Kebebasan Pers

Kantor Imigrasi Palangkaraya Menahan Jurnalis Mongabay yang Meliput Konflik Lahan

Philip Jacobson asal AS, adalah editor situs kajian ilmiah dan lingkungan Mongabay. Karena isu visa dia ditahan lima pekan. Pengamat menilai ada indikasi pelanggaran kebebasan pers yang disponsori pemerintah.
Kantor Imigrasi Palangkaraya Tahan Philip Jacobson Jurnalis Mongabay asal AS yang Meliput Konflik Lahan
Editor situs Mongabay asal AS, Philip Jacobson (tengah) saat berlibur di Indonesia. Dia kini ditahan imigrasi Palangkaraya karena isu visa. Foto dari arsip Mongabay.com

Jurnalis dan editor media Mongabay Philip Jacobson ditahan pihak Imigrasi Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah, atas dugaan penyalahgunaan visa. Phil, panggilan akrabnya, pertama kali ditahan pada 17 Desember 2019 usai menghadiri rapat antara DPRD Kalimantan Tengah dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Phil datang dengan visa bisnis dan pergi ke Palangkaraya menghadiri serangkaian pertemuan. Petugas Imigrasi lantas menahan paspornya dan sempat menginterogasinya selama empat jam. Sejak saat itu Phil menjadi tahanan kota hingga resmi ditahan pada 21 Januari 2020. Phil menghadapi ancaman lima tahun penjara dan saat ini ditahan di Rutan Kelas II Palangkaraya.

Iklan

"Kami mendukung Philip dalam kasus ini dan berupaya untuk menaati peraturan keimigrasian Indonesia,” kata pendiri Mongabay Rhett A. Butler dalam pernyataan tertulis. "Saya tak menyangka petugas imigrasi mengambil langkah hukum terhadap Philip untuk masalah keadministrasian."

Phil, 30, adalah jurnalis asal Chicago, Amerika Serikat dengan reputasi baik serta telah memenangkan beberapa penghargaan. Dia fokus menulis tentang isu lingkungan dan melakukan investigasi terhadap berbagai penyalahgunaan wewenang dan korupsi di sektor perkebunan dan kehutanan. Phil awalnya bekerja sebagai penerjemah dan content strategist sebelum menjadi editor. Ia kerap bolak-balik Chicago-Jakarta selama bekerja di Mongabay. Dia juga fasih berbahasa Indonesia.

Saat ini pihak Mongabay tengah berkoordinasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya untuk menghadapi kasus ini. LBH juga mendesak Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk membantu kasus hukum yang menimpa Phil.

"Pihak Imigrasi menyebut aktivitas dia di Palangkarya tak sesuai dengan visa yang diajukan," kata Ketua LBH Palangka Raya, Aryo Nugroho Waluyo saat dihubungi VICE. "Ada ketidaksesuaian aktivitas Jacobson dengan visa yang ia miliki."

Lebih lanjut, Aryo mengatakan sebelum ditahan Phil berkoordinasi dengan jurnalis Mongabay dalam peliputan terkait konflik tanah antara masyarakat adat dan korporasi. Pihak LBH mengatakan akan tetap mengadvokasi kasus ini hingga selesai.

Iklan

Pihak AMAN turut mengecam penangkapan Phil. AMAN menilai ada unsur kriminalisasi dalam kasus ini. Dan itu terkait dengan kerja-kerja jurnalistik Phil yang membela masyarakat adat.

"Kami menilai ada kriminalisasi dalam hal ini, karena sesuai visanya dia tidak melanggar aturan keimigrasian. Sepertinya ada hubungannya dengan liputan yang Phil lakukan terkait isu kriminalisasi terhadap peladang yang didakwa sebagai pembakar ladang," kata Ketua AMAN Margaretha Seting Beraan kepada VICE.

Peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono turut mengecam tindakan represif keimigrasian. Menurutnya, tindakan tersebut berlebihan untuk masalah administratif.

"Jurnalis seharusnya bebas bekerja di Indonesia tanpa takut ditahan," kata Andreas pada VICE. "Perlakuan [imigrasi] terhadap Philip menjadi tanda yang mengkhawatirkan bahwa pemerintah sedang berupaya membungkam kerja jurnalistik yang esensial untuk demokrasi yang sehat."

Kendati pemerintah menjamin kebebasan pers dalam UU No.40 1999, fakta di lapangan tak menunjukkan itu. Dari indeks kebebasan pers yang dirilis Reporters Without Borders, Indonesia menempati urutan 124 dari 180 negara. Berbagai permasalahan masih bercokol mulai dari keterbatasan akses ke daerah konflik seperti Papua, budaya impunitas, hingga kekerasan terhadap jurnalis.

Menurut data yang dikumpulkan Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2018. Kekerasan tersebut termasuk pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. Jumlah itu naik dibanding 2017 yang mencatat 60 kasus.