Kencan

Marak di Negaranya, Malaysia Akan Larang Sugar Baby Cari Om Tajir

Aplikasi Sugarbook termasuk yang dituduh mempromosikan prostitusi kepada mahasiswi Malaysia.
Malaysia Akan Melarang Sugar Dating
Foto: SONJA LEKOVIC via STOCKSY

Malaysia tengah berupaya memblokir aplikasi kencan yang menghubungkan sugar baby dengan sugar daddy atau mommy. Rencana ini diwacanakan menyusul banyaknya mahasiswa-mahasiswi yang mencari teman kencan lebih mapan untuk menambah pemasukan selama pandemi COVID-19.

‘Sugar dating’ adalah hubungan saling menguntungkan yang tak melulu berkaitan dengan aktivitas seksual. Sugar daddy/mommy bisa saja memberikan uang, hadiah atau bonus kepada baby karena sudah meluangkan waktu untuk mengobrol atau menemani mereka. Fenomena kencan ini semakin menjamur di Asia dalam beberapa tahun terakhir, dan jumlah orang yang menjadi sugar baby meningkat tajam selama pandemi.

Iklan

Namun, praktiknya di Malaysia menuai kontroversi yang cukup panas di negara mayoritas beragama Islam.

Pemerintah konservatif memblokir Sugarbook, platform buatan pengusaha Malaysia Darren Chan yang digadang-gadang sebagai layanan sugar dating “paling diakui di Asia”. Berdasarkan klaimnya, platform tersebut “memfasilitasi hubungan jujur dan transparan” dalam “lingkungan jaringan online yang aman dan rahasia”. Sugarbook memprioritaskan anonimitas dan privasi pengguna.

Sejumlah politikus, termasuk wakil menteri agama, mengajukan pengaduan resmi dan menyerukan agar perusahaan itu dilarang beroperasi di Malaysia.

“Kabar ini sangat menyedihkan. Kita harus mencegah penggunaan aplikasi tersebut di Malaysia karena dapat mendorong orang melakukan perbuatan tak senonoh dan melanggar hukum syariah,” wakil menteri Ahmad Marzuk Shaary menuturkan kepada media lokal Bernama.

Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia (MCMC) mengumumkan akan melakukan penyelidikan terhadap Sugarbook dan mengambil “tindakan hukum yang sesuai” apabila terbukti adanya pelanggaran, seperti prostitusi.

“MCMC khawatir dengan klaim banyak perempuan Malaysia, khususnya mahasiswi, menawarkan diri sebagai ‘sugar baby’ di situs kencan ‘sugar daddy-sugar baby’ Sugarbook,” ujar regulator dalam pernyataan.

“Pihak berwajib akan menindaklanjuti jika benar ada unsur prostitusi.”

Perwakilan Sugarbook memberi tahu VICE World News, mereka sudah mendengar kabar tentang pemblokiran tersebut. Perusahaan akan memastikan hal ini tak terjadi di negara lain. “Kami yakin pemerintah Malaysia tahu yang terbaik untuk rakyatnya dan menunjukkan itikad baik,” kata CEO Chan dalam pernyataan yang dikirim melalui email.

Iklan

Situsnya kini tidak bisa diakses, tapi masih bisa dibuka melalui url yang sedikit diubah sebagai upaya menghindari pemblokiran.

Dalam pernyataan sebelumnya, Chan melaporkan peningkatan 40 persen pada jumlah pengguna yang menjadi sugar baby di Malaysia. 12.705 mahasiswa-mahasiswi dari 10 sekolah terdaftar di situs tersebut.

“Sugar baby rata-rata memperoleh 2.500 Ringgit (Rp8,6 juta) per bulan. Pemasukan itu sangat membantu para mahasiswa yang hidup pas-pasan, terutama di masa sulit seperti sekarang,” kata Chan.

“Ada keuntungan berkencan dengan orang yang lebih sukses atau berpengalaman, dan uang hanyalah salah satu contohnya. Mereka bisa menjalin koneksi dengan individu berpenghasilan tinggi serta mengejar kemajuan karier.”

Namun, universitas swasta satu ini tidak sependapat. Keberatan dengan popularitas situs di berbagai universitas, pihak kampus menuduh tren sugar dating “mendorong perilaku tidak bermoral di kalangan anak muda.”

Survei yang dilakukan layanan sugar dating Seeking Arrangement mengungkapkan, Malaysia adalah negara ketiga dengan jumlah sugar daddy

Rey*, mahasiswi hukum yang menjadi sugar baby di Kuala Lumpur, mengaku campur tangan pemerintah takkan mampu menghalanginya berinteraksi dengan klien.

“Kita melakukan yang terbaik untuk bertahan di tengah pandemi,” katanya kepada VICE World News. “Pemerintah seharusnya mempertimbangkan alasan kami beralih ke sugar dating, bukan malah memutus sumber pemasukan yang menguntungkan baik bagi diri sendiri maupun keluarga kami.”

Follow Heather Chen di Twitter.