FYI.

This story is over 5 years old.

Facebook

Penyebab Facebook Masih Jadi Andalan Tim Buzzer Kampanye Mengobrak-Abrik Peta Politik

Kerja-kerja tim klandestin yang menyemai narasi tandingan di dunia maya bisa berbuah aksi-aksi nyata di jalanan. Masalahnya, tak ada yang tahu siapa tim klandestin itu, dan apa pula kepentingan mereka?
Foto: Shutterstock

Pihak Facebook mengungkapkan Rabu kemarin bahwa mereka menemukan banyak akun palsu di jejaringnya. Sebelum membuat pernyataan umum, Facebook telah menghapus delapan halaman dan 17 akun Facebook serta tujuh akun Instagram provokatif. Satu halaman bersama lima akun sah lainnya bahkan telah mengoordinasikan counterprotest Unite the Right 2 yang rencananya akan digelar di Washington DC pada 11-12 Agustus mendatang.

Iklan

Facebook berusaha tidak mengaitkan kampanye disinformasi dengan peretas Rusia, tetapi sulit untuk tidak menuduh Rusia ada di balik itu karena taktik yang digunakan oleh mereka mirip dengan yang dilakukan oleh Internet Research Agency (IRA), perusahaan Rusia di di St. Petersburg yang menyebarkan kampanye disinformasi dan memengaruhi pemilu AS 2016. Salah satu akun yang terkait dengan IRA dapat mengakses akun yang sudah dinonaktifkan selama tujuh menit.

Polanya mirip dengan kampanye disinformasi Rusia: Moskow berusaha menimbulkan perpecahan dan ketidakpercayaan di antara dua kubu. Sehari sebelum menutupnya, Facebook melaporkan akun-akun palsu tersebut kepada Digital Forensics Research Lab (DFRL) Atlantic Council. Dalam waktu singkat, tim DFRL segera mencari akun-akun palsu tersebut, dan menerbitkan laporan temuannya tak berapa lama setelah konferensi pers Facebook.

“Jujur saja, 18 jam tidak cukup untuk menentukan akun yang terkait kampanye disinformasi,” kata Graham Brookie, Direktur dan Managing Editor di DFRL, kepadaku lewat telepon. Brookie sangat memahami masalah ini. Sebelum bergabung dengan Atlantic Council, dia bekerja di National Security Council selama empat tahun. Jauh sebelum itu, dia bahkan pernah bekerja sebagai penasihat Lisa Monaco, Penasehat Keamanan Dalam Negeri Mantan Presiden Barrack Obama.

Sama seperti Facebook, DFRL belum bisa memastikan bahwa peretas Rusia adalah dalang akun-akun palsu tersebut, tetapi memang ada kemiripan. “Halaman Facebook yang kami selidiki memiliki pola aktivitas yang sangat mirip dengan peretas Rusia dari St. Petersburg dari 2014 hingga 2017,” katanya. “Korelasinya mirip… mereka semakin canggih dan sulit dilacak.”

Iklan

Taktik yang digunakan mirip dengan peretas Rusia pada tahun-tahun sebelumnya dan halaman Facebook tersebut penuh dengan pemilihan bahasa seperti penutur bahasa Rusia. Kasusnya seperti peretas DNC Guccifer 2.0, yang berpura-pura bertindak sebagai orang Rumania tetapi bahasa yang ia pakai sehari-hari jelek.

Meskipun begitu, dugaan kampanye campur tangan Rusia kali ini berbeda dari sebelumnya. Pada 2016, target mereka lebih luas. Mereka menyebarkan berita palsu secara luas. Kali ini, targetnya jauh lebih spesifik.

“Mereka fokus pada engagement untuk demografi tertentu,” kata Brookie. Kelima halaman Facebook yang telah dihapus menargetkan pengguna yang tertarik dengan kesehatan dan kesejahteraan, politik progresif, perlawanan terhadap Trump, mitologi Mesir bagi orang Afrika-Amerika, dan juga menargetkan orang Amerika Latin.

Ada lebih dari 290.000 akun yang mengikuti halaman Facebook ini, di mana Resister—halaman akun anti-Trump—menjadi yang paling populer. “Apa yang kita saksikan sekarang sengaja disesuaikan dengan demografi tertentu. Halamannya lebih disesuaikan dengan musim dan siklus politik tertentu,” kata Brookie. Dia menjelaskan bahwa pemilu Amerika adalah waktu yang bagus bagi aktivis untuk melancarkan agendanya, dan gerakan Resistance telah mengubah musim politik yang membuat kelompok-kelompok yang ingin ikut campur dalam pemilu harus mengubah strateginya.

