Kehidupan Sekolah

Pengakuan Murid-Murid Soal Guru Nyebelin yang Jadi Mimpi Buruk Semasa Sekolah

Di mana saja kalian bersekolah, mungkin pernah menemukan guru menyebalkan dan mesum. Adakah guru nyebelin yang masih kalian ingat sampai sekarang?
Ilustrasi guru marah
Ilustrasi: Ikon Images | Foto editan: VICE

Masa-masa sekolah tak melulu indah. Bagi sebagian orang, kenangannya terlalu menyakitkan untuk diingat kembali. Perundungan, permusuhan dan pelecehan kerap terjadi di lingkungan sekolah. Punya teman sekelas bandel tidak dapat dihindari, tapi terkadang guru juga bisa jahat kepada peserta didik.

Guru punya kesabaran tinggi, serta perilaku dan tutur kata yang baik. Mereka juga tak pernah lelah mengajarkan dan membantu murid untuk berkembang. Kewibawaan inilah yang membuat guru kerap dijadikan panutan.

Iklan

Tapi harus diakui, ada segelintir guru yang menciptakan rasa takut di dalam kelas. Mereka menyelewengkan kekuasaannya untuk menghukum dan melecehkan siswa-siswi. Para murid yang menerima perlakuan tidak pantas takut untuk melapor ke kepala sekolah. Kalau pun bisa melapor, belum tentu akan digubris. 

Lima anak muda berikut ini menceritakan kisah pribadi mereka berhadapan dengan guru menyebalkan.

Felicia*, 19 tahun

Saya tidak pernah cari masalah dengan guru-guru di sekolah. Saya anak baik-baik dan rajin belajar. Hanya saja saya sering izin sakit karena depresi dan insomnia. Ibu sering menghubungi guru satu ini untuk memberi tahu kondisiku. Tapi alih-alih merahasiakannya, beliau malah mempermalukan saya di depan kelas. Beliau bilang saya bolos karena “malas” sekolah.

Saya sangat malu ketika teman menceritakan kejadiannya. Saya menyalahkan diri sendiri karena lemah, dan hanya menjadikan depresi sebagai alasan. Saya akhirnya pindah sekolah setahun kemudian. Guru baruku sangat pengertian. Beliau membantuku belajar, dan sering menelepon ke rumah untuk mengecek keadaanku. Saya yakin akan terus menyalahkan diri sendiri seandainya tidak pindah sekolah.

Jana*, 18 tahun

Guru matematika suka menggoda murid perempuan. Beliau sering memperhatikan tubuh kami, menyentuh bahu, dan mengelus paha ketika mengajar di kelas. Suatu hari, saya dan teman sekelas naik tangga untuk percobaan. Saya tertawa saat ada yang jatuh. Begitu giliranku, beliau menyuruh saya pakai rok pendek supaya “semua orang bisa tertawa” juga.

Saking seringnya beliau mengomentari pakaianku, saya sampai mengenakan celana gombrong untuk menghindari perhatiannya. Tapi beliau tidak pernah kehabisan bahan. Ketika saya menyerahkan ponsel sebelum ujian, beliau berkata: “Penasaran, deh, ingin lihat ada foto apa saja di HP kamu.” Kami mengadukannya ke staf sekolah, tapi tidak diindahkan. Kami malah dihukum setiap kali melapor.

Iklan

Sama*, 17 tahun

Seorang guru memanfaatkan setiap kesempatan untuk mempermalukan saya. Sebagai satu-satunya murid kulit Hitam di kelas, saya sering menjadi korban perundungan. Saya akan melaporkan mereka, tapi beliau diam saja karena sama-sama rasis.

Beliau sering membentak saya, memanggilku “pencari suaka”, dan ngomong kalau saya seharusnya bersyukur dia rajin bayar pajak untuk menghidupi keluargaku. Beliau juga berbicara seperti ini saat mengajar bahasa Inggris, “Kamu Hitam — tapi kok tidak bisa bahasa Inggris?”

Itu masa-masa tersulit untukku. Beliau memanggil ibu hanya untuk menghinaku. Saya kerap berdebat dengannya, tapi habis itu mengalah. Saya tidak mau menyusahkan hidup orang tua.

Lina*, 18 tahun

Guru laki-laki saya yang sudah tua hobi melemparkan lelucon mesum tidak pada tempatnya. Waktu itu pernah ada siswi yang tertangkap basah makan permen karet, dan beliau bertanya: “Ditelan atau dilepeh, nih?”

Di kesempatan lain, beliau memamerkan patung telanjang Venus kepada murid cowok. “Payudaranya jelek, ya?” tanyanya di depan kelas. Begitu juga halnya ketika kami membahas berita pemerkosaan. “Jujur saja, deh. Kamu pasti akan tergiur memerkosa perempuan kalau memang bisa,” katanya kepada seorang anak laki-laki. Saya melaporkan perilaku tidak terpuji beliau ke sekolah, tapi belum ada tanggapan sama sekali.

Sandra*, 18 tahun

Saya belajar di sekolah agama. Peraturan sekolah kami melarang perempuan pakai celana pendek dan rok. Ini benar-benar menyusahkan, terutama saat musim panas. Saya pernah mengabaikan peraturan itu, dan mengenakan celana tiga perempat ke sekolah.

Ketika sedang di kantin, seorang guru menarik lenganku dan menyeret saya hingga jatuh dari kursi. Saya berusaha meminta maaf, tapi tidak dihiraukan. Saya dikurung di dalam gudang sekolah sampai jam makan siang berakhir.

Saya cuma bisa menangis. Teman-temanku terkejut menyaksikan kejadian ini, tapi kami tidak bisa melaporkannya. Beliau populer di sekolah, dan kami takut diberi penilaian jelek.

*Nama telah diubah untuk melindungi privasi mereka.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Germany.