FYI.

This story is over 5 years old.

Politik

Ngobrol Bareng Koordinator Bot dan Buzzer, Pemicu Polarisasi Politik Makin Panas Jelang 2019

Kubu Jokowi maupun Prabowo sama-sama aktif membangun tagar viral memakai bot dan buzzer. Persoalannya, kampanye agresif rentan membuat polarisasi pendukung akar rumput makin tajam.
Ilustrasi bot dan buzzer pilpres 2018
Ilustrasi oleh Farraz Tandjoeng

Kolom hashtag Twitter kini menjadi medan tempur strategis tiap elit politik di Indonesia. Lihat saja sepanjang awal November 2018, Twitter diramaikan perang tagar antara pendukung capres Joko Widodo-Ma'ruf Amin versus Prabowo-Sandiaga Uno. Sepekan belakangan muncul sekian tagar yang isinya adalah upaya mendiskreditkan atau mendukung tiap paslon.

Mulai dari #PrabowoBersamaHTI, #BapakHoaxNasional, #SaveMukaBoyolali dan #JokowiBersamaPengacaraHTI tiba-tiba menjadi trending topic buat beberapa hari. Dari tiap tagar itu, akan muncul hinaan dari akun pendukung terhadap paslon lawan. Hinaan itu seringkali berujung dengan debat kusir keras.

Iklan

Hashtag #PrabowoBersamaHTI, ambil contoh, menghasilkan lebih dari 10.000 cuitan dalam hitungan kurang dari dua hari. Tagar ini muncul di tengah polemik pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Garut, Jawa Barat yang dilakukan Banser Nahdlatul Ulama. Prabowo, oleh akun-akun medsos pendukung Jokowi, dituduh punya hubungan dengan organisasi yang dilarang oleh pemerintah tersebut. Tapi kemudian giliran pendukung Prabowo-Sandi yang memakainya untuk balas mendiskreditkan Jokowi. Banser dituduh membakar bendera dengan aksara tauhid, isu itu kemudian digoreng mengesankan Jokowi beserta pendukungnya "anti-Islam". Jika ditambah maraknya tagar #SaveMukaBoyolali yang merugikan Prabowo, lengkap sudah. Isu agama sampai identitas kedaerahan bisa diviralkan demi kepentingan politik.

Faktanya mayoritas tagar bertema politik yang viral di Indonesia muncul pertama kali berkat cuitan akun bot, yang kemudian ditangkap oleh influencer dan bergulir viral. Ismail Fahmi—inisiator sistem bernama Drone Emprit yang mampu memonitor dan menganalisa percakapan di media sosial—mengatakan metode menginisiasi sebuah kampanye melalui hashtag, cukup dimulai lewat beberapa akun bot dengan jumlah pengikut rendah. Selanjutnya, kata Fahmi, baru influencer dengan follower ribuan turun tangan agar menjadi viral dan trending topic.

"Cara ini sangat efektif dan efisien," kata Fahmi kepada VICE. "Metode ini cukup membuat percakapan menjadi pembicaraan viral dan [hingga level] nasional. Dan tergantung topiknya, akan mudah beresonansi ke kanal [media sosial] lain."

Iklan

Tagar di Twitter awalnya tampak terpakai untuk mengukur reaksi natural netizen dalam menanggapi bermacam fenomena. Persoalannya, kemunculan tagar pertama kali yang kemudian menjadi viral, sejatinya jarang terjadi jika dimulai oleh akun twitter organik alias pengguna Twitter betulan.

Sebagian pengguna Twitter merasa gerah karena maraknya bot membuat aktivitas bermedia sosial jadi kurang kondusif.

Sebagian pengguna lainnya khawatir polarisasi tajam antar tim sukses, memakai bot, akan bisa berdampak ke dunia nyata. Tak ada jaminan pendukung akar rumput akan bergesakan. Indikasinya sudah muncul dalam keributan pembakaran bendera sudah berujung pada pengerahan massa, baik dari pendukung Jokowi ataupun Prabowo.

Akun bot bukanlah senjata baru dalam pertarungan kancah politik. Penelitian yang dilakukan pada 2017 oleh University of Southern California menyatakan setidaknya ada 48 juta akun bot bertebaran di Twitter. Jumlah tersebut mencapai 15 persen dari total akun Twitter yang tercatat mencapai 319 juta.

Sementara pihak Twitter, yang diserang oleh banyak pihak karena dianggap membiarkan manipulasi timeline macam ini, sejak dua tahun lalu akhirnya berkomitmen memberantas akun bot yang kerap dituduh sebagai sumber disinformasi dan hoax. Mei lalu, Twitter mengaku telah memberantas 9.9 juta akun bot per minggu. Angka tersebut naik dari 6,4 juta pada Desember 2017, dan 3,2 juta pada September di tahun yang sama.