Brookie membeberkan bahwa metode ini mencakup mengarahkan keterlibatan pemilik akun pada demografi tertentu menuju page Facebook tertentu dan membuat seruan untuk melakukan aksi setelah page itu memiliki pengikut yang jumlahnya signifikan.

Iklan

“Jadi, kita buat dulu pertumbuhan audiens online-nya lalu menerjemahkannya ke aksi di dunia nyata,” katanya. “Dalam kasus ini, bentuknya bisa demo tandingan dan imbasnya sangat signifikan,

Salah satu yang bikin kampanye disinformasi macam ini sangat menyeramkan adalah bahkan jika para peretas kalah, mereka pada dasarnya tetap menang.


Tonton video VICE tentang risiko besar dari sampah plastik yang tidak dikelola serius bagi planet kita:


“Kalau peretas ini sampai lolos, tindakan mereka akan terwujud dalam dunia nyata,” terang Brookie. “Contohnya, demo tandingan yang berakhir dengan kerusuhan seperti yang kita saksikan di Charlottesville. Sebaliknya, kalau mereka sampai tertangkap, peretas sudah menanamkan keraguan akan wacana yang sedang kita diskusikan. Makanya, manapun skenarionya, mereka tetap menang.”

Laman Facebook The Resisters sudah bekerja sama dengan lima grup aktivis lainnya untuk mengorganisasi unjuk rasa terhadap demo para pengusung supremasi kulit putih yang digelar di Washington DC. Ketika Facebook menutup page The Resistors, event Facebook yang dibuat oleh The Resistors menghilang. Imbasnya, para aktivis harus pontang-panting mengorganisasi ulang demo tandingan. “Event awalnya sendiri dibuat oleh Resisters, namun digunakan oleh promosi dan pengorganisasian unjuk rasa kaum supremasi kulit putih,” jelas ShutItDownDC—salah satu organisasi aktivis yang diajak bekerja sama dengan The Resisters — lewat akun Twitter resmi mereka. “Khususnya organizer lokal yang memuat pesan, grafis dan video kami. Kami tak pernah mewakili pandangan orang lain kecuali pendangan kami sendiri.”

Iklan

Mengongkosi dan mendukung dua pihak yang berseteru mengenai satu permasalahan adalah metode penyebaran disinformasi popular yang sering digunakan Kremlin di Rusia beberapa tahun terakhir ini. Biasanya, Kremlin akan menggelar demo pro-pemerintah lalu mengompori dan membiayai pihak oposisi untuk merancang demo tandingan lewat pihak ketiga. Setelah kedua pihak berseteru, barulah terungkap bahwa Kremlin ada di balik dua pihak tersebut. Setelah informasi ini terungkap, aktivis di kedua pihak akan mulai meragukan perjuangan yang mereka galang. Dengan demikian, ini adalah cara cepat membuat publik yang sinis.

Baru-baru ini, kita menyaksikan sendiri bagaimana troll-troll dari Rusia menggunakan teknik yang sama di Amerika Serikat. Salah satunya, saat mereka menggelar sebuah unjuk rasa dan unjuk rasa tandingan tentang keberadaan kelompok muslim di Houston, Texas 2016 lalu.

Ini benar-benar ranah yang baru dan kita baru mulai memahami bagaimana kekuatan negara asing memanfaatkan media sosial guna memanipulasi lanskap politik negara lawannya.

Sebenarnya, dengan semakin terdidik sebuah masyarakat metode spesifik yang digunakan oleh para troll dari Rusia, metode-metode tersebut akan kehilangan giginya. Taktiknya mungkin akan terus berubah, tapi sasarannya tetap sama: wacana di mana orang-orang yang membicarakannya rela menghabiskan waktunya untuk berdebat dan percaya sepenuhnya bahwa lawan mereka adalah sejelek-jeleknya manusia—mirip seperti perseteruan antara cebong dan onta di Indonesia. “Itulah tujuannya disinformasi,” kata Brookie. “Disinformasi bisa menyelinap masuk dalam percakapan yang nyata dan organik.”