Hukum di Indonesia

UU ITE Tak Selalu Menang, Penagih Utang 'Bu Kombes' di IG Divonis Bebas Pengadilan

Febi Nur Amalia divonis bebas Pengadilan Medan, karena Fitriani Manurung yang bersuamikan pejabat polisi terbukti berutang dan mangkir saat ditagih. Kasus ini tunjukkan problematisnya UU ITE.
Febi Nur Amalia Penagih Utang 'Bu Kombes' di Instagram Tak Terjerat UU ITE Divonis Bebas Pengadilan Medan
Ilustrasi sistem peradilan di Indonesia oleh Farraz Tandjoeng/VICE

Pelapor yang menggunakan dalih UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak selalu mendapatkan apa yang mereka mau. Pada Selasa (6/10) lalu, kita disuguhi dua buktinya bersamaan. Niatan Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu Silvia Devi menjerat Najwa Shihab dengan pasal bermasalah itu karena mewawancarai kursi kosong Menteri Kesehatan Terawan, ditolak polisi. Di hari yang sama seorang perempuan asal Medan dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim, setelah menjalani proses peradilan melelahkan memakai pasal UU ITE.

Iklan

Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan menyatakan Febi Nur Amelia, nama tergugat, tidak bersalah atas gugatan pencemaran nama baik yang diajukan Fitriani Manurung. Febi terbebas dari kemungkinan penjara dua tahun seperti diajukan jaksa, serta dipulihkan nama baiknya oleh pengadilan.

Adapun pihak penggugat, yakni Fitriani, awalnya merasa terhina sebab mengaku enggak punya utang sehingga penagihan Febi melalui media sosial membuatnya sakit hati.

Dari bukti-bukti pengadilan yang terkumpul, Fitriani terbukti punya utang Rp70 juta kepada Febi pada 2016 yang tak kunjung dibayar. Hasil sidang menyimpulkan Febi dinilai berusaha menghubungi Fitriani untuk menagih utang secara baik-baik, sebelum akhirnya menggunakan fitur instastory sebagai jalan penagihan terakhir.

“Saksi Fitriani Manurung ada meminjam uang kepada terdakwa Febi Nur Amelia sebesar Rp70 juta. Febi Nur Amelia langsung mentransfer uang sejumlah Rp70 juta dengan transfer dua kali, tahap pertama mentransfer sebanyak Rp50 juta dan tahap kedua Febi mentransfer Rp20 juta,” kata  Ketua Majelis Hakim Sri Wahyuni saat membacakan putusan.

“Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, terbukti bahwa pada sekitar tahun 2017, Febi Nur Amelia mencoba untuk menagih uang yang telah dipinjam oleh Fitriani Manurung, tetapi saksi Fitriani Manurung memberikan beberapa alasan yang menyatakan bahwa saksi Fitriani Manurung belum bisa membayar utang tersebut.”

Iklan

Fitriani terbukti memblokir WhatsApp Febi untuk menghindari tagihan. Pada 2019, Febi bermanuver menagih utang lewat DM Instagram, namun Fitriani malah pura-pura enggak kenal sekaligus turut memblokir instagram Febi.

Merasa ditipu, Febi emosi dan mengunggah Instagram Story mengungkapkan kekesalannya. Pada story tersebut, Febi menagih utang secara terbuka dengan menyebut “Ibu Kombes” karena suaminya berstatus pejabat kepolisian di Medan, yang kemudian ia perjelas dengan menautkan akun Instagram Fitriani. Postingan ini lah yang membuat Fitriani melaporkan Febi ke aparat dengan UU ITE.

Febi menghadapi tuntutan dua tahun penjara gara-gara UU ITE sebelum akhirnya divonis bebas. Hasil ini cukup melegakan, terlebih di tengah maraknya pemakaian UU ITE sebagai sarana pembungkam pendapat. “Maksud saya [mengunggah instastory menagih utang] cuma ingin beliau membaca dan membayar utangnya,” kata Febi seusai divonis bebas, dilansir Kompas

Kasus kemenangan individu atas jeratan UU ITE juga pernah terjadi di Kabupaten Lombok Utara (KLU). Seorang relawan gempak Lombok Amusrien Kholil divonis bebas, setelah sebelumnya ditahan akibat mengomentari kinerja pemerintah daerah (pemda) KLU yang dinilainya lambat merealisasikan dana bantuan untuk para korban gempa Lombok. 

Komentar menggunakan akun Facebook pribadi Kholil tersebut dianggap Kabag Hukum KLU Raden Eka Asmarahadi menunjukkan ancaman dan menimbulkan keresahan kepada ASN Pemda.

Iklan

Tulisan Kholil berbunyi: “Bunuh dan seret semua jajaran pemda KLU kalau tidak segera merealisasikan dana bantuan tersebut. Bantai semua para pemangku kebijakan yang bertele-tele dalam mengayomi warga korban. Saya sangat tidak setuju dengan semua kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemda."

Sempat ditahan sejak 27 Maret 2019, Kholil bebas pada 10 Juli 2019 setelah Pengadilan Negeri Mataram memvonis dirinya tidak bersalah. Kholil tidak terindikasi melakukan transaksi digital yang mengarah pada ancaman untuk pemerasan dengan maksud mencari keuntungan ekonomi.

Contoh lain terjadi di Surabaya. Pada 5 Agustus 2019, Saidah Saleh Syamlan divonis bebas setelah terjerat kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan PT Pisma Putra Textile, tempatnya dulu bekerja. Enam bulan sebelumnya, Saidah sudah diputus bersalah dengan hukuman penjara 10 bulan akibat pesan WhatsApp yang dituduhkan atas nama dirinya dianggap berimbas pada gagalnya pengajuan pinjaman PT Pisma Putra Textile kepada Bank Negara Indonesia (BNI).

Saidah dibantu Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) mengajukan banding. Di pengadilan lanjut, mereka berhasil membuktikan bahwa pesan tersebut bukan kiriman Saidah. Meski begitu, beberapa kemenangan kecil ini tidak bisa membuat siapapun lengah. UU ITE merupakan produk hukum bermasalah, yang bisa menzalimi siapapun.

SAFENet mencatat ada 3.100 laporan kasus terkait UU ITE sepanjang 2019. Angka tersebut diklaim SAFENet naik sepanjang kurun 2017-2018. Dari 3.100 kasus tersebut, 22 persen kasus hoaks, sementara 22 persen lainnya soal pencemaran nama baik.

“Artinya, [semua gugatan] terjadi dengan pasal-pasal karet. Tetap saja pasal-pasal yang banyak digunakan adalah pasal karet dalam UU ITE. Undang-undang ini masih digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi, menjerat hak orang untuk bicara,” kata peneliti SAFENet Anton Muhajid saat diwawancarai Tirto.