teknologi

Beginilah Pengalamanku Mengunjungi Pameran Seni NFT di Dunia Nyata

Pameran NFT offline mulai marak digelar dari New York hingga Jakarta. Gimana rasanya nonton NFT langsung? Apakah seseru mengamati lukisan di galeri? Berikut pengalaman kami.
Hatti Rex
London, GB
Perempuan berdiri di depan layar yang menampilkan gambar NFT
Penulis mengunjungi Quantus Gallery. Semua foto oleh Aiyush Pachnanda

Kalian semua yang anti NFT gak akan suka dengan artikel ini. Bagaimana tidak? Kancah seni kripto yang paling hina di mata kalian kini hadir di dunia nyata.

Akan tetapi, sepertinya orang-orang yang membenci NFT tidak bisa menemukan artikel ini. Mereka pasti sudah “mute” atau memblokir semua istilah yang berkaitan dengan non-fungible token dari hasil pencarian. Jadi kami berasumsi, para pembaca yang melihat ini memang penggemar berat kripto atau penasaran seberapa serius gambar-gambar yang hanya tersedia di internet.

Iklan

Belakangan ini, semakin banyak galeri yang memamerkan karya seni NFT secara offline. Kota New York menggelar pameran NFT “pertama di dunia” sekitar setahun lalu. Jakarta juga sudah punya pamerannya sendiri. Sementara itu, di Inggris, telah dibuka galeri NFT permanen bernama Quantus Gallery. Tempat tersebut akan memamerkan berbagai karya NFT yang telah di-mint ke dalam blockchain sepanjang tahun, menjadikannya yang pertama di seluruh Eropa. Quantus Gallery juga menjadi sarana belajar dari proses penciptaannya hingga jual beli NFT. 

Karya NFT Pierre Benjamin di Quantus Gallery.

Karya NFT Pierre Benjamin di Quantus Gallery.

Oke, pameran seni konvensional dan rumah lelang di Inggris sudah lama terjun ke dunia kripto. Namun, belum ada ruang fisik yang didedikasikan untuk karya-karya NFT seperti Quantus Gallery.

Saya pribadi bersikap netral terkait NFT. Saya pernah mencoba jualan seni kripto demi keperluan artikel, tapi ketertarikan saya tak lebih dari itu. Berharap bisa melihat langsung NFT fursona Lindsay Lohan dan Pepe the frog yang langka sebelum pembukaan resminya, saya mengajak fotografer VICE Yushy, bertualang ke dunia fisik NFT yang terletak di Fashion Street, London timur.

Iklan

Begitu memijakkan kaki di dalam gedung, kami langsung dikelilingi layar berisi NFT. Suasana Quantus Gallery tak setenang galeri seni kebanyakan. Alunan musik menggelegar ke seluruh penjuru ruangan. Entah vibe apa yang ingin diwujudkan oleh galeri, tapi saya terakhir kali mendengar lagu “Lovelyhead” Goldfrapp saat menonton kartun tentang suami yang sering membohongi istrinya.

Tiga orang laki-laki berpose di depan layar NFT

Josh Sandhu (kanan) bersama para penggagas Quantus Gallery.

“Kami bekerja sama dengan sejumlah seniman saat ini,” tutur co-founder galeri Josh Sandhu. “Pierre Benjamin fokus seni digital NFT. Tapi di sini, kami memamerkan seri NFT Bluntroller yang ada bentuk fisiknya.” Di dalam monitor, terlihat serangkaian karya Pierre Benjamin, seniman terkemuka di kancah NFT. Saya bisa langsung menebak gambar-gambar NFT Pierre karena sudah ngestalk akun Instagram galeri sehari sebelum kedatangan kami.

Pierre telah mencetak lebih dari 500 NFT, yang sebagian besar karyanya secara tidak langsung mengajak kita menebak siapa publik figur atau tokoh bersejarah dalam gambar. Kalau boleh jujur, karakter-karakter ciptaan Pierre mengingatkanku pada Stewie Griffin dalam film kartun Family Guy. Saya pun berpikir, mungkin kemiripan inilah yang membuatnya layak untuk dikoleksi.