Iklan

Penggunaan akun bot disinyalir marak terjadi pada saat pilpres Indonesia 2014. Ketika pilpres 2019 tinggal hitungan bulan, dua kubu capres masih memakai cara serupa. Kedua tim paslon diketahui sama aktifnya menggunakan akun bot untuk menggerakkan opini atau menyerang kubu lawan. Kendati telaah forensik digital sudah menemukan indikasi, tim pemenangan kubu petahana menampik kalau mereka mengerahkan 'pasukan bot' untuk penggiringan opini.

Begitu pula pernyataan Ketua tim relawan digital yang mendukung paslon Prabowo-Sandi, Taufik Hidayat. Dia mengatakan timnya memiliki 12.000 anggota dan tidak menggunakan akun bot untuk berkampanye di media sosial. Taufik dan timnya sendiri mengaku tidak tahu asal mula suatu tagar hingga menjadi viral.

"Anggota kami real user semua," kata Taufik kepada VICE. "Tagar yang muncul tersebut bisa jadi spontanitas seseorang dalam menanggapi isu. Jadi bukan skenario. Itu reaksi masyarakat saja yang akhirnya bisa viral."

Pernyataan kedua tim kampanye itu, melalui kajian independen, cuma dalih. Berdasarkan analisis berdasarkan social network analysis (SNA) yang dilakukan Drone Emprit, kentara sekali sebaran hashtag yang menjadi viral mayoritas diinisiasi akun robot. Sayangnya, sulit mengetahui apakah akun bot tersebut dijalankan oleh salah satu kubu.

Menurut Taufik, perang tagar dan gagasan di Twitter itu adalah hal yang wajar dalam lanskap pilpres 2019. Yang menjadi masalah, katanya, adalah efek polarisasi yang semakin mencolok dibandingkan pemilu empat tahun lalu. Jika tidak bijak berkampanye, relawan digital Prabowo ataupun Jokowi akan memicu konflik sosial riil saat melempar isu demi menyerang kubu lawan.

Iklan

"[Penggunaan] akun anonim itu paling berbahaya,” ujar Taufik. "Ini yang membuat polarisasi di tengah masyarakat semakin lebar."

Untuk mendapat gambaran utuh cara kerja pengerahan bot maupun koordinasi isu kepada buzzer, VICE menghubungi Bang Kober, bukan nama sebenarnya, salah satu konsultan medsos pendukung satu pasangan calon presiden-wapres. Dia mengakui penggunaan akun palsu dan bot masih jadi andalan timnya buat memulai kampanye—baik untuk kampanye negatif maupun kampanye hitam. Kober memimpin tim beranggotakan 15 orang, disewa dengan sistem kontrak oleh tim sukses. Mereka bekerja mengolah konten untuk menampilkan citra positif capres. Kalau dibutuhkan, ia juga sudah memiliki stok materi negatif yang siap digunakan kapanpun untuk menyerang lawan.

"Tim kami hanyalah satu dari sekian tim yang disewa oleh tim sukses," kata Kober yang enggan menyebut nama kliennya dengan alasan keamanan pribadi. "Tim-tim tersebut bekerja secara mandiri dan tidak terkoordinasi. Tanggung jawab saya hanya kepada yang menyewa saya."

Kober bekerja tanpa kantor. Ia hanya berkoordinasi dengan tim lewat grup WhatsApp. Kadang mereka sesekali bertemu untuk rapat mingguan. Dalam satu hari paling tidak ia dan timnya harus memproduksi 5-10 konten kampanye.

"Kami membangun jaringan akun dengan para influencer," kata Kober. "Kalau akun palsu tersebut cuma nge-tweet dan di-retweet oleh akun-akun dengan follower sedikit, enggak akan jadi viral. Ketika influencer menangkap hashtag yang kami buat, ada kemungkinan besar ia akan jadi viral."

Iklan

Namun Kober membantah jika pihaknya turut menyebar hoax, yang berpotensi mendorong makin panasnya polarisasi.

Kober mengatakan konten bernada fitnah dan hoax justru menjadi kontraproduktif di masa kampanye menjelang Pilpres 2019. Kabar bohong setelah dianalisis tak akan mendongkrak elektabilitas capres. Karena itulah Kober mengklaim selalu melakukan riset data dan fakta terkait kebijakan serta janji-janji politik petahana maupun oposisi.

"Masyarakat sudah lebih waspada terhadap hoax karena itu justru merugikan kubu mana pun," kata Kober.

Demikianlah. Upaya melacak sebab musabab viralnya suatu konten terus dilakukan oleh berbagai pihak independen. Namun ternyata masih tetap sulit untuk mengetahui otak di balik suatu cuitan yang ramai. Perang hashtag di Twitter juga bakal terus berlangsung tanpa akhir, selama medsos masih dianggap seksi untuk menggiring opini beberapa segmen masyarakat. Ketika dua kubu terus mengobarkan perang di dunia maya tanpa ada regulasi sama sekali, kita hanya bisa berharap masyarakat cukup dewasa untuk tidak terbelah gara-gara hashtag yang viral.