itu, Lydia dan Jamal bersikeras menikah secara legal dengan cara meminta izin kepada PN Jakarta Selatan. Permohonan izin menikah tapi dengan tetap memegang keyakinan masing-masing itu–Lydia Kristen, Jamal Islam–dikabulkan hakim. 

“Mereka hanya berbeda agama. bisa saja pernikahannya dilangsungkan di Catatan Sipil,” ujar Hakim Endang Sri Kawuryan yang menyidang permohonan, dilansir Tempo. Sidang izin nikah Lydia dan Jamal heboh sebenarnya bukan karena faktor beda agama, melainkan drama personal. Jamal rupanya telah punya anak dari perempuan lain, dan membuat ibu kandung Lydia menolak pernikahan keduanya. Setahun kemudian, pada 1987, pasangan ini mengungkap bahwa sudah dikaruniai anak pada 1985, sebelum pernikahan mereka disahkan negara.