Saat ditanya mengapa ada banyak sekali NFT yang bisa dikoleksi, Sandhu menyebut ada kaitannya dengan “sifat NFT yang digital dan tren saat ini”.

Iklan

“Saya tidak bermaksud bilang karya seninya lebih mudah diciptakan, tapi yang pasti seniman dapat memproduksi lebih banyak,” terangnya. Satu-satunya karya fisik yang dipamerkan di sana adalah lukisan cat semprot polisi mengejar donat naik hopper berbentuk babi.

Perempuan berdiri di belakang lukisan cat semprot polisi mengejar donat naik kendaraan berbentuk babi

Lukisan Bluntroller

Sandhu menjelaskan, kancah seni NFT kurang lebih sama saja seperti dunia seni tradisional. Yang berbeda hanyalah metode transaksinya. “Pada dasarnya, NFT adalah sertifikat keaslian,” ujarnya, menambahkan sifat NFT yang langka membuat gambar-gambar ini layak dikoleksi. “Jika kita menyamakannya dengan pasar seni yang menjual lukisan fisik beserta sertifikat penciptanya, kurang lebih seperti itulah NFT.”

Yang paling membedakan NFT dengan karya tradisional adalah, sertifikat ini tersimpan secara permanen di blockchain, sehingga lebih mudah untuk mengonfirmasi siapa saja yang memiliki gambarnya. “Dengan memiliki NFT, kamu bisa memajangnya di mana saja, mau itu di Apple Watch, ponsel dan sebagainya. Ini semua tentang memiliki aset.”

Iklan

Para troll sering menyindir bahwa siapa saja bisa dengan mudahnya menyimpan gambar “milik” orang lain. Istilahnya kamu cukup mengklik kanan untuk menyimpan seni NFT di komputer. “Seandainya Banksy menciptakan NFT, siapa saja bisa klik kanan dan menyimpan gambar Banksy, lalu mengatakan mereka telah ‘mencuri’ NFT. Padahal sebenarnya tidak,” kata Sandhu. “Mereka hanya mengambil gambarnya.”

Dia mengambil contoh foto selfie di depan lukisan Mona Lisa sebagai perbandingan. Foto bareng Mona Lisa tak serta-merta berarti kamu berhak memiliki lukisannya. Diam-diam saya memfoto gambar Theresa May demi pengalaman yang lebih maksimal. Siapa tahu saja, saya bisa jadi pedagang NFT kaya raya berkat foto itu.

Perempuan memfoto karya NFT bergambar Theresa May

NFT Theresa May

Dunia NFT sarat akan pencurian karya. Bukan tentang orang yang menyimpan gambarnya sebagai JPEG, melainkan banyak karya NFT yang merupakan hasil curian. Sebagaimana didokumentasikan akun Twitter @NFTtheft, semakin banyak seniman menemukan karya mereka dicuri dan dicetak sebagai NFT. Orang-orang tak bertanggung jawab menikmati keuntungan dari jerih payah orang lain.

Pertanyaannya, adakah cara menentukan karya NFT mana saja yang asli dan bukan hasil curian? “Jika seniman mempromosikan NFT di profil medsos mereka, karyanya mungkin asli,” tutur Sandhu. “Jika tidak, kalian harus waspada dan mungkin bisa bertanya [tentang keasliannya]. Saya sering lihat orang membeli karya Banksy, padahal dia tidak pernah menciptakan NFT.”

Setelah ngobrol-ngobrol dengan para penggagas galeri, kami pun meninggalkan gedung dan mulai mencerna kegiatan kami hari ini. Meski ide galeri fisik NFT memberikan sensasi distopia yang mengerikan, secara realistis itu bisa menjadi tempat bagus bagi mereka-mereka yang membutuhkan arahan profesional guna memahami industri yang tidak diatur dan membingungkan.

Intinya, Quantus Gallery cocok buat kalian semua yang tertarik dengan budaya internet saat ini — atau punya banyak token Ethereum buat dihamburkan.