Brian Amanda mungkin tak pernah membayangkan menjadi satu-satunya remaja di kampung tempat tinggalnya. Lelaki 16 tahun tersebut lahir dan besar di Kampung Pitu, sebuah desa di puncak timur situs gunung api purba Nglanggeran, Yogyakarta di ketinggian 740 meter di atas permukaan laut. Kampung Pitu begitu terpencil dan berbahaya, hingga cuma ada tujuh keluarga yang mendiami desa itu. Kendati butuh upaya lebih naik turun gunung buat bersekolah dan nongkrong bareng teman-temannya, Brian betah tinggal di situ.
Kampung Pitu konon adalah tanah yang bertuah. Di desanya ada peraturan adat, hanya tujuh keluarga yang boleh tinggal di sana. Tak kurang, tak lebih. Konon juga, tak semua orang ‘kuat’ atau sanggup tinggal di sana.
Videos by VICE
Puncak timur Kampung Pitu cenderung sepi dan jarang dilalui orang asing, berkebalikan dengan puncak barat yang dikunjungi 170 ribu wisatawan saat tahun baru 2019. Satu-satunya akses jalan menuju ke kampung itu adalah lewat jalan semen yang diapit batuan andesit raksasa di kanan-kiri.
Dari jalan raya di kaki gunung, VICE perlu waktu sekitar 30 menit dengan motor untuk sampai ke Kampung Pitu. Sepanjang jalan harus waspada karena kelokan berliku, penuh tanjakan curam, dan kadang semennya beralih jadi makadam. Jalanan itulah yang dilalui Brian saban hari.
Siang itu Brian sedang mengutak-atik motor bebek oranye kesayangannya di teras rumah. Di Kampung Pitu, jarak satu rumah ke rumah lain berjauhan. Tujuh keluarga di kampung ini berpencar menempati lahan dengan kontur miring seluas ±7 hektare. Meski begitu, semua tetangga Brian sebenarnya adalah sanak-saudara karena seluruh penghuni Kampung Pitu adalah keturunan Eyang Iro Kromo, sesepuh pendiri Kampung Pitu yang ceritanya penuh selubung mistis. Dan memang hanya mereka yang boleh tinggal di sana.
Hal ini juga yang membuat Brian tak punya teman sebaya di Kampung Pitu. Ia sendiri belum punya rencana apa-apa tentang masa depannya.
“Belum tahu karena masih sekolah. Tapi penginnya nanti ya ke kota, supaya dekat dengan jalan raya, di sini apa-apa jauh,” ujarnya polos.
VICE kemudian bertandang ke rumah Redjo Dimulyo, warga tertua yang berusia 102 tahun yang sekaligus merupakan juru kunci Kampung Pitu. Ia adalah cicit dari Eyang Iro Kromo, pemenang sayembara yang diadakan diadakan Keraton Yogyakarta untuk menjaga pusaka bernama Pohon Kinah Gadung Wulung yang ditemukan di puncak gunung Nglanggeran ini. Konon pusaka ini sangat kuat, hingga tak sembarang orang mampu merawatnya. Sebagai imbalan, ia mendapat tanah untuk hidup dan bisa diwariskan ke keturunannya hingga entah kapan.
“Sekarang pusakanya dimana ya nggak kelihatan, tapi ada. Gunung Nglanggeran itu kan kepalanya Gunung Merapi, jadi memang sakral, tanahnya berbahaya di sini. Nggak semua orang kuat tinggal di sini,” ujar Redjo.
Menurut Redjo, desanya ini ada sejak tahun 1400-an, “Kalau dihitung nggak masuk akal ya? Masak 600 tahun juru kuncinya baru empat? Tapi eyang saya itu pas meninggal tahun 1925 umurnya 210, orang dulu memang sakti mandraguna”.
Tak jauh dari rumah Redjo, terdapat makam kuno dimana seluruh sesepuh dan warga Kampung Pitu yang meninggal disemayamkan. Dalam bahasa Jawa halus, Redjo menuturkan bahwa pantangan tujuh kepala keluarga di Kampung Pitu memang sangat genting. Aturan utamanya soal tujuh KK dan kepemilikan turun-temurun harus dipatuhi, jika tidak nyawa yang jadi taruhannya. Saat ini, Kampung Pitu dihuni tujuh KK dan terdiri dari 30 jiwa.
“Kalau ada orang ingin tinggal di sini silahkan saja, nggak ada yang ngelarang. Cuma sudah diperingatkan, nggak semua orang kuat tinggal di sini,” ujar Redjo. Ia sendiri tinggal bersama keluarga anak bungsunya, Surono yang berumur 35 tahun. Dari 16 anaknya, Surono adalah satu-satunya yang ikut tinggal di Kampung Pitu dan calon penerusnya.
Ia ingat, suatu hari di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX ada satu kyai yang tiba-tiba datang dan bersikukuh ingin tinggal di sana. “Pak Kyai beralasan ini tanah negara jadi bebas ditinggali. Dia mau jadi keluarga ke-8, saya peringatkan kalau itu melanggar adat, dia ngeyel. Akhirnya belum selesai bangun rumah, tiba-tiba aja dia meninggal nggak tahu sebabnya apa”. Hal seperti itu beberapa kali terjadi hingga dalam empat dekade terakhir ini tak ada yang berani lagi mencoba.
Meski tak menjelaskan secara gamblang, menurutnya pantangan itu didasari hukum alam bahwa jumlah semesta itu ada tujuh. Redjo percaya bahwa desanya adalah papan pancer alias pusat semesta, maka dari itu keseimbangannya harus dijaga. Tapi memang peraturan adat itu secara teknis membuat ekosistem di Kampung Pitu terjaga. Satu keluarga di Kampung Pitu rata-rata punya tanah seluas 1 hektare, secara keseluruhan lebih banyak tanaman ketimbang bangunan buatan manusia. Kampung Pitu juga bebas dari resiko polusi udara dan suara karena mata pencaharian warganya adalah bertani dan berkebun sehingga udara di Kampung Pitu sejuk dan subur.
Selama ini, penambahan dan pengurangan KK dalam trah Iro Kromo berlangsung secara organik. “Seperti sudah diatur. Kalau anaknya banyak, biasanya cuma 1-2 yang ingin tinggal di sini. Kalau ada ingin daftar KK sendiri, biasanya ada aja yang tiba-tiba meninggal. Selalu begitu dari dulu, otomatis,” jelasnya.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan orang luar untuk tinggal di Kampung Pitu adalah dengan menikahi warga sana. Seperti yang dilakukan Dalino, laki-laki asal Klaten yang kini menetap di Kampung Pitu sejak menikah tahun 1978. Istrinya adalah cucu-sepupu Redjo Dimulyo. Sebagai orang luar, ia tak banyak berkomentar soal aspek mistis desa yang ia tinggali. Soal pantangan tujuh KK pun, ia lebih memilih alasan yang lebih logis.
“Mungkin dari dulu tujuh itu karena akses ke sini memang susah, apalagi kalau hujan jalanan ke bawah itu jadi lumpur semua. Pas saya pindah ke sini masih zaman larang pangan, panen cuma sekali setahun, itupun diganggu sama hama kera. Secara ekonomi susah,” ujar Dalino. Akses ke sini memang susah, jalanan semen yang saat ini diandalkan baru dibangun tahun 1999, sebelumnya warga Kampung Pitu berjalan kaki.
Ia menyambut VICE di rumahnya yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah Redjo. Dalino juga adalah orang yang merawat Telaga Guyangan alias Telaga Pelanggeran, salah satu situs sakral yang juga merupakan sumber mata air yang diandalkan warga Kampung Pitu. Warga percaya air di telaga ini biasa digunakan para dewa dan bidadari untuk membasuh kuda sembrani alias kuda bersayap kendaraan mereka. “Beberapa warga pernah melihat, kuda terbang menclok di batu seberangnya,” ujar Dalino. Saat ini, telaganya ditanami padi dan diganti dengan sebuah sumur di bawah pohon beringin besar. Sesaji berupa kemenyan dan kembang tujuh rupa tak pernah absen di akar pohonnya.
Hari itu Dalino mengantar VICE berkeliling Kampung Pitu. Sekilas memang kampung ini tak ada bedanya dengan desa-desa lain. Rumah-rumah berdiri berjauhan, sekiranya jika ada pasangan suami-istri bertengkar tak akan ada tetangga yang mencuri dengar. Ini karena topografi tanah yang tak rata, juga batas kepemilikan tanah yang luas. Sebuah mushala cukup megah berdiri di sisi perempatan jalan utama, beberapa ratus meter di belakangnya sebuah pendopo kayu berdidi kokoh. Representasi tepat untuk warga Kampung Pitu yang menjalankan syariat Islam dengan sinkretisme ajaran Jawa. Rumah-rumah disana hampir semua berbentuk limasan Jawa, namun beberapa sudah lebih modern. Kandang sapi dan kambing berdiri sahaja di samping tiap rumah, penghuninya mengembek bahagia tak pernah kekurangan makan.
Kampung Pitu sendiri sebenarnya bukan benar-benar kampung, ia adalah bagian kecil dari sebuah desa. Secara administratif, Kampung Pitu tergabung di RT19 RW04, Padukuhan Ngglangeran Wetan, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Keangkeran Kampung Pitu membuat tak ada warga sekitar yang ingin ikut tinggal di sana.
Pantangan lain yang ada di sini adalah menggelar pertunjukan wayang, apalagi dengan lakon Raden Ongko Wijaya. Semasa kecil, Redjo melihat sendiri salah satu leher warga digorok oleh ‘pelaku misterius’ ketika kepala desanya menggelar wayangan untuk memeringati ulang tahun.
“Kalau punya niat macam-macam, apalagi sampai melanggar pantangan, nggak akan pulang dengan selamat. Tubuhnya mungkin pulang, tapi nyawanya entah kemana,” jelas Redjo.
Sambil berjalan dan memetiki sayur untuk dimasak, Dalino mengeluhkan bahwa saat ini warga Kampung Pitu didominasi orang tua. “Setelah selesai sekolah, anak-anak muda di sini biasanya memilih untuk merantau dan tinggal di kota,” ujarnya.
Diam-diam Dalino berharap semua anaknya mau tinggal di Kampung Pitu, meskipun harus melanggar adat. “Kalau ada anak saya yang minta dibangunkan rumah disini ya monggo, akan saya bikin. Toh, tanah luas, daripada nasibnya nggak jelas di kota”.
Mitos yang melingkupi Kampung Pitu memang tak bisa dijelaskan secara logis, namun ia telah berfungsi menjaga ekosistem di sana tetap lestari. Dampak subtil yang bahkan sulit dilihat oleh mereka warganya sendiri. Sementara generasi muda mulai tergoda untuk berkompromi dengan pantangan adat tersebut, Redjo Dimulyo sebagai juru kunci punya tugas untuk tetap menjaga jalannya tradisi di puncak gunung Nglanggeran tersebut.
“Sayang juga ya, tanahnya luas dan sejuk tapi nggak bisa ditinggali orang lain. Tapi memang harus begitu, harus patuh sama alam,” jelas Redjo, giginya yang mulai ompong mengintip dari rekah senyum tuanya.