Konten Viral

Turis Asing Kerap Berulah di Bali Selama Pandemi, Gubernur Kaji Hukuman Lebih Keras

Saat di Twitter turis AS diserang karena promosi pindah ke Bali bisa memicu gentrifikasi, Satpol PP pusing menghadapi puluhan bule Eropa Timur yang menyepelekan aturan Covid-19 Pulau Dewata.
Gubernur Bali I Wayan Koster Kaji Rencana Hukuman Lebih Keras bagi turis asing pelanggar protokol kesehatan
Ilustrasi turis asing menikmati pemandangan di pantai Bali. Foto oleh Cassie Gallegos/Unsplash

Selain badminton, melawan opini jelek warga negara asing sotoy di internet terbukti mampu menyatukan netizen Indonesia. Akhir pekan lalu, warganet Twitter naik pitam setelah pemudi asal Amerika Serikat bernama Kristen Gray mencuit indahnya pindah ke Bali, karena terbukti bermanfaat untuk kesehatan mental dan kantongnya.

Meski thread-nya sekilas mengharukan dan positif, pernyataan Gray dalam rangkaian twit itu memicu kontroversi, memicu debat panjang netizen seputar efek negatif pariwisata, perilaku orang asing di Bali, aturan pajak, tudingan rasisme, sampai rumor penyalahgunaan visa.

Iklan

Awalnya Gray mengeluh tentang kehidupan kelamnya di Los Angeles, terkhusus soal diskriminasi yang ia terima karena orientasi seksualnya, serta biaya hidup AS yang supermahal. Curhatan publik itu ditambahi perasaan takjub saat ia pindah ke Bali karena membuatnya sanggup naik kelas sosial dalam sekejap: punya gaya hidup parlente di bawah lindungan rumah sewa fancy seharga Rp5,6 juta sebulan. 

Problemnya dimulai ketika si turis ini mempromosikan orang negara dunia pertama agar tak ragu pindah ke Bali sampai jualan e-book tips dan trik untuk pindah ke Indonesia.

Gray oleh netizen Indonesia dianggap tidak sadar, privilesenya sebagai penduduk negara dunia pertama yang pindah ke Bali membawa perubahan sosial bernama gentrifikasi. Itu sebutan untuk perubahan sosial saat daerah dengan tingkat ekonomi rendah kedatangan kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi.

Dari sana, pendatang mendadak makmur sentosa dan dengan mudah menguasai berbagai aset karena kekuatan ekonominya, memicu kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar dari penduduk asli Bali. Biaya hidup yang konsisten naik dan terlampau mahal bagi penduduk lokal akibat aktivitas ekonomi para pendatang yang gila-gilaan, membuat mereka enggak kuat bersaing dan terpinggirkan. Pengakuan kontroversial si turis asing ini jadi pembahasan netizen sepanjang akhir pekan lalu (lengkap dengan komedinya).

Iklan

Cuitan Gray juga mengandung problem lain: doi menyemangati orang asing lain yang membaca thread-nya agar tak ragu pindah ke Bali di masa pandemi, termasuk dengan nawarin agen pembuat visa yang bisa masukin bule ke Indonesia dengan cepat.

Warganet otomatis keinget dengan sejumlah berita bule-bule di Bali yang sengaja melanggar protokol kesehatan. Gray sendiri diserang bukan karena pelanggaran protokol kesehatan. Cuma thread-nya yang viral muncul, saat warga Bali sendiri sudah kadung lelah sama perilaku turis asing bandel.

Kasus turis asing sengaja melanggar aturan pandemi meningkat beberapa bulan terakhir. Misalnya kasus House of Om, Gianyar. Publik internet saat itu dibuat gempar sama video kerumunan bule bikin acara yoga tanpa jaga jarak. Akibatnya, pendiri House of Om sekaligus penanggung jawab acara Barakeh Wissam dinyatakan bersalah dan dideportasi ke negara asalnya, Suriah.

“Kegiatan WNA yang menyelenggarakan yoga massal di House of Om yang viral di media sosial, pada tanggal 18 Juni 2020, jam 17.00 sampai dengan 19.00 WITA. Orang asing mengadakan kegiatan meditasi massal dengan jumlah peserta diperkirakan berjumlah 60 orang dan menimbulkan keresahan di tengah larangan-larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada masa pandemi Covid-19,” kata Kepala Kantor Kemenkumham Bali Jamaruli Manihuruk pada jumpa pers, dilansir Detik.

Iklan

Wilayah ramah turis di Bali seperti Denpasar, Badung, Jembrana, Tabanan, dan Gianyar udah masuk zona merah pandemi. Pasien yang terdata sudah mencapai 21 ribu kasus, per 17 Januari. Namun, Kepala Satpol PP Badung I Gusti Agung Kerta Suryanegara masih saja harus ketemu para wisatawan, khususnya turis asing, yang enggak mau patuh prokes. Padahal, sudah ada Peraturan Gubernur No. 46/2020 yang mewajibkan penggunaan masker.

Saat dikonfirmasi VICE, Suryanegara merasa petugasnya kadang merasa direndahkan saat menjalankan tugasnya oleh para turis asing.

“Kadang-kadang [petugas satpol PP di lapangan] sakit hati, sudah dihukum push-up, kerja sosial, mereka [turis asing] ketawa-ketawa senang aja. Gimana perasaan kita enggak tersinggung,” kata Suryanegara. Bahkan, sebut Suryanegara, saat baru diberhentikan dan mau didenda, kadang para turis asing langsung mengeluarkan uang untuk membayar. “Kan, harga denda Rp100 ribu itu rendah sekali di mata mereka,” cerita Suryanegara. Ada juga bule yang marahin balik Satpol PP sambil mengumpat “Tahu apa kamu soal pandemi!”

Suryanegara lantas menyatakan pada hari ini, Senin (18/1) sudah digelar rapat bersama antara jajaran petugas keamanan dengan Gubernur Bali I Wayan Koster. Orang nomor satu Bali itu berniat mengevaluasi kelakuan bule sepekan ke depan. Kalau tidak kapok, Gubernur akan menyampaikan ke Kejaksaan Agung dan Polri apakah bisa membuat peraturan yang beda antara pelanggar protokol kesehatan WNA dan WNI. 

Saat ditanya asal negara turis yang kerap berulah untuk urusan prokes, Suryanegara menyebut mayoritas bule nakal itu datang dari Eropa Timur, seperti Rusia, Rumania, Ukraina, Ceko. Satpol PP Badung sendiri telah menghukum enam orang asal Rusia yang santai di Pantai Cemagi tanpa menggunakan masker. Total, selama tujuh hari terakhir, Satpol PP Badung menegur 71 turis asing bandel.

Satu hambatan utama ketika Satpol PP mau menertibkan turis-turis ini: pelanggar protokol kesehatan di Bali hanya dikenai sanksi administratif. Kini ia telah menyurati kantor imigrasi dengan harapan ada hukuman lain yang bisa dijatuhkan kepada pelanggar, misalnya dengan menunda penerbitan visa mereka.

Terkait opsi deportasi, Suryanegara mengeluhkan kantor kedutaan dan konsulat Eropa Timur yang tidak responsif. “Ini kesulitan imigrasi. Ada beberapa yang tidak bisa dipulangkan, konsulat tidak merespons karena mereka juga kesulitan dana untuk mengurus warganya yang ada di Indonesia, khususnya di Badung. Mereka aja kebingungan, apalagi kita,” kata Suryanegara